#12

235 27 3
                                    

"Gilaaa, gilaaa." Dari tadi hanya seruan Bionlah yang terdengar.

Saat ini aku, Ryan, Evan, dan Bion tengah duduk membentuk lingkaran di lantai. Selagi Sasa sedang berada di kamar mandi, kami menggunakan kesempatan ini untuk membicarakan hasil dari misi yang dilakukan oleh Evan dan Bion tadi. Aku pun baru sadar bahwa seharusnya tadi Bion tidak ikut karena ini, kan, misi yang menyangkut Brima. Brima yang notabene-nya tidak suka dengan Bion.

"Kenapa?" tanyaku heran melihat gelagat aneh yang Bion tampilkan dari tadi.

"Mampus dah, entar breakfast atau minuman gue diracunin nggak, ya?" Bion menggigit bibir bawahnya, tampak khawatir.

Dahiku mengernyit heran, dari tadi omongan Bion terdengar aneh dan aku sama sekali tidak mengerti apa maksudnya. "Maksudnya apa, sih? Yang jelas dong kalau ngomong," sentakku.

"Kan gini," Bion langsung mengubah posisi duduknya menjadi menghadap ke arahku. "Tadi gue kesal sama Evan, terus gue lempar sandal jepit gue, eh karena si Evan ini pintar, kan, ya, dia udah nunduk duluan. Akhirnya sandal yang udah telanjur melayang itu kena kepala Bapak pemilik villa ini! Gilaaa, seram, Bos! Tatapannya ke gue, aduh! Datar plus dingin banget!" Bion berdecak sambil geleng-geleng kepala.

"Serius lo? Terus lo ada minta maaf kagak?" tanya Ryan.

Bion langsung mengangguk. "Ada dong. Gila aja kali nggak minta maaf, bisa kena cincang gue."

Aku mendengus sebal. "Nggak sampai segitunya juga kali. Lagian, kalau udah minta maaf, ya udah."

"Tapi masalahnya Bapak itu nggak ada jawab permintaan maaf si Bion," tukas Evan. "Dia cuma natap Bion datar aja."

"Apa jangan-jangan dia nggak bisa lihat keberadaan lo, Yon? Jangan-jangan lo udah nggak ada di dunia ini, makanya lo udah nggak kasat mata."

Aku, Evan, maupun Bion sontak terperanjat kaget mendengar ucapan Ryan barusan. Masalahnya, yang ngomong barusan itu Ryan! Ryan yang paling dewasa dan otomatis omongan dia nggak bakal ngawur kayak tadi. Kalau Bion yang ngomong kayak gitu, sih, aku nggak heran. Tapi ini tuh Ryan. Ryan Sudirman! Anaknya Bapak Hadi dan Ibu Lesty! Oke, sebenarnya nama orangtuanya tidak perlu kusebutkan. Tapi, ya, aneh aja gitu. Seorang Ryan bisa berkata demikian.

Bion langsung menatap Ryan dengan tatapan aneh plus kaget, tangannya terjulur untuk mengetuk-ngetuk kepala Ryan. "Halooo? Ini jiwanya Ryan masih ada di sini nggak, sih? Kenapa omongan lo jadi ngaco begini?"

"Yan, lo sehat?" tanya Evan dengan raut wajah prihatin.

"Lo jangan ketular virus Bion juga dong," sahutku spontan sekaligus sarkastis.

Sontak Bion langsung nenatapku penuh dendam. Aku cuma menyeringai dan tidak menggubris tatapannya itu.

"Hehehe, gue lagi lapar aja, sih. Nggak papa deh sekali-kali ngaco, seumur hidup sekali juga," jawab Ryan sambil tertawa.

Kami semua sempat ikut tertawa juga, tapi masih dengan perasaan aneh, kami tetap melanjutkan omongan kami.

"Jadi gimana hasilnya? Ada yang aneh sama Brima nggak?" tanyaku kemudian.

Bion maupun Evan menggeleng. Gelengan kepala dari mereka berdua membuatku mau tidak mau menghela napas panjang. Sampai kapan kami baru bisa menangkap pelakunya?

"Dia kerja layaknya pekerja biasa, nggak ada tunjukkin tingkah aneh apa pun. Oh, ada! Hari ini tatapan yang biasa dia lemparin ke Bion itu nggak ada, malah tadi tatapannya datar aja," jelas Evan.

Bion mengangguk setuju. "Gue jadi makin aneh sama dia. Kadang-kadang tatapannya ke gue biasa aja, kadang-kadang kayak dendam sama gue. Jangan-jangan dia bisa berubah-ubah kayak bunglon gitu?"

Kasus RahasiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang