Part 34

4.7K 398 2
                                    

"Pamitan kemana mantanmu, Na?"

Baru aku duduk di kursi-ku, Reyhan sudah muncul dari sampingku dan langsung dengan sopannya duduk di meja kerjaku.

"Kebiasaan kepo boleh disimpen bentar, nggak?"

Reyhan langsung mencebik. "Gitu banget ditanyain."

"Dia tugas di Jakarta lagi katanya. Tapi masih ngarep balikan."

"Serius?"

Aku cuma mengedikkan bahu tak peduli. "Dia sih bilangnya suruh ngabarin aja kalo misalnya masih available."

Reyhan mendadak bertepuk tangan heboh.

"Apa, deh?"

"Ya itu tadi mantanmu, buset lagaknya suruh ngabarin kalo masih available, dikata pre-order novel?"

Aku terbahak mendengar omelan khas Reyhan kali ini. Tidak salah juga sih apa yang dikatakan laki-laki itu barusan. Seharusnya kalau memang Angga benar-benar berharap aku akan memberinya kesempatan lagi, sama seperti yang ia katakan tadi, bukankah seharusnya ia tidak menyerah begitu saja?

Ya meskipun sejujurnya aku juga merasa senang karena ia menyerah, sih.

"Kalo mantan yang satunya gimana?"

Aku tahu, Reyhan pasti akan kembali membahas soal Arka. Baginya, topik soal Angga mungkin memang cuma menarik untuk jadi bahan guyonannya saja kepadaku.

"Nggak tahu, deh, Re."

"Kok gitu?"

Aku cuma mengedikkan bahuku. "Aku masih nggak paham sama mauku dan maunya Arka. Kaya'nya mendingan begini aja deh aku buat beberapa tahun kedepan."

Kali ini Reyhan langsung turun dari meja, lalu menarik sebuah kursi didekatnya dan diarahkan langsung didepanku.

"Bentar..bentar.. Jelasin yang jelas coba, Na."

Aku cuma tertawa. Hafal bahwa Reyhan ini tidak akan begitu saja melepaskan topik yang barusan kulempar ini. Dan memutuskan untuk tidak menghindarinya terlalu lama, aku memutuskan menjelaskan pada laki-laki ini.

"Kaya'nya aku belum bisa aja gitu nerima balik si Arka. Not even anyone. Kamu paham lah, Re, habis ini aku pasti makin sibuk sama urusan buku baru, belum lagi kerjaan disini, belum lagi ngurusin masalah hati. Kok kaya'nya terlalu rame aja gitu isi pikiranku."

Kali ini Reyhan menggaruk-garuk kepalanya sendiri.

"Terus mau bertahan di hubungan owner resto sama pelanggannya aja ini?"

Aku terbahak, paham bahwa Reyhan sedang menyindirku yang hampir setiap hari mendapat kiriman makanan dari Arka.

"Ya nanti aku jelasin ke dia. Daripada buat aku, mendingan makanannya dikirim buat kurir salam yang tiap hari ada aja idenya buat kepo urusanku."

Reyhan langsung bangkit dari duduknya dan menyentil dahiku, sementara aku terbahak melihatnya pergi sambil menahan wajahnya yang memerah.

Memangnya enak disindir langsung begitu?

-------------

Aku sudah berada di gedung kantor penerbitanku, dan seperti biasa mampir ke kedai kopi yang letaknya satu gedung disana, menunggu Mbak Ode yang sejak semalam janjian denganku.

"Mbak Kana kebiasaan, muncul disini kalo mukanya pas ketekuk aja."

Aku memilih duduk di bar, sambil menunggui Reinald membuatkan kopi-ku. Kali ini aku tertawa, terakhir bertemu dengan Reinald, keadaan mukaku juga sedang sama suntuknya seperti sekarang.

"Lagi banyak pikiran, Nald, makanya agak kucel ini muka. Gimana kerjaan? Keliatan makin rame aja aku lihat dari Instagram."

Kami memang cukup akrab bahkan untuk saling follow di Instagram masing-masing.

"Puji Tuhan, Mbak Na, kapan hari dipake shooting salah satu acara kuliner TV. Jadi ya makin banyak yang kenal, deh. Jam segini sih biasanya belum begitu rame, nanti, after office hours gitu, Mbak. Jangankan sempet ngecengin Mbak-Mbak pulang kantor yang mampir ngopi, muka sesama barista disini aja nggak keliatan."

Aku terbahak mendengar cerita Reinald.

"Lagian kopi terus diurusin. Sesekali ambil cuti gitu, jalan-jalan kemana, cari yang mau ngurusin balik." Aku iseng menimpali curhatan Reinald.

"Dih nyuruh. Sendirinya apa kabar nih sama Pak Pengacara?"

Seperti masuk kedalam jebakan sendiri. Bagaimana aku bisa lupa, sih, kalau Reinald juga tahu tentang Arka?

"Ya gitu, deh, Nald."

Seperti paham pada maksud ucapanku, Reinald memilih untuk cuma mengangguk sambil mengangsurkan kopi susu yang barusan dibuatnya kepadaku.

"Ekstra susu, plus gula Jawa. Semoga makin manis buat seluruh ceritanya Mbak Kana."

"Aamiin.." kami kompak tertawa sebelum akhirnya aku memutuskan mencari kursi dan menunggu Mbak Ode.

--------------

"Gimana? Udah siap makin sibuk?"
Mbak Ode mencium kedua pipiku sebelum akhirnya duduk dihadapanku.

"Insya Allah, gimana kabarnya, Mbak? Sori aku nggak bisa mampir beberapa hari ini. Gamma lagi hectic banget, banyak start up baru, dan yah, urusan di luar Gamma juga."

"Good for you. Setidaknya dengan itu, kamu nggak harus terus-menerus mikirin Arka, kan?"

Aku tertawa. Dan karena memang belum sempat juga menceritakan pada Mbak Ode tentang bagaimana perkembangan hubunganku dengan Arka, lengkap soal cerita kirim-mengirim makanan.

"Apa? Se-konsisten itu dia sampe kirim makanan segala macem ke kantormu? Terus apa lagi?"

Mbak Ode yang sedang lahap menikmati nasi goreng udangnya, langsung terbelalak begitu aku menceritakan semuanya.

"Harus banget fokusnya di bagian ngirim makanan? Aku cerita masalah ucapan-ucapannya juga lho, Mbak."

Kali ini Mbak Ode yang tertawa mendengar ucapanku. Lagian, sama aja macam si Reyhan, rasanya bagian mengirim makanan itu memang yang paling menarik perhatian, deh.

"Na, kalau boleh jujur, aku sependapat sama Reyhan."

Aku mengernyit tidak paham pada ucapan Mbak Ode kali ini. Seingatku, sama sekali tidak ada pendapat Reyhan yang kukatakan, tapi kenapa Mbak Ode mendadak sependapat dengan si Kepo itu?

"Maksudku, dari apapun yang Arka bilang. Dari semua pikiran yang membuat kamu bingung sendiri seperti sekarang, masalahnya cuma satu, Arka mau kamu. Dan kamu yang nggak tahu sama maumu sendiri itu apa. Aku salah nggak?"

Aku menggigit bibir bawahku kuat-kuat. Sama sekali tidak ada yang salah dari ucapan Mbak Ode barusan.
Tapi kenapa rasanya aku masih kebingungan sendiri seperti ini?

"Jalan keluar masalah kalian itu gampang, Na. Cukup dua orang manusia dewasa yang mau menyerah dalam ego, dan secara sadar mengakui, kalau kalian butuh satu sama lain."

Entah kenapa mataku rasanya memanas saat Mbak Ode mengatakan kalimat barusan.

Dua orang yang secara sadar mengakui bahwa kami membutuhkan satu sama lain.
Baiklah, aku memang butuh Arka.
Tetapi laki-laki itu?

Jujur, aku tidak bisa semudah itu mempercayai kalimat "aku mau kamu" tanpa diikuti penjelasan dan alasan yang sekiranya masuk akal, untuk ukuran seorang laki-laki dewasa yang membutuhkan seorang perempuan di dalam hidupnya.

"Aku nggak mungkin minta Arka buat bilang cinta, kan, Mbak?"

Senyum Mbak Ode melebar.

"Nggak usah. Nanti tanpa kamu minta, dia pasti bilang sendiri, Kanaya."

Dan untuk pertama kalinya setelah kekacauan hubunganku sendiri, aku bisa merasa selega ini, meskipun mungkin memang harus menunggu untuk sementara waktu.

Burnt Bridge (Completed)Where stories live. Discover now