Part 27

4.5K 408 11
                                    

Lagi-lagi aku hampir lupa bernapas hanya karena pertanyaan singkat dari Arka.
Ia hanya ingin berteman denganku.
Hal yang sebenarnya jika itu diucapkan orang lain, belum tentu bisa membawa efek se-menegangkan ini.

Aku ingat bahwa satu-satunya hal yang kulakukan saat itu hanya mengangguk ragu.

Ragu lebih kepada diriku sendiri.

Aku tahu, Arka akan selamat dan baik baik saja dalam pertemanan kami ini.
Sedangkan aku? Belum tentu, karena bagaimanapun juga, perasaanku untuk laki-laki itu belum sepenuhnya hilang.

Ditambah lagi saat ini posisi kami adalah dua orang mantan yang baru beberapa bulan putus.
Tanpa masalah yang benar-benar bisa dikatakan sebagai sebuah masalah.

Ketidakmampuan berkomunikasi dan adanya jarak.
Dua hal yang selama setahun terakhir ini menjadi satu hal yang justru kuabaikan.

"Aku balik dulu ya, Na. Masih ada kerjaan yang harus kuurus. Salam buat Reyhan, ya."

Arka kembali pamit. Menyisakan aku yang cuma bisa berbasa-basi melepas kepergiannya sekali lagi.

Seorang teman.
Satu posisi baru lagi yang sekarang kuhadapi dari sosok laki-laki itu. Bukan cuma sekadar mantan yang memenuhi ingatan dan kenangan, tetapi juga seorang teman, yang tentu saja berhak mengetahui kabarku, meskipun tidak harus sedetail dulu.

"Bisa dipastikan kamu emang orang yang nggak bisa sembarangan dilepasin, Na."

Ucapan Mas Ferdi yang menyambutku di lobi seketika membuatku memberengut.

"Apaan banget, deh. Dikata kambing apa pake sembarangan dilepasin segala."

Aku mengambil duduk dihadapan Mas Ferdi dan langsung mengambil sebotol air mineral dingin dari kulkas kecil didekat tempat dudukku.

"Ya itu tadi. Sori ya, tadi nggak sengaja denger pembicaraan kalian dikit, makanya aku jadi tahu kalau kamu sama Arka ternyata udah bubaran."

Aku cuma mengangguk singkat menanggapi ucapan Mas Ferdi.

"Gini amat ya, Mas, aku. Giliran deket sama orang, nggak jauh-jauh semua dari masa lalu."

Mas Ferdi tertawa mendengar ucapanku yang bernada keluhan barusan.

"Nggak boleh gitu. Namanya jatah ketemu itu udah bagian dari rezeki. Ya mungkin memang rezekimu letaknya masih di orang-orang dari masa lalu kamu, Na."

Aku tertawa kecil.

"Agak heran sih awalnya lihat Angga bolak-balik ke kantor, padahal dulunya boro-boro mau kesini, nyamperin acara keluarga aja jarang mau. Eh taunya ada mantan terindahnya disini. Sekarang, Arka yang baru nyampe dari Surabaya, jauh-jauh kesini juga, cuma demi duduk hadap-hadapan sama kamu aja."

Aku mencibir sambil kembali meneguk minumanku.

"Jangan gitu deh, Mas. Angga sama Arka itu anggapannya sama-sama temenku. Yah, bedanya cuma di status aja sih, mantan. Selebihnya ya sama aja. Temen ya cuma gitu-gitu aja.."

Gantian Mas Ferdi yang mencibir.

"Laki-laki nggak se-naif itu, Na. Kamu pikir, kita-kita ini mau setahan itu berteman sama perempuan kalau nggak ada maksud apa-apa? Atau minimal perasaan lah. Nggak ada, Na. We only chase something we know we deserve."

Aku terdiam. Berusaha mencerna ucapan Mas Ferdi barusan.

"Angga, Arka, itu cuma sedang bertahan dengan harga dirinya untuk tetap ada didekat kamu, tanpa membuat diri mereka sendiri kebingungan."

"Maksudnya?"

"Kamu tahu mekanisme pertahanan, kan? Ya itu yang sedang mereka lakukan. Mereka sedang melindungi ego mereka agar mereka tetap bisa dekat dengan kamu, tetap bisa menunjukkan perasaannya, tanpa perlu menghadapi kenyataan bahwa bisa saja kamu menolak mereka."

Burnt Bridge (Completed)Where stories live. Discover now