Part 20

4.7K 391 0
                                    

Tak banyak orang yang tahu kalau pada akhirnya aku memutuskan untuk kembali bekerja di Gamma.co.

Seperti biasa, cuma Mbak Ode, dan kedua orangtuaku yang pada akhirnya tahu kalau aku kembali ngantor.

"Nggak papa, Na. Jadi penulis nggak mengharamkan kamu buat kerja di tempat lain, kok. Asalkan kamu bisa bagi waktunya, that's enough."

Itu jawaban Mbak Ode setelah aku mengabarkan tentang Gamma.co.

Dan seperti biasa, Ayah dan Ibu tentu selalu menjadi suporter nomor satu, dan justru mendukungku penuh karena tahu, pekerjaanku di Gamma merupakan pekerjaan serius pertama yang membuatku sangat betah dulunya.

"Aku nggak langsung minta kamu ngantor gini, Kanaya.."

Pagi itu, sekitar pukul sembilan aku sudah berada di kantor Gamma.co yang terletak di daerah  Mantrijeron, dekat Alun-Alun Kidul.

"Ya aku yang nggak enak, udah masuknya mendadak, datang telat pula. So, what can I do for you, Mas Ferdi?"

Kali ini aku khusus menemui Mas Ferdi di ruangannya. Sebelumnya aku sempat tertahan di ruangan depan karena Reyhan yang langsung heboh menyambut kedatanganku pagi itu.

"Santai dulu aja, Na. Kita lagi banyak project baru tapi bulan depan, kalo kamu mau, pelajarin dulu aja. Habis ini konsepnya aku kirim ke e-mailmu."

Aku tertawa dan langsung mengundang tatapan tidak paham dari Mas Ferdi.

"Ya lucu aja gitu, Mas, masa iya kalo aku mau. Ya kalo udah kerja begini bukan mau atau nggak-nya, Mas. Tapi harus. Gitu.."

"Oalah.. Ya siapa tahu ada yang bikin kamu nggak bersedia gitu, Na."

Aku menggeleng sambil masih tertawa, "nggak lah, Mas. Kalo dirasa-rasain, ternyata kangen banget pegang project lagi."

Mas Ferdi balas mengangguk sambil tersenyum lebar.

"A good start, Kanaya. You absolutely belong here.."

Kali ini kami berdua tertawa bersamaan.

------------

Hari pertama masuk Gamma lagi ternyata jauh lebih menyenangkan dari apa yang sempat kupikirkan.
Mulai dari Reyhan, Mbak Ditha, Pranu, dan Gusti yang merupakan anak lama angkatanku, hampir semua masih sehangat dulu menyambutku.
Sedangkan beberapa anak baru yang belum kukenali namanya satu-persatu juga ikut bergantian menyalamiku, saat sesi perkenalan oleh Mas Ferdi.

"Ikut yuk, Na."
Aku baru beberapa menit menduduki kursiku, sampai Reyhan kembali menghampiriku. Terlihat ia membawa beberapa map dan laptopnya.

"Mau meeting, Re?"

"Nggak, mau cuddling-cuddling lucu. Ya meeting lah, aku maunya kamu masuk tim-ku, Na. Plis mau ya..."

Aku refleks mencibir.

"Dasar. Padahal aku lho itungannya masih magang. Masa ada anak magang langsung diajak project meeting?"

Aku masih menggodai Reyhan tanpa bangkit dari dudukku, sampai akhirnya laki-laki itu justru menarik tanganku cepat.

"Gak ada magang-magangan. Ini aturan seharusnya kamu udah pegang project sendiri. Untungnya aku baik makanya aku minta kamu buat jadi vice-ku."

Aku terbahak. Satu hal yang akhirnya membuat hatiku merasa hangat, yaitu bahwa ternyata bekerja dalam keadaan ramai begini jauh lebih kubutuhkan saat ini.

----------

"Project apaan ini, Re?"
Aku iseng membaca-baca file map yang diberikan Reyhan kepadaku, sementara ia yang menyetir mobil.

