Chapter 8 - Bagian 2

2.1K 181 28
                                    

"Kau yakin tidak ingin ku antar? Ini sudah jam delapan malam, aku tidak ingin mengingkari janjiku!" Jill menatap cemas pada sabahatnya itu.

"Tidak perlu, Jill, sungguh. Lebih baik kau segera bersiap ke rumah sakit, jangan buat ibumu menunggu." Shinta tersenyum, sambil memasang kembali jaketnya.

Sebenarnya sahabatnya itu memang berjanji mengantarkan Shinta untuk pulang, jika saja telepon dari rumah sakit beberapa menit yang lalu tidak menginterupsi percakapan mereka. Jill diminta untuk segera pergi ke rumah sakit, karena perawat mengatakan ibu Jill yang sedang sakit menolak untuk melakukan cuci darah, penyakit rusak ginjalnya yang memang sudah parah mengharuskan wanita paruh baya itu menghabiskan sisa hidupnya di rumah sakit, apalagi mengingat jika Bibi Lie, ibunya Jill, menolak untuk melakukan operasi pencangkokkan ginjal. Dokter mengira usianya tidak akan bertahan lama. Tetapi lihatlah sekarang, ia justru bersikeras mengantarkan Shinta.

"Aku tidak terlalu perduli dengannya, keselamatanmu lebih penting!"

"Tetapi, Jill—"

"Lagipula, dia hanya wanita jahat yang membuat ayahku kecelakaan dan meninggal, lalu—"

"Jill..." Shinta memotong ucapannya, mengusap surai pirang Jill sejenak, lalu tersenyum, "Dia tetap ibumu, dia orang yang melahirkanmu."

Jill bungkam ditempatnya, matanya menatap Shinta dengan lamat, hingga gadis itu menghembuskan napasnya dengan pelan, lalu menggenggam kedua tangan Jill. Perlahan, Jill membuka mulutnya, bersuara dengan lirih.

"Kau benar..." Ucap Jill sambil mengeratkan genggaman tangannya, "Terimakasih..."

Ia membawa Shinta ke dalam pelukannya, "—Shinta..." Sambungnya, setelah pelukannya pada Shinta terlepas.

"Kau lebih cocok memanggilku Verine, sungguh." Shinta mencibir dengan nada bercanda, bermaksud mencairkan suasana diantara mereka.

Jill mengerucutkan bibirnya, "Jangan salahkan aksen britishku, salahkan saja namamu!"

Shinta terkekeh, mereka sekarang berdiri di depan pintu apartemen Jill yang sudah terbuka. "Aku pulang dulu, kau jangan lupa ke rumah sakit..."

"Baiklah, kau berhati-hatilah dijalan." Sahut Jill. Shinta mengangguk sejenak, lalu melangkah keluar dan berjalan menuju lift, menjauh dari kamar apartemen yang menyimpan Jill di dalamnya.

Shinta memencet tombol angka satu setelah berhasil masuk ke dalam lift. Ia menyenderkan tubuhnya perlahan pada dinding lift di belakangnya. Gadis itu terdiam, ia menunggu dengan sabar angka dua puluh tujuh yang tertera di screen lift, berubah menjadi angka satu. Ia menutup sejenak matanya, perlahan tangan kanannya terangkat dan menyentuh pelan bibirnya. Bayangan kejadian tadi pagi, kembali terulang di dalam kepala sang gadis.

Desahan napas terdengar dari bibir yang terhalang jemari tangan itu, Matanya kembali terbuka, menyipit dengan jengkel. Pria tidak waras! Umpatnya dalam hati. Shinta mengacak-acak kasar poninya, lalu menyampirkannya secara sembarang ke belakang telinga, ia hampir berteriak dengan keras. Demi kacang kedelai yang Shinta benci seumur hidup, itu ciuman pertamanya!

DEMI TUHAN, CIUMAN PERTAMA!

Oh, Shit!! Kini lenyap sudah impian Shinta tentang segalanya, hilang sudah hayalan first kiss romantisnya setelah janji pernikahan! Damn it! Sekarang ikan di laut pun tahu jika bibir sucinya ternodai, bahkan sialnya oleh pria aneh yang datangnya pun tidak di undang, dan haruskan ia menambahkan kata; pulang tidak diantar? Batin Shinta mendramatisir. Ia merasa semakin tidak waras, ia bahkan tidak mengerti dengan apa yang ia ucapkan dalam hati.

Oh, ayolah, Shinta ingin dirinya amnesia mendadak. Shinta pikir, jika ia datang dan mengobrol panjang lebar dengan Jill, ia akan melupakan segala kejadian gila yang membuat perasaan aneh menjalar pada tubuhnya. Namun sepertinya gagal, itu tak berhasil sama sekali.

Shinta kembali mendesah, tangannya terangkat dan di letakkan di depan dada. Detakan jantungnya masih menggila seperti sebelumnya. Ritmenya mengalun dengan cepat, bahkan ia ragu jika degupan ini pernah dialami manusia yang normal.

Shinta tidak mengerti, apa sebuah ciuman tanpa status hubungan bisa menyebabkan sakit jantung? Pikirnya.

Ah, tentu saja tidak, jika memang benar maka Rama sudah mati sejak lama.

Sejenak, kepalanya menoleh, menatap bayangan samar miliknya yang terpantul di dinding aluminium disampingnya. Pikirannya terhenti seketika, matanya terpaku pada bayangannya sendiri. Dengan perlahan ia membuka sedikit mulutnya, menyentuhkan ibu jari tangannya kepada salah satu sisi gigi taring di dalam mulutnya yang terbuka, lalu sedikit menekannya ke dalam.

"Auw–" Shinta meringis tanpa sadar, anyir darah terasa samar di lidahnya. Dengan cepat ia menarik ibu jarinya, matanya membelalak ketika melihat darah merembes keluar dari luka gores di tengah telapak ibu jarinya. Dahinya mengernyit dengan bingung.

"Apa dari dulu gigi taringku memang setajam dan sepanjang ini, ya?" Gumamnya aneh. Ia menghisap darah yang merembes itu dengan cepat, hingga mengeluarkan suara cecapan sejenak.

Lalu... sejak kapan aku suka rasa anyir dari darah? Sambungnya dalam hati.

*****

Shinta mendesah lelah. Kenapa ia begitu sial hari ini? Ia tidak mengerti apa yang salah pada dirinya hingga nasibnya begitu buruk. Shinta tidak pernah menyangkanya, karena istri supir taksi yang ia tumpangi mendadak melahirkan, ia harus merelakan dirinya turun di depan pintu gerbang jalan menuju ke rumahnya. Ditambah lagi ponsel pintar di tangannya sudah mati kehabisan baterai, bahkan saat ia berpikir ingin meminjam ponsel milik security yang biasanya berjaga di pos gerbang itupun, Shinta harus kembali merelakan harapannya pupus begitu saja ketika tidak menemukan siapapun disana.

Jadilah, sekarang ia harus rela berjalan kaki, demi tidur nyaman diranjang hangat miliknya. Benar-benar hari yang buruk. Desahnya dalam hati.

Ia mengeratkan jaket yang melekat ditubuhnya. Hawa dingin ini terasa semakin menusuk, hembusan angin yang menerpa tubuhnya, membuatnya menggigil. Matanya memutar, menatap sekelilingnya yang terlihat sangat sepi. Ia mengusap pelan lehernya sejenak, lalu dengan tergesa mempercepat kakinya, terus melangkah ke depan tanpa menoleh sedikitpun. Hingga beberapa saat kemudian, suara pekikan burung gagak yang terbang mendadak dari pohon membuat langkah kaki Shinta terhenti, napasnya bahkan tercekat.

Hentakan langkah kaki terbalut sepatu kulit terdengar nyaring, beradu dengan aspal yang dipijak. Memenuhi indera pendengarannya, memecahkan keheningan yang mencekam disekitarnya. Shinta membeku sepenuhnya, detakan jantungnya terpacu dengan cepat.

Pergi, Shinta! Lari atau kau akan mati! Orang di belakangmu ini bisa saja pembunuh! Shinta berteriak sendiri di dalam hati. Namun, jangankan untuk berlari, bahkan untuk bernapas saja ia merasa sangat sulit.

Shinta meneguk ludahnya susah payah. Langkah kaki nyaring itu terhenti tepat di belakangnya, ia bahkan merasakan punggungnya menempel dengan dada bidang seorang pria. Tubuhnya bergetar, hembusan napas pria itu menerpa lehernya yang tertutup rambut panjang. Ia mematung, tidak berkutik sama sekali. Shinta merasakan bibir sang pria menyentuh leher sampingnya, sedangkan kedua tangan dingin itu menyibak rambutnya yang tergerai. Bibir itu menempel, dan kemudian terbuka perlahan, menciptakan sensasi geli yang membuat Shinta merinding seketika.

"Ratuku...." Pria itu berbisik dengan intim, sebelum kegelapan menenggelamkan Shinta jauh ke alam mimpi.

To be continued

________________________________

Next : Chapter 9 - Bagian 1

The Prince Vampire : Empress Of The Pure BloodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang