Part 28

4.3K 410 4
                                    

Sepanjang perjalanan menuju rumah Arka, jujur saja perasaanku sama sekali jauh dari tenang.

Sepanjang pengetahuanku tentang laki-laki itu, hampir tidak pernah sekalipun ia sakit asam lambung atau apapun itu kecuali batuk dan pilek.
Arka paling benci pergi ke rumah sakit. Itu satu-satunya alasan yang membuat ia, ditengah padat kesibukannya, memilih untuk tetap sehat meskipun sesekali ia juga bisa jatuh sakit.

Dan entah bagaimana, cerita Reyhan yang mengatakan bagaimana Arka sampai harus meminta tolong kepadanya untuk diantarkan ke rumah sakit, sangat mengganggu pikiranku.

Aku sengaja tidak menghubungi Arka terlebih dulu, meskipun rasanya aku juga tidak begitu yakin kalau laki-laki itu benar-benar sedang berada dirumahnya. Tetapi pikiranku saat ini rasanya hanya satu, bagaimana aku harus segera tiba disana, dan mengetahui bagaimana keadaannya.
Sebagai seorang teman, kalau boleh kutambahkan dengan sebuah garis bawah besar.

Sekitar satu jam lebih, aku tiba di salah satu rumah di kompleks perumahan dimana rumah Arka berada.
Aku sedikit bersyukur karena melihat mobil hitam Arka terparkir di halamannya, pertanda si pemilik ada di dalam. Itu juga kalau Arka tidak memilih keluar rumah dengan menggunakan taksi juga.

Tanpa membuang waktu, aku segera memasuki halaman rumah yang pagarnya terbuka lebar itu.
Pasti Arka lupa menutup pagarnya tadi.
Satu kebiasaan yang sejak dulu hampir selalu menjadi sasaran omelanku.
Ia boleh jadi pengacara yang cukup pintar menghadapi kasus dan klien-nya, tetapi dihadapanku, terkadang Arka entah kenapa seringkali mendadak suka teledor.

Aku mengetuk pintu kayu cokelat itu beberapa kali. Mengamati bahwa Arka tidak juga memasang bel pada rumahnya.

Pada ketukan ke empat, pintu terbuka dan aku mendapati sosok,

"Bianca?"

"Eh, Mbak Kanaya. Masuk, Mbak. Mas Arka di dalam.."

Demi siapapun, kali ini rasanya aku ingin berputar balik dan kembali ke kantor atau kalau perlu pulang saja.

Bagaimana bisa hatiku rasanya se-nyeri ini melihat bagaimana sosok Bianca Halim, yang sore itu terlihat masih sangat cantik meski tanpa pulasan make up, dan dengan bajunya yang amat sangat sederhana. Rok tutu sebatas betis berwarna kuning gading, dipadukan dengan blus putih tulang berlengan sesiku.

Rasanya aku tidak perlu banyak berbasa-basi lagi setelah ini.

"Mbak Kanaya apa kabar? Lama nggak ketemu, agak pangling aku.."

Seperti yang sudah biasa terjadi dalam pertemuan dua perempuan, Bianca secara refleks menarikku dan segera menempelkan pipinya ke pipiku, bergantian.

"Baik, Bi. Kamu sendiri kelihatan baik juga ya. Makin cantik.."

Entah senyum seperti apa yang muncul dari wajahku saat ini, karena jujur saja perasaanku mendadak jauh dari kata baik.

"Masuk, Mbak. Ada Ayah dan Ibu juga di dalam."

Tenggorokanku rasanya makin tercekat saat mendengar bahwa sedang ada Ayah dan Ibu juga di rumah ini.
Sedang Bianca sudah membimbing tanganku untuk masuk dan menuju ruang keluarga.

"Lho, Kanaya?"
"Nduk.."
"Na?"

Tiga sapaan bergantian dari tiga orang yang sedang duduk saling berhadapan di ruang keluarga seketika semakin membuatku terasa sesak.

Jadi aku datang tepat untuk menyaksikan bagaimana lengkapnya formasi keluarga Arka saat ini. Mungkin tinggal Mas Radhi dan Mbak Sinta saja, maka mereka sudah bisa membuat satu foto keluarga.
Dan aku, bagaikan orang bodoh yang sampai harus berdiri mematung, menatapi satu persatu manusia-manusia didepanku ini tanpa punya ide untuk melakukan apapun yang sekiranya bisa meredam nyerinya hatiku.

Burnt Bridge (Completed)Where stories live. Discover now