Part 8

5K 413 3
                                    

"Kenapa kamu tiba-tiba begini, Ka? Kamu bukannya mau mutusin aku kan?"

Aneh, ucapanku kali ini benar-benar terdengar bahwa aku sedang ketakutan, kalau saja karena sebentar lagi aku akan berjarak sementara waktu dengan Arka, maka itu bisa jadi alasan untuk dia memutuskan hubungannya denganku.

Mendadak Arka melepaskan genggamannya lagi, kali ini ia menyentil keningku pelan.

"Kamu mikirnya kenapa jauh banget sih. Aku cuma minta izin karena bakalan jauhan sama kamu. Udah gitu aja."

Aku menghela nafas lega. Setidaknya aku tidak akan mendadak jomblo.

"Ya lagi kamu, mau cerita soal pindah sementara aja pake acara seserius ini. Pikiranku macam-macam lah jadinya.."

"Seserius ini gimana maksudnya?"

Aku melipat tanganku di depan dada, mengisyaratkan bahwa kali ini aku benar-benar merasa sikap Arka terlalu berlebihan untuk ukuran orang yang cuma meminta izin untuk pindah kerja sementara.

"Pasangan lain itu paling cuma bakalan ngobrolin hal ini sambil makan, Ka.."

"Lah kita juga sambil barusan makan.."

Aku memberengut mendengar candaan Arka yang menurutku tidak lucu itu.

"Karena buatku ini serius, Kanaya.."

"Ha?"

Kali ini Arka menghadapkan wajahku kearahnya. Rasanya daripada berbicara dengan pacar, Arka lebih mirip sedang menuturi puterinya.

"Karena aku bakalan disana selama enam bulan, atau bahkan bisa lebih. Dan kita nggak pernah jauhan se-lama itu sebelumnya."

Kali ini aku memilih diam mendengarkan penjelasan Arka. Sejujurnya aku sendiri khawatir, bukan karena Arka adalah tipe laki-laki yang tidak bisa kupercaya, melainkan karena aku mengkhawatirkan diriku sendiri.
Arka benar, selama pacaran, tidak pernah sekalipun aku sejauh itu, dan se-lama itu berjarak dengan dia.

"Di Surabaya aku bakalan handle kasus yang lebih banyak, karena menyusul Pak Hardian. Dan kamu tahu sendiri kan, aku kalau udah kerja itu kaya' gimana.."

Helaan nafasku terasa lebih berat.
Belum selesai soal novelku yang tak kunjung selesai, sekarang ditambah lagi soal kenyataan bahwa aku dan Arka akan berjauhan.

Dan apa itu tadi apa yang Arka ucapkan. Bukan sehari atau seminggu aku mengenal Arka. Dan aku memang tahu persis bagaimana laki-laki itu jika sedang menghadapi pekerjaannya.

"Kamu bakalan jarang balik Jogja?"

Cuma itu satu-satunya pertanyaan yang bisa kutanyakan saat ini.
Sudah terlalu banyak pertanyaan yang kusimpan, dan rasanya akan sangat tidak baik bagi kami berdua kalau aku harus menanyakannya sekarang.
Toh aku masih punya waktu setidaknya satu bulan untuk persiapan.

Arka mengangguk menjawab pertanyaanku.

"Di Jogja aja aku sampai harus cari rumah dekat kantor, kan, biar nggak terlalu jauh pulang kerumah Ayah Ibu?"

Lagi-lagi pertanyaan yang dijawab dengan pertanyaan. Namun bedanya pertanyaan yang diajukan Arka padaku kali ini, tidak menyisakan jawaban apa pun kecuali "ya".

"Sekarang kamu paham kan, kenapa aku sampai harus seserius ini membicarakan kepindahanku sama kamu?"

Aku mengangguk, bahkan meskipun sejujurnya aku masih jauh dari kata paham.

----------

"Apa aku perlu kerumahmu dulu buat pamit sama Ayah Ibu-mu juga?"

Refleks aku menggeleng.

Satu bulan yang tersisa sebelum keberangkatan Arka ke Surabaya pasti akan diisi oleh persiapan yang memakan waktu, dan tentu saja aku sama sekali tidak ingin Arka sampai harus repot-repot pamit kepada Ayah dan Ibu-ku yang sekarang pindah ke Solo itu.

"Aku bisa pamitin kok, kamu telepon aja udah cukup, Ka. Kamu pasti sibuk banget habis ini."

Ia terlihat berpikir sebentar sebelum akhirnya menggangguk.

"Iya sih, setidaknya urusan klien-ku disini harus beres dulu sebelum aku berangkat ke Surabaya."

Aku mengangguk sekali lagi.
Toh memang harus seperti itu kan?
Aku sudah benar kan?

"Kamu sendiri gimana novelnya? Udah punya ide buat nulis lagi?"

Agak terkejut sebenarnya aku mendengar pertanyaan Arka barusan. Bukannya apa-apa, selama ini Arka memang mendukung pekerjaanku, hanya saja dukungan itu biasanya hanya sebatas caranya membiarkanku mengambil waktu untuk menulis sebanyak-banyaknya.
Bukan dengan menanyakan sejauh apa aku menuliskan tulisanku.

"Masih belum, Ka. Mbak Ode justru nyuruh aku rehat dulu.."

"Terus kamu mau rehat dulu?"

Aku menggeleng.

"Rehat nggak akan bikin aku mendadak bisa nulis lagi, Ka."

Kali ini Arka cuma mengangguk pelan.

"Atau kamu kangen kantor lama?"

Aku mengernyit. Agak bingung sebenarnya kenapa tiba-tiba Arka membelokkan percakapan menjadi kearah pekerjaan lamaku dulu.

"Kaya'nya nggak ada hubungannya, deh. Aku cuma lagi stuck aja, lagi bener-bener nggak ada ide. Biasanya sih karena aku terlalu nyaman sama rutinitasku. Saking nyamannya, akhirnya aku bosen.."

"Termasuk ketemu aku berarti?"

"Eh?"

Arka tersenyum singkat dengan ucapannya sendiri yang kutanggapi kaget tadi.

"Sebenernya malah bagus berarti kalau kita jauhan nanti. Siapa tahu.."

Aku mendengus pelan.

"Gak lucu, Ka. Kamu itu seenaknya sendiri, tadi bilang khawatir kalo jauhan karena ini baru pertama kali buat kita, terus bilang lagi bagus kalau jauhan. Nggak jelas banget.."

Arka masih tersenyum, membiarkanku mengomelinya kali ini.

"Ya masalah khawatir, jelas aku khawatir karena kita bakalan jauhan. Tapi denger kamu bilang bosen sama keadaan kamu sehari-hari, siapa tahu kan, kebiasaan kamu akhirnya berubah, dan kamu gak bosen lagi.."

Aku masih diam. Berusaha memahami sebenarnya maksud kalimat panjang Arka tadi apa.

"Sesekali biar kamu kangen gitu sama aku, Na.."

Aku mengernyit mendengar kalimat barusan dari Arka.
Sebentar, aku nggak lagi salah dengar, kan?

"Biar apa, Ka? Coba diulang?"

"Nggak."

Aku terbahak mendengar jawaban getas Arka. Sedangkan yang dimaksud, justru kembali menyalakan TV dan sama sekali tidak mau diganggu.

Burnt Bridge (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang