#15

254 25 0
                                    

Aroma khas kopi susu masuk ke dalam indra penciumanku dan Sasa yang sedang duduk di kursi yang ada di depan kamar hari ini. Kami menyeruput kopi yang kini berada di tangan kanan kami masing-masing seiring kursi kayu berwarna cokelat tua yang kami duduki ini bergoyang ke depan ke belakang.

Setelah dua hari sejak kabar kematian Feni, kami tidak lagi mendapatkan petunjuk apa pun. Bahkan, pihak polisi pun belum menemukan bukti apa pun. Sejujurnya aku bingung. Mengapa ada penculik sekaligus pembunuh yang begitu keji terhadap seorang perempuan yang masih begitu muda? Seharusnya diumurnya yang masih kepala dua itu, Feni masih bisa menikmati masa mudanya dengan bersenang-senang dan pergi dengan teman-temannya. Namun, itu semua sudah tidak bisa dilakukannya lagi.

"Ngapain ngelamun?" tanya Sasa.

Suaranya langsung membuyarkan pemikiranku. Menggelengkan kepala, aku menoleh ke kanan. "Nggak papa. Gue cuma masih mikirin masalah Feni aja," jawabku jujur.

Mulut Sasa membentuk huruf o. "Gue juga masih mikirin, sih."

Setelah itu, aku menghela napas panjang. "Tapi, kok anak-anak kayak udah lupain kejadian itu, sih? Ini baru lewat dua hari dan masalah itu sama sekali belum selesai."

Sasa mengangkat bahunya, menandakan bahwa dirinya tidak tahu. "Ya... mungkin mereka nggak lupa, paling cuma pengin bersihin otak sebentar. Atau mereka ada cari informasi diam-diam? Di sela-sela waktu senggang, mungkin?"

"Halooo!" Sapaan melengking yang tiba-tiba kami dengar itu membuat kami hampir saja tersedak kopi yang tengah kami teguk.

Siapa, sih, orang yang berani mengganggu waktu kami pagi-pagi begini? Mana suaranya tidak enak didengar pula. Aku mendongak untuk melihat siapa pemilik suara tadi. Saat ini, di hadapanku dan Sasa berdirilah seorang cewek dan cowok. Tangan si cewek menggamit lengan si cowok dengan riang. Lantas, aku menelan ludahku dengan susah payah. Bolehkah aku menarik kata-kataku tadi? Kenapa? Karena yang berdiri di hadapanku saat ini adalah adiknya Sasa! Aduh, kenapa aku bisa-bisanya menghina suaranya? Yang cowok itu tentu saja pacarnya. Mereka berdua masih tetap setia menyunggingkan senyum. Tidak tahukah mereka bahwa wajah kami tadi itu sangat serius dan kami tengah membicarakan masalah yang sangat sulit untuk diselesaikan?

Sasa melongo, kemudian langsung bertanya. "Loh? Kok kalian bisa di sini?" Ia langsung bangkit berdiri dan menunjuk adiknya, Tania, dengan pacarnya secara bergantian.

Dengan cepat, Tania langsung menggamit lengan kakaknya itu. "Kangen deh, kangen jahilin maksudnya, hahaha." Tawa Tania terdengar, Sasa lantas menjitak kepala adik satu-satunya itu.

Sekarang bukan hanya tangan Tania yang menggamit lengan Sasa, kepalanya juga ikut-ikutan ditaruh di bahu Sasa.

"Jangan manja deh, malu tuh sama Millen," komentar Sasa sembari menunjuk Millen dengan dagunya.

Tania mendengus. "Orangnya biasa aja, tuh. Ya, nggak?" Tania mengangkat kedua alisnya sambil menunjuk Millen dengan jari telunjuknya. Cowok itu mengangguk setuju, tak lupa ia mengembangkan seulas senyum.

"Iya, gue mah udah biasa sama tingkah manjanya. Nggak papalah, Kak, yang penting dia senang," jawab Millen. Detik selanjutnya, mereka langsung saling tatap dan senyam-senyum tidak jelas.

Tunggu, sekarang aku jadi bingung. Kenapa aku dan Sasa jadi terlihat seperti nyamuk? Mereka asik-asikkan saling tatap dan main mata, sedangkan aku dan Sasa hanya diam layaknya orang bego. Apa aku juga harus main mata dengan Sasa? Ah, ide bagus. Kucoba deh. Aku mulai mengedip-ngedipkan mataku padanya dan ternyata langsung Sasa sadari.

"Kenapa tuh mata? Sakit?" tanyanya polos.

Jleb. Kenapa kepekaannya tidak berubah setelah sekian lama? Ah, ya sudahlah. Toh, aku juga sudah terbiasa. Sambil menggelengkan kepala berulang kali, aku nyengir. Sasa hanya manggut-manggut melihat respons dariku.

Kasus RahasiaWhere stories live. Discover now