Langit Yang Tak Menentu

207 33 14
                                    

Namaku Radit Wiranagara. Umurku lima belas tahun. Beberapa bulan lalu aku adalah murid di SMA 68 Centropolis, sekolah terbaik untuk meraih cita-cita.

Ada banyak hal yang tidak kusukai di dunia ini, salah satunya termasuk pergi ke museum.

Aku selalu tak suka pergi ke museum. Saat aku pergi ke museum pasti banyak hal yang membosankan. Tak banyak yang bisa kudapat kecuali hanya ocehan tentang sejarah. Bukannya aku malas tentang materi ini, namun hanya saja otakku ini tak mampu mencerna apa yang telah disampaikan guide.

Akhir bulan Mei ini sekolahku mengadakan kunjungan ke museum yang ada di Centropolis. Bersama 6 anak kurang waras yang bernasib sama denganku. Kali ini Pak Burhan juga ikut sebagai pendamping.

Selama perjalanan "karya wisata" kali ini aku berharap agar tak terjadi hal hal buruk maupun aneh. Sudah cukup aku mengecewakan ibuku. Aku berniat untuk menjadi anak baik. Selama istirahat, aku hanya melihat aksi jahil para anak laki laki konyol kepada pejalan kaki yang melintas sambil memakan bekal yang kubawa.

Langit yang awalnya begitu cerah berubah menjadi gelap. Tampaknya sebentar lagi akan turun badai besar. Akhir-akhir ini di Centropolis cuacanya sangat tak menentu. Bahkan, karena hal itu beberapa laga sepak bola pernah di tunda.

"Terlihat aneh bukan?"

"Astaga! Anda membuat saya terkejut pak." Pak Burhan yang tiba tiba duduk disebelahku, terkekeh geli.

"Iya memang, padahal sebelumnya semua terlihat baik baik saja." Lanjutku.

Pak Burhan seorang pria berumur 30 tahun, badannya masih sehat dan bugar. Karena ia selalu berolahraga setiap sore di taman kota. Ia memiliki jenggot dan kumis yang unik. Salah satu temanku mengatakan bahwa ia memiliki kekuatan ajaib, yakni membaca pikiran. Layaknya Professor Xavier di film X-Men.

Apakah itu nyata?

Aku tak tahu apakah itu nyata, tapi yang kutahu ia bisa melakukannya.

"Terkadang hal yang normal bagi kita belum tentu normal bagi orang lain." Sahutnya.
"Sekarang tinggal apa kau mau menerima takdir itu"

Maksudku, benarkan? Dia senang sekali melihat anak muridnya terlihat pusing merangkai kata untuk jawaban.

"Normal? Takdir? Apa yang Bapak maksud?" Tanyaku.

"Suatu hari nanti kau pasti akan mengerti itu, Nak." Jawabnya.

"Cepat selesaikan makan siang mu dan temui kami di aula"

Aku bergegas menyelesaikan makan siangku dan menuju ke aula museum.

Saat aku melewati area binatang, aku melihat patung yang nampak aneh sekali. Aku sangat yakin bahwa patung ini tak pernah ada sebelumnya, karena terakhir kali kutahu museum ini punya koleksi baru yaitu pada tahun 2003. Patung ini berbentuk seperti anjing atau bisa dibilang serigala, dilengkapi dengan peralatan berburu layaknya anjing mata-mata.

Aku hanya bengong. Gilak, serem banget! Masih kuperhatikan asal patung itu, karena tak ada informasi apapun yang tertera di papan. Lalu tiba tiba Pak Burhan memanggilku.

***

Pak Burhan memimpin perjalanan pulang kami menuju ke sekolah. Dari sini, hanya sekitar 2,3 Km. Ada satu bis khusus yang bisa digunakan untuk menuju sekolah. Kami menunggu di halte depan museum. Tak lama bis yang kami tunggu pun datang, seketika hujan juga mengguyur tubuh kami. Untungnya kami sempat masuk ke dalam bis tanpa basah kuyup.

Aku memilih untuk duduk disamping Jessy, walau dia sangat cerewet setidaknya aku tak harus duduk bersama para anak laki laki konyol itu. Muka Jessy tampak kesal.

Di sekolah aku kenal dengan Jessy atau Jessica, gadis yang terlihat cerewet namun memiliki kecerdasan di atas rata-rata orang biasa.

Bagaimana aku bisa kenal dengannya?

Bukan, aku bukan pengagum rahasianya

Ia adalah mentorku saat aku terkena masa percobaan oleh guru pembimbing. Yap! Tepat sekali! Aku adalah salah satu siswa yang paling sering membuat onar di sekolah, baik disengaja maupun tidak.

Kau mau bukti?

Aku bisa ceritakan semua itu darimana pun kalian mau. Namun keadaan puncaknya terjadi beberapa bulan lalu saat ujian praktek Fisika, aku tak sengaja menumpahkan botol yang berisi cairan alkohol ke kopi milik guruku.

Alhasil, aku harus setiap hari bersama gadis menyebalkan dan cerewet seperti Jessica. Itu terasa seperti penyiksaan. Setiap hari aku tak dapat bebas beraktivitas, ia selalu menyuruhku untuk melakukan segala hal.

"Apa apaan ini? Kenapa kau duduk disini?" Nyaringnya. Kadang aku heran. Kenapa ya anak ini senang sekali berteriak.

"Kalem, aku ga bakal ngapa ngapain." jawabku "Aku males bergaul dengan para lelaki konyol itu"

"Tunggu dulu, bukannya kau golongan mereka juga? Hahaha" ledeknya.

"Apa kau lupa alasan aku mendapat masa percobaan?" sahutku.

Jessy langsung menutup telinganya dengan ear phone dan menatap ke arah luar jendela. Nampaknya ia tak mau mengingat kejadian itu. Wajar saja, awal aku terkena masa percobaan adalah saat aku mengacaukan acara reuni dan tak sengaja membakar hampir sebagian rambut Jessy.

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
THE TRAVELERS : UTOPIA (Rehat) Where stories live. Discover now