Part 1

6.9K 400 0
                                    

Jam kucingku terus saja bernyanyi membuatku jengah di balik selimut. Siapa yang tidak akan bangun jika kucing alarm sialan itu berdering terus seakan ada speaker yang terhubung dengannya.

"Aduh-aduh iya!!" keluhku sembari menyentil dahinya bermaksud menyuruh alarm itu untuk berhenti bersuara.

"(Nama kamu) bangun kamu!!" heeeh... Baru saja masalah alarm sialan itu selesai ada lagi alarm bangun yang lebih sialan lagi dipagi ini. Jujur saja, aku berdigik saat Mbak Meri--kakak perempuanku itu teriak membangunkan. Pasalnya, selama 16 tahun aku hidup, tak pernah tuh dia punya niat membuatku bangun. Malahan, dia akan senang kalau aku terlambat ke sekolah.

"Iya mbak, ini bangun ini,"

"Mandi buruan, di tungguin ayah bunda di bawah. Mau ngajak lo kesekolah baru," wajah Mbak Meri yang menyembul dari pintu kamar membuatku terkejut. Masker malam yang biasa ia gunakan sebelum tidur, belum terlepas dari wajahnya.

"Apaan sih Mbak! Udah sana lo pergi cuci muka gih," Mbak Meri hanya tertawa kecil sambil bersenandung meninggalkan kamarku.

Biarku jelaskan, ini adalah hari kedua aku tinggal di Jakarta, dulu aku tinggal di Kota Empek-Empek alias Palembang. Dan sungguh kebetulan, ini adalah hari Senin. Dimana aku harus ikut ayah mengurus kepindahanku.

###

"Bunda, masa ya waktu aku bangunin (Nama kamu) tuh mukanya asem banget kayak abis liat hantu," kekeh Mbak Meri. Dia menyantap roti bakarnya dengan tawa konyol, serta beberapa potong roti jatuh di baju seragam kantor barunya. Iyuwh, maafkan aku Mbak tapi itu bener-benar jorok.

"Gimana gak gitu Bun, orang Mbak datang dengan muka hitam gitu kayak abis tempur aja,"

"Eheh,"

Ayahku hanya menggeleng bersamaan dengan Bunda, mungkin mereka baru berpikir kenapa anaknya bisa perempuan semua. Atau berpikir kenapa anak bungsunya sungguh cantik? Ah nggak tau deh.

"Dek, jadikan ikut ayah? Biar kamu tau juga jalan kesekolah baru itu," ayah memulai topik pembicaraan normalnya. "Kan besok-besok nanti kesesat kalau gak tau jalan,"

"Iya ikut,"

Bunda tersenyum antusias. Aku tau alasan bunda senyum antusias begitu, kalau aku ikut dengan ayah otomatis bunda juga akan ikut dengan beralasan ingin tau jalan ke pasar dan super market.

"Bunda ganti baju dulu ya," dengan cepat bunda memasuki kamarnya.

###

Emm... Lumayan, sekolah ini mirip dengan sekolah swasta pada umumnya. Bertingkat, bersih, dan program go green sekolah ini juga kayaknya berhasil.

Tak ada alasan penting kenapa aku memilih sekolah swasta, bukannya aku anak gedongan yang suka hambur-hambur uang hanya saja aku senang dengan kurikulum internasional di sekolah swasta.

"Bagus ya Dek sekolahnya?" tanya bunda. Matanya jelalatan dengan diam menilai sekelilingnya yang asing. Tidak jauh beda denganku.

"Lumayan sih, orang-orangnya aja yang aku gak tau Bun,"

"Bagus nanti Insya Allah," semangat bunda, dia tersenyum kecil dan dengan cepat mensejajarkan langkahnya dengan ayah yang berada di depan kami.

Mataku masih berusaha menilai dan mencari celah dari sekolah baruku. Sembari memikirkan kira-kira ada kisah mistis apa yang tersimpan dari megahnya gedung bertingkat itu. Lumayan, bisa menakut-nakuti Mbak Meri kalau dia kepo tentang sekolah ini.

"Eh, sori banget," aku terbelalak menatap pria yang menabrakku dari belakang. Beberapa kertas kartonnya jatuh ke tanah.

"Aduuh.. Adek, gimana sih sama kakak kelas tuh sopan dong. Masa gak liat?" salahkan bibirku yang berkata begitu. Tapi bisa saja yang didepanku ini memang adik kelas yang kelebihan tinggi badankan?

"Hah?" dia melongo bingung, seolah tidak ada ekspresi selain ekspresi konyol itu.

"Lo adek kelas kan?" dia hanya terekekeh dan mengangguk kecil.

"Murid baru ya?" tanyanya sesaat setelah meredakan kekehannya. Aku hanya mengangguk tanpa memperhatikan. "Nama gue Iqbaal,"

"(Nama kamu), gak mau ikut ke ruang kepala sekolah?" tanya ayah. Aku baru menyadari kalau sedari tadi bunda sudah menatap dengan menggoda tanpa suara di depanku.

Dengan cepat aku menyelip diantara ayah dan bunda berharap bunda tidak menyuarakan godaan anehnya kepadaku. Jika sampai itu terjadi, benar-benar rusak reputasiku di sekolah ini.

"Siapa tuh dek," tanya bunda dengan terkikik.

"Udah ah bun, dia orang namanya Iqbaal. Itu aja,"

"Itu aja ya, okey,"

Will Be Fine [Iqbaal Ramadhan]✓Where stories live. Discover now