17

9.1K 1K 38
                                    


Siang itu, seluruh orang desa sedang menyiapkan beragam hal untuk perjalanan Eva beserta para Yang Mulia. Tak luput, Lavia dan Raiga ikut menyertai keberangkatan mereka sebagai pengawal Eva.

Atas izin dari Tuan Viiji, mereka berangkat hari ini juga, tanpa penundaan. Memang kesannya tergesa-gesa sekali, tapi tidak ada pilihan lain. Jika mereka menunda hingga besok, kemungkinan sang penyihir akan mengirim bencana lain yang belum pernah terjadi sebelumnya juga semakin besar. Mereka hanya punya waktu kurang lebih dua minggu untuk mencari pedang itu. Terlambat sedikit saja, warga yang telah terkutuk – mendapat tanda mawar hitam di lehernya, akan mati dan muncul korban lain.

Sebelumnya, Tuan Viiji telah memberi mereka kuasa perlindungan dengan wujud kalung permata hijau. Eva, Noir dan para Yang Mulia mendapatkannya, tapi tidak dengan Lavia serta Raiga karena mereka sudah dibekali ilmu pertahanan diri oleh Viiji secara langsung. Jika terjadi sesuatu di perjalanan, dua pengawal bersaudara itu akan menunjukkan kemampuan sihir mereka terlebih dulu. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Ketika Eva dan para Yang Mulia muncul, semua warga desa menyambut hormat mereka dengan menunjukkan persediaan yang telah terkumpul. Tak lupa, mereka juga mendapat kuda, satu orang satu, kecuali Raja Alan lantaran dia sudah datang dengan kudanya sendiri dulu. Desa pencuri memang desa yang sudah mempersiapkan segala hal untuk saat-saat seperti ini.

"Eva!" pekik seorang wanita di antara kerumunan. Wanita itu ibunya. "Evangeli!"

Tanpa sungkan, ia menerobos kerumunan dan menghampiri Eva di tengah-tengah kerumunan. "Kabarnya kau akan meninggalkan desa sekarang juga? Kenapa tidak memberitahu??"

Eva memeluk ibunya itu dengan penuh rasa bersalah. "Maaf, Ibu. Waktunya sungguh singkat. Aku dan para Yang Mulia akan pergi bersama mencari pedang perak selama dua minggu. Setelah itu, kami akan kembali jika memungkinkan."

Ibu Eva balas memeluk anaknya erat. Ia berbisik supaya hanya Eva yang mendengar perkataannya. "Apa kau dungu? Berpikirlah! Setelah mendapat pedang itu, kau akan dibawa langsung berhadapan dengan penyihir! Mereka tidak mungkin memberitahumu karena masih belum yakin dengan apa yang akan terjadi, tapi inilah yang kurasakan, Eva. Tidak mungkin kau kembali ke sini begitu mendapat pedang itu! Bibimu juga bercerita pada kami sehingga kami semakin yakin. Kami tahu ini keputusanmu, kau yang memilih. Tapi, jika berat untukmu, lebih baik pergilah diam-diam ketika selesai berurusan dengan pedangnya!"

Tentu Eva sedikit terkejut. Apa yang dikatakan ibu ada benarnya. Untk apa membawa pedang itu kembali ke sini, jika mereka bisa langsung berhadapan dengan penyihir?

Tapi, waktunya benar-benar singkat! Lebih lagi, kami tak tahu di mana penyihir itu dan apa yang sedang terjadi di luar sana! Yang benar saja kami bertarung tanpa persiapan dan asal serang?!

Bisa saja, ya? Semua kemungkinan bisa terjadi. Apalagi, ini pertarungan dengan melibatkan sihir. Batin Eva berkecamuk. Dia antara siap dan tidak siap. Jika modal berani, ia sungguh berani saat ini, tapi jika diadu dengan kekuatan sebenarnya, dia tentu belum matang benar.

Noir tahu, ada keraguan dalam diri gadis itu. Namun, tak ada yang bisa dilakukannya sekarang. Semua terserah pada Eva.

Beberapa detik kemudian, Eva hanya menyunggingkan senyuman kecil pada ibunya. Menyiratkan agar wanita itu tidak khawatir dan percaya saja pada putri satu-satunya.

"Ibu, serahkan semuanya seperti air mengalir. Tentu, Yang Kuasa tidak menutup sebelah mata. Entah apa yang akan terjadi, baik, atau buruk, tidak ada yang tahu. Ramalan bisa salah, takdir bisa saja dibelokkan, dan sihir bisa dilenyapkan. Manusia hanya bisa berjuang jika percaya pada kemampuannya," balas Eva berbisik pada telinga sang ibu. "Aku percaya pada kemampuanku. Ibu, percaya padaku?"

The Abandoned Kingdom - Black || Noir [END]Where stories live. Discover now