"Peresmian kantor start up baru gitu. Di daerah Sagan Baru. Katanya sih deket-deket sama kantor Jogja Digital Valley juga. Itu konsepnya aja hampir sama. IT-IT juga.."

Aku cuma mengangguk-angguk sambil membaca project yang kedepannya akan kutangani bersama Reyhan ini.

Hal yang baru kusadari berikutnya adalah, aku benar-benar sangat tertinggal karena beberapa kali aku sampai harus meng-Google terlebih dulu beberapa hal di dalam proposal yang kubawa.

"Gila ya. Start up makin berkembang gini. Pantesan Jogja juga makin rame, ya, Re."

"Makanya itu, Na. Itu baru yang start up. Kamu tahu bulan depan itu peresmian kantor baru hampir ada kali lima project. Ugal-ugalan banget kan perkembangannya?"

Aku cuma mengangguk-angguk mendengarkan penjelasan Reyhan soal beberapa project yang akan Gamma tangani selama setahun ke depan.

Aku bahkan masih ingat bahwa Gamma.co dulu terbentuk dari hobi Mas Ferdi dan Mbak Vira ikut kepanitiaan. Alias, apa saja urusannya, mereka berdua selalu kompak menjadi panitia pelaksananya.

Sampai akhirnya Mbak Vira yang sebelumnya bekerja sebagai seorang Account Officer di salah satu bank swasta memutuskan untuk resign, begitupula Mas Ferdi yang pada akhirnya memutuskan untuk menggunakan semua tabungannya untuk menyewa kantor Gamma.co.

Saat itu karyawannya cuma lima orang, termasuk aku dan Reyhan, yang sebelumnya memang saling kenal karena sempat magang bersama di perusahaan konsultan tempat Mas Ferdi bekerja.

Saat itu Gamma.co seolah berdiri di tengah keadaan yang serba tidak memungkinkan. Hal yang bahkan membuat Mas Ferdi dan Mbak Vira memutuskan untuk tidak mengambil rumah terlebih dulu, sampai bisa membeli kantor sendiri. Jadi kalau Gamma.co sampai bisa sebesar ini, sudah jelas itu bukan sebuah kebetulan dan keajaiban.
Ada banyak hal yang membuat Gamma.co menjadi seperti ini.

"Seneng banget, Re, akhirnya bisa balik lagi kesini."
Ucapan mendadakku justru membuat Reyhan menoyor pelan kepalaku.

"Makanya, nggak usah sok individualis. Toh jadi penulis nggak serta merta bikin kamu haram kerja di tempat lain, kan?"

Aku tertawa, mengingat ucapan Reyhan sama persis dengan ucapan Mbak Ode dulu.

"Aku cuma nggak enak aja, Re, harus kerja di dua tempat sementara dua-duanya nyita waktu semua."

"Na, Gamma sekarang udah nggak sesusah dulu, kok. Anak magang aja rebutan mau masuk, jadi kalau misalnya kamu harus repot sama urusan buku, kamu sama sekali nggak merepotkan orang lain, kok."

Aku masih diam mendengarkan ucapan panjang dari Reyhan.

"Yang kita nggak bisa ganti itu kamu-nya, Na. Sad but true, posisi kerjaan itu banyak yang bisa isi, tapi tempat kamu, itu yang nggak bisa diisi orang lain."

Hatiku kembali menghangat mendengar ucapan Reyhan.
Dan entah kenapa saat ini, satu-satunya wajah seseorang yang terlintas di pikiranku cuma Arka.
Rasanya aku benar-benar ingin memberitahu laki-laki itu bahwa aku sedang sebahagia sekarang.
Aku pernah membaca di sebuah buku, disana dijelaskan bahwa satu orang yang tiba-tiba kita bayangkan di saat-saat tertentu, entah itu saat paling membahagiakan atau paling menyedihkan, maka besar kemungkinan orang itulah yang paling berarti dalam hidup kita.
Tetapi mengutip kalimat Reyhan barusan, sad but true, meskipun Arka ialah orang yang kemungkinan paling berarti buatku, toh kenyataannya ia justru menjadi satu orang yang tidak lagi menjadi milikku.

Burnt Bridge (Completed)Where stories live. Discover now