#10

238 25 1
                                    

Seketika aku menjadi tergagap. Gigiku gemeretak tidak keruan, jantungku berdegup cepat sekali. Feni... menghilang? Bagaimana mungkin kami bisa tidak kepikiran bahwa si penculik akan menggunakan kesempatan ini untuk menculik cewek-cewek lagi? Apalagi, cewek ini adalah Feni. Feni orang yang kita kenal, bahkan tadi dia sempat mengucapkan selamat tinggal pada Evan.

Aku mengumpat kesal dalam hati. Kami terlalu terbawa suasana sampai-sampai sesaat kami lupa bahwa tujuan kami menginap di sini itu bukan untuk bersenang-senang, melainkan untuk mencari penculik dari semua cewek-cewek itu. Aku mengacak rambutku frustasi. Kalau begini caranya, bisa-bisa sampai kapan pun kami tidak bakal bisa menemukan si penculik. Bukan hanya teliti, ternyata penculik itu juga sangat licik.

Kami semua tidak jadi tidur karena masalah ini. Kami mulai duduk membuat lingkaran dan mengutarakan asumsi kami masing-masing. Ya, malam ini kami kembali menelusuri kasus ini. Bukan hanya aku sendiri yang kesal dan merasa bersalah, tapi yang lain juga. Bagaimanapun juga, seharusnya dari awal kami tidak mengikuti acara ini. Harusnya kami melakukan penyelidikan. Kalau dari awal kami sudah melakukan tindakan seperti itu, mungkin sekarang Feni tidak diculik dan akan baik-baik saja. Setelah untuk sementara waktu si penculik tidak melakukan aksinya, kini ia kembali melakukannya lagi. Dengan acara ini sebagai pancingan lagi. Bagaimana mungkin kami semua bisa tertipu olehnya?

"Tadi Pak Wityo bilang mamanya Feni ke kantor polisi. Nah, kebetulan dia lagi mau keluar. Jadi, beliau berhenti sebentar buat dengarin mamanya itu ngomong," ucap Bion dengan nada serius. Kedua matanya juga melemparkan tatapan serius, seolah sifat kekanak-kanakannya itu tidak pernah ada.

"Tapi, bukannya harusnya lapor polisi itu tunggu dua puluh empat jam?" tanya Sasa bingung.

Bion menjentikkan jarinya. "Nah, itu dia. Emang belum boleh, makanya si ibu ini ribut sama petugas yang jaga di depan. Terus, Pak Wityo nggak jadi keluar dan dengarin si ibu ini. Karena beliau sekilas ada dengar si ibu ini sebut-sebut soal villa yang lagi kita selidikin ini," lanjutnya.

"Terus?" tanyaku, suaraku terdengar mendesak karena Bion berhenti berbicara.

Sontak Bion berdecak, menyuruhku untuk bersabar. Dia menelan ludahnya, lalu kembali melanjutkan ucapannya yang sempat berhenti sebentar tadi. "Katanya, Feni udah janji mau pulang karena ibu ini udah masak banyak. Hari ini tuh ulang tahunnya."

"Hah? Ulang tahun Feni? Ah, tahu gitu tadi gue ucapin dia." Evan tampak terkejut dan merasa bersalah secara bersamaan.

"Pasti mamanya terpukul banget. Kasihan, ya," komentar Ryan. Aku mengangguk menimpali.

"Gue bingung dah, sebenarnya penculik itu siapa, sih? Tadi di acara, kalian ada lihat orang yang mencurigakan gitu nggak? Atau orang yang diam-diam menyelinap pergi?" tanyaku. Tanpa kusadari, kini kedua tanganku sudah berkeringat karena dari tadi kegelisahan menyelimutiku.

Tatapan yang kami tampilkan begitu serius, karena kami tengah sibuk akan pikiran masing-masing, sampai akhirnya Bion mulai bersuara. "Kayaknya Brima masuk ke dalam daftar tersangka kita."

Hah? Brima? Ah-iya. Aku baru ingat tadi dia ada izin pergi saat kami datang. Apa jangan-jangan sejak itu dia sudah mempersiapkan semuanya? Apa dia takut gerak-geriknya terlihat mencurigakan, makanya dia mengembangkan senyum terus? Atau jangan-jangan dia yang merencanakan acara ini? Supaya kami semua menikmatinya, sementara di lain tempat dia mulai berburu mangsa lagi? Agh! Mengapa kami sama sekali tidak curiga saat itu? Kalau tidak, kan, kami bisa mengikuti ke mana dia pergi dan mengetahui apa yang terjadi. Benar-benar tidak bisa dipercaya. Apalagi hari ini tuh ulang tahun Feni, mamanya sudah memasak banyak lagi. Aku jadi merasa bersalah dan kasihan pada keduanya.

"Brima? Nggak mungkin! Dia baik begitu," bantah Sasa, seketika raut wajahnya berubah menjadi tidak senang.

Ah, sekarang Sasa sudah seperti dihipnotis oleh si Brima itu. Aku tidak suka dengan semua ini. Aku tidak mau Sasa sampai dibutakan dan masuk ke dalam perangkap cowok yang baru ia kenal itu. Masalahnya, mereka itu belum saling kenal lebih jauh. Maksudku, mereka juga tidak perlu mengenal satu sama lain lebih jauh. Tapi, mengapa Sasa tampak begitu percaya pada cowok itu?

"Jangan asal menilai orang begitu aja, San." Kali ini, Ryan yang bersuara. "Selama gue injakkin kaki gue di acara, cuma dia orang mencurigakan yang gue temuin."

Sasa bergeming, ia menunduk dan mulai memainkan jari-jari tangannya. Dari gerak-gerik Sasa, aku tidak tahu apakah ia merasa bersalah karena membela, atau memutuskan untuk diam karena tidak mau berdebat. Terkadang, aku sulit untuk membaca raut wajah dan gerak-gerik Sasa. Ia seolah-olah memasang topeng dan baru membukanya di saat kami tidak ada. Aku ingin sekali bisa membaca isi hati dan pikirannya, supaya aku bisa tahu apa yang ia mau, apa yang ia pikirkan, dan apa yang ia rasakan.

"Tapi, kita nggak ada bukti. Jadi, nggak bisa langsung main tebak gitu aja." Evan menyahut.

Aku mengangguk sekilas. Benar juga apa yang dikatakan Evan. Mau menangkap Brima pun tidak bisa karena kita sama sekali tidak memiliki bukti. Percuma juga kita mempunyai asumsi, karena yang ada kita malah tidak akan dipercaya. Soalnya, asumsi ini hanya berasal dari kami yang notabene-nya bersahabat. Apalagi, di acara tadi semua orang tidak ada yang mempedulikan orang lain dan sibuk dengan diri mereka sendiri. Coba saja ada satu atau barangkali dua orang yang melihat tingkah dan gelagat aneh dari Brima.

"Jadi gimana? Masa kita mau seret dia ke kantor polisi?" tanya Ryan kemudian.

Evan langsung menggeleng tidak setuju. "Mending jangan dulu, kita awasin dia lagi. Kita tunggu sampai kita dapat bukti yang bisa jelasin semuanya. Mulai sekarang, kita harus lebih waspada dan teliti lagi." Setelah Evan menyelesaikan ucapannya, kami semua mengangguk tanda setuju.

"Kita nggak boleh kepancing lagi," cetus Bion sambil mengepalkan tangan kanannya.

Aku melirik Sasa yang duduk di seberangku. Sejak tadi, dia hanya diam saja. Aku tahu saat ini dia merasa kesal karena temannya dituduh seperti itu. Tapi, ini tuh Brima. Cowok dengan tingkah dan senyum yang aneh. Cowok yang patut dicurigai. Cowok yang akan mendapatkan nomor urut pertama kalau aku membuat daftar tersangka versiku. Aku tidak mau Sasa yang menjadi korban selanjutnya karena terpancing dan termakan dengan sifat pura-pura baik yang Brima tunjukkan.

"Eh, tapi ada satu hal yang gue masih bingung. Di mana penculik itu taruh cewek-cewek yang dia culik? Kalau udah dibunuh, kenapa mayatnya nggak ditemukan? Jadi sebenarnya, mereka masih hidup atau udah nggak ada?" tanya Bion, saat ini suaranya terdengar seram. Apalagi ditambah dengan suhu kamar yang dingin. Mendadak udara di ruangan ini seperti tersedot dan membuat kami semua merasa sesak. Hari sudah semakin malam, dan kami semua masih terjaga dan membicarakan tentang ini.

6 Oktober 2018

Kasus RahasiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang