19. Malam yang Mendebarkan

Mulai dari awal
                                    

❤❤❤

Revan melangkah menuju ruangan Nisa dirawat. Ia bermaksud menjemput Meira dan akan mengajaknya makan malam berdua saja. Namun, langkahnya berhenti ketika melintas di depan ruang