Part 16

4.2K 401 3
                                    

"Aku nggak lagi dirumah, Ka.."
Setelah jeda diam beberapa detik akhirnya aku berani mengatakan hal itu juga. Bodo amat kalau pada akhirnya Arka marah lagi, toh dia yang nggak ngabarin aku sama sekali kalau mau pulang ke Jogja, kan?

"Iya aku tanya kamu dimana, Na?"

"Aku lagi nginep di Kaliurang."

"Sama?"

Entah kenapa satu pertanyaan singkat seperti itu langsung membuat emosiku kembali memuncak. Buyar sudah semua usahaku untuk menenangkan diri kalau begini caranya.

"Ya sendirian lah, menurut kamu aku bakalan nginep sama siapa sih, Ka?"

Arka terdengar menghela nafasnya berat.

"Lagipula kenapa nggak ngabarin dulu sih kalau mau pulang?"

"Aku pikir kamu bakalan suka kalau aku bikin kejutan gini, Na."

Ya kamu niatnya bikin kejutan malah terkejut sendiri kan kalo aneh aneh begini, Ar.

"Tapi setidaknya kamu bisa kan, Ka, nggak sediam itu? Beberapa minggu ini juga nggak ada kamu hubungin aku.."

Sama sekali tidak ada emosi yang bisa kutangkap dari nada suara Arka barusan saat mengatakan akan memberiku kejutan tadi, bahkan saat aku justru balas mengomelinya, ia masih diam.

"Aku si--"

"Iya aku tau Arka, kamu pengacara yang paling sibuk se-Jogja, dan bahkan sekarang kamu jadi pengacara tersibuk se-Surabaya, jadi aku ini, sebagai pacarmu, harus paham bahwa kamu sibuk banget sampe bales WhatsApp aja nggak bisa. Kenapa nggak sekalian aja kamu sewa admin buat bales-balesin pesan kamu?"

Seolah mendapatkan celah untuk meluapkan emosi, aku sendiri seperti kehilangan harga diri dengan marah-marah seperti itu kepada Arka, yang bahkan deru nafasnya saja tidak bisa kudengar dari balik telepon.

Sebenarnya selama ini aku pacaran sama patung apa gimana, sih?

"Kamu share location aja, Na. Aku nyusul ya. Kita perlu bicara.."

"Jauh, Ka. Udahlah besok aku balik ke rumah kok. Kita ketemu besok aja."

Aku memutuskan untuk menolak Arka menyusulku. Jujur aku kangen banget sama Arka, tapi di posisi emosiku yang seperti ini, aku nggak yakin kalau kami bisa bertemu, ngobrol secara normal tanpa ada keinginan untuk membanting barang.

"Aku nggak ngehubungin kamu, kamu marah, Na. Sekarang aku nyusulin kamu, kamu nggak mau. Kenapa, Na?"

Kali ini Arka ternyata membalas emosiku dengan ucapan yang cukup untuk membuat jantungku kembali berdebar diluar debaran normalnya.

Suara Arka saat mengatakan hal tadi seolah dia sudah benar-benar lelah, dan sejujurnya aku benci hal itu.

"Kamu pulang aja, Ka. Istirahat dulu. Aku kesini juga niatnya kemarin mau rapihin draft tulisan sama istirahat. Nggak papa ya?"

"Ya udah kalau kamu maunya gitu, Na. Besok aku jemput dari Kaliurang-nya. Jangan bantah lagi, ya. Assalamualaikum.."

"Waalaikumsalam.."

-----------

Aku menangis tepat ketika telepon Arka diputus.
Semarah itu aku menghadapi kelakuan pacarku sendiri, orang yang kupikir sudah kukenal dengan baik, tetapi nyatanya tidak lebih dari seperempat isi pikirannya bisa kupahami.

Orang yang awalnya menurutku paling mampu memahami maksudku bahkan meskipun aku tidak perlu banyak mengatakan apapun.

Tapi nyatanya hubungan antara dua orang memang tidak pernah sesederhana itu.
Rasanya aku ingin menertawakan diriku sendiri.
Dengan novel roman yang kubuat, yang hampir selalu dipuji oleh pembacaku karena aku seolah selalu mempu memberikan jawaban atas pertanyaan mereka.

Mengagungkan cerita cinta dengan kompromi sebagai landasan hubungannya, tapi hubunganku sendiri rasanya hampir berantakan karena terlalu lama memilih saling diam daripada menyelesaikan masalah.

Dan sekarang, bahkan ketika sudah ada kesempatan untuk memperbaiki, nyatanya aku justru memilih menghindar.

-----------
Besok siangnya ternyata Arka benar-benar menjemputku, semalam sebelum memutuskan kembali tidur (tanpa berhasil menata draft tulisan) aku mengirimkan lokasi penginapanku kepada Arka.

"Kamu cuma bawa ini?"

Arka yang membantuku membawakan tas punggung terlihat agak heran dengan bawaanku yang super minimalis ini.
Apalagi selama ini yang Arka tahu, tidak ada dalam kamusku bepergian, apalagi menginap tanpa harus ribet terlebih dulu.

"Ya aku kan cuma niat nulis aja, Ka. Makanya gak bawa apa-apa."

"Oh.."

Seperti biasa, Arka cuma mengangguk dalam diam sambil mulai menjalankan mobilnya.

"Kangen banget sama kamu, Ka.."

Gengsiku runtuh seketika saat melihat secara langsung betapa kacaunya penampilan pacarku pagi ini.
Ia sudah pasti capek semalaman, dari Surabaya langsung menuju apartemenku, dan berakhir dengan pulang lagi ditambah bonus kemarahanku.

"Kangen tapi akunya ditinggal nginep di tempat lain itu maksudnya apa?"

Aku tersenyum singkat sambil masih mengamati wajah lelah Arka yang menyetir.

"Lagian siapa suruh pake kejutan datang nggak bilang-bilang dulu, ada telepon, ada WhatsApp, susah banget buat ngabarin?"

"Udah nggak usah mulai lagi, Na.. Semalem aku capek banget, pengen ketemu kamu, giliran udah ketemu masih dimarahin juga. Tolong jangan gini ya, Na.."

Aku tidak menjawab dan cuma mengelus-elus punggung tangan Arka yang masih memegang setir.

Kali ini Arka balas meraih tanganku dan menenggelamkannya dibalik genggaman tangannya sendiri.

Hal yang mendadak membuatku ingin membekukan waktu, agar kami berdua bisa seperti itu, melupakan sejenak adu emosi yang sejak berminggu-minggu lalu tertahan.

"Kamu ngapain sih segala punya ide nginep sendirian gitu? Gak bagus, Na.."

Arka kembali membuka suara, kali ini ia masih belum melepaskan tanganku.

"Beberapa hari aku udah bisa nulis lancar, Ka. Tapi ya gitu, nggak rapih. Makanya aku butuh suasana baru lagi buat rapihin tulisanku yang masih acak-acakan itu.."

"Harus dengan cara kabur-kaburan gitu?"

"Aku nggak kabur, Ka. Cuma nginep beberapa hari aja.."

"Sebelumnya kamu nggak pernah begini, Na. Wajar kalau aku heran.."

Kali ini Arka sudah melepaskan genggamanku, membiarkanku tanpa sadar terbawa kembali kedalam emosi yang tiba-tiba saja muncul di dalam mobil ini.

"Yang kamu lakuin itu makin lama makin ada-ada aja, Na. Dan kamu tahu, aku nggak suka."

Aku menatap Arka yang raut wajahnya mulai mengeras. Terlihat ia sangat menahan emosinya kali ini.

"Kamu beneran punya ide nginep sendirian, kan? Nggak dapat masukan dari orang lain?"

Emosiku kembali terpukul.
Rasanya aku ingin menarik kembali semua ucapanku soal membekukan waktu tadi, karena sekarang jangankan ingin bersama dengan Arka, membayangkan satu jam lebih perjalanan ini saja aku sudah mual sendiri.

"Maksud kamu apa lagi, Ka? Kalau masih mau bahas soal Angga, jangan pakai cara begini. Kamu nggak lupa kan cara bertanya secara langsung tanpa menyindir itu kayak apa?"

Arka menghembuskan nafasnya keras-keras. Semakin terlihat ia hampir kehilangan kendali atas emosinya sendiri.

"Kayaknya memang selama ini aku salah, Na, kalau berpikir bahwa membiarkan kamu mengatasi masalahmu sendiri itu sebagai bentuk rasa sayangku ke kamu.."

Aku memilih diam untuk membirkan Arka melanjutkan kalimatnya.

"Karena nyatanya kamu bisa seenak hati itu mengatasi masalahmu, berbuat apapun semaunya kamu, tanpa benar-benar berpikir bahwa kamu punya aku yang harus kamu jaga perasaannya..

Dan kali ini, untuk pertama kalinya aku mendapati Arka berbicara panjang tanpa terkesan ingin menjaga ucapannya sendiri.

Dan untuk pertama kalinya juga, aku mendapati diriku sendiri menyesali keputusan untuk berhubungan dengan laki-laki yang genggaman tangannya sehangat tadi.

Burnt Bridge (Completed)Where stories live. Discover now