Chapter 7 - Bagian 2

2.1K 186 34
                                    

Jika ada yang bertanya, apakah ia percaya kebetulan? Dengan lantang Shinta akan menjawab; tentu saja tidak! Tetapi, Hell?! Bolehkah ia mengumpat? Bolehkan ia bersikap bar-bar sehari saja?! Sungguh, demi racun ikan buntal, Shinta sangat ingin mencaci-maki pria yang ada di hadapannya ini sekarang!

"What the-" Shinta hampir memekik. "Kenapa kau selalu ada di sekitarku?!"

Demi Tuhan, Shinta hanya ingin menjauh dari pria ini, Catat, HANYA INGIN MENJAUH. Tetapi, hei?! Apa yang pria ini lakukan disini?! Shinta kembali menjerit dalam hati.

Tanpa mengatakan apapun, pria itu hanya mengangkat samar kedua alisnya. Kedua tangannya bersedekap di depan dada, bersamaan dengan matanya yang melirik sekilas pada sebuah papan nama di pintu apartemen bernomor 196. Shinta mengernyit sejenak, ia spontan menolehkan kepalanya mengikuti pandangan sang pria, lalu membaca papan nama itu dengan lamat.

Rayzel Regarta. Itu jelas tertulis.

Shinta terdiam, ia mengatupkan bibirnya lalu kembali menatap Rayzel dengan salah tingkah. Ia membuka mulutnya sejenak tetapi menutupnya kembali. Wajahnya memerah, Shinta membuang pandangannya ke sembarang arah sambil mengigit bibirnya. Bagus! sekarang ia mempermalukan dirinya sendiri! Shinta mendecak kesal dalam hati.

Apa sekarang Shinta harus percaya pada sebuah pribahasa; dunia tidaklah lebih besar dari sebuah daun mangga? Gila! Shinta merasa gila!

Rayzel bungkam, ia justru terpaku menatap Shinta yang tengah merutuki dirinya sendiri dalam hati, lalu memperhatikan dengan lamat wajah cantik yang memerah itu. Rayzel bahkan menurunkan pandangannya ke bawah, matanya menatap intim pada bibir bawah Shinta yang masih setia ia gigit.

Iris hitam Rayzel memerah untuk sejenak, ia menurunkan kedua tangannya yang sedari tadi bertautan di depan dada, lalu dengan perlahan memajukan tubuhnya. Ia mendekatkan bibirnya pada telinga kanan Shinta yang masih terdiam di tempatnya.

"Jangan menggigit bibirmu di hadapanku." Bisik Rayzel. Pria tampan itu mengangkat sudut bibirnya, saat merasakan tubuh gadisnya itu menegang. Shinta memundurkan langkahnya, ia menoleh sekilas, sorot matanya menatap Rayzel dengan tajam.

"Memang kenapa? Apa yang akan kau lakukan?!" Shinta mendengus.

Rayzel yang masih setengah membungkuk, kembali menegakkan tubuhnya. Ia melangkah perlahan menuju kearah sang gadis, hingga gadis itu kembali memundurkan kakinya dengan spontan.

"Aku bertanya, apa yang akan kau lakukan?!" Shinta kembali berucap, tangannya mengepal, bergerak mengikuti tubuhnya yang mundur dengan teratur, kemudian meringis sejenak saat merasakan punggungnya bertabrakan dengan dinding.

Rayzel menyeringai disaat jarak tubuhnya dan Shinta semakin dekat, pria itu mengangkat kedua tangannya, lalu mengurung Shinta di antara dinding dan tubuhnya.

"Aku?" Rayzel bersuara. Shinta bungkam, ia hanya menatap was-was pada wajah pria yang kini berjarak beberapa senti dari wajahnya.

"Aku ingin sekali mencemarimu," Bisik Rayzel, suara indahnya terdengar serak. Seiring dengan wajahnya yang semakin mendekat pada Shinta, ia melanjutkan ucapannya. "Aku ingin menodaimu, setiap inci, setiap jengkal, setiap bagian di tubuhmu... Aku ingin merusaknya dengan tandaku...."

Shinta terpaku, ia merasakan tubuhnya gemetaran. Shinta tidak mengerti apa yang ia pikirkan. Mendengar kata-kata vulgar seperti itu, rayuan tanpa basa-basi yang menyiratkan keinginan mendominasi, Shinta seharusnya mendorong pria ini! Akal sehatnya berteriak dengan keras. Demi Tuhan apa yang Shinta lakukan? Bahkan setelah kata-kata itu terucap, Shinta hanya bisa mematung di tempatnya.

"Tatap aku, Shinta..." Suara merdu itu kembali menyadarkan Shinta, gadis itu merasakan telapak tangan dingin menyentuh sebelah pipinya, membuat ia menolehkan wajahnya kembali pada pria di hadapannya.

"Lihat mataku..." Rayzel kembali berucap, matanya berubah sayu. "Lihatlah, Shinta, lihatlah takdirmu... Lihatlah, jika masa depanmu adalah menjadi milikku."

Shinta menatap dalam iris mata hitam itu, ia meneguk ludahnya susah payah. Shinta tidak tahu harus menjawab seperti apa, ia hanya terdiam sambil mengepalkan kedua telapak tangannya. Bahkan ia tak bergeming ketika Rayzel memiringkan wajahnya dan semakin mendekat.

"Kau milikku," Bisiknya. Pria itu menempelkan bibir mereka sejenak, lalu melumatnya dengan intim, "Ratuku...."

Debaran di dadanya terdengar, Shinta merasakan jantungnya bergemuruh. Tidak, ini jelas bukan karena ciuman pertamanya yang sudah di rebut! Kenapa? Kenapa perkataan terakhir pria itu membuat hatinya berdenyut kencang seketika?! Dengan spontan Shinta mendorong Rayzel dengan keras, membuat pria itu melepaskan pelukannya.

Shinta merasakan napasnya terengah, darahnya bergemuruh. Tangan kanannya terangkat dan mencengkeram baju dibagian dadanya, tepat dimana jantungnya berdetak tanpa terkendali. Kenapa? Batinnya. Apa yang terjadi pada tubuhku? Shinta mengernyit, tubuhnya membungkuk seiring dengan kelopak matanya yang terpejam.

Rayzel menatap gadisnya yang tengah mencengkeram baju dibagian dada nya sendiri dengan erat, "Shinta...." Panggilnya.

Mendengar suara Rayzel yang memanggilnya, Shinta mencoba mengatur napasnya. Ia melepaskan cengkeraman tangannya pada baju, lalu menegakkan kembali tubuhnya kemudian membuka mata dengan perlahan.

Sejenak, Rayzel merasakan dirinya tersentak, matanya bahkan membelalak untuk beberapa saat, sebelum akhirnya kembali memasang ekspresi datar ketika mendengar Shinta meringis dan menutupi kedua matanya dengan telapak tangan. Gadis itu kembali menurunkan tangannya dan kembali membuka matanya. Dengan napas yang masih terengah, Shinta menatap Rayzel dengan linglung. Pandangan mereka terkunci sejenak, sebelum akhirnya sang gadis membalikkan tubuhnya dan berlari memasuki lift dengan tergesa, meninggalkan Rayzel yang masih mematung di tempatnya.

Dengan perlahan Rayzel menutup mata seraya mendongakkan sedikit kepalanya. Sebelah telapak tangannya dijalarkan ke atas, ia mengusap pelan bagian belakang lehernya kemudian kembali membuka matanya. Kedua sudut bibirnya nampak terangkat sedikit demi sedikit, membentuk seringaian puas di wajah tampannya.

Akhirnya... Rayzel membatin. Setelah penantiannya bertahun-tahun, bolamata indah itu berubah.

Merah, Semerah darah.

Rayzel puas, ia bahagia. Membayangkan bagaimana mata gadisnya berubah, membuat perasaan senang membuncah dalam dirinya. Mata Rayzel menajam, ia merasakan gejolak dahsyat yang mendorongnya hingga di batas kesadaran.

"Malam ini..." Bisiknya. Rayzel meneguh ludahnya. Perlahan, lidahnya menjilat bibir bawahnya sendiri, lalu mendesah dengan intim. "Kita akan berbagi rasasatu sama lain, Ratuku.."

"Aku sangat tidak sabar...." Sambungnya. Rayzel kembali menyeringai. Ia membalikkan tubuhnya, membuka pintu apartemennya dan memasukinya dengan cepat. Setelah pintu apartemen itu tertutup. Entah Rayzel menyadari nya atau tidak, seorang pria yang sedari tadi menyaksikan kejadian antara dirinya dan Shinta keluar dari balik pintu bernomor 197.

Rama. Ia menatap pintu apartemen bertuliskan 'Rayzel Regarta' itu dengan tajam. Ia mendesis, lalu mengepalkan kedua tangannya.

___________________________

Next : Chapter 8 - Bagian 1

*

Note : terimakasih sudah membaca, mohon dukungannya dengan vote dan komen ya😊

The Prince Vampire : Empress Of The Pure BloodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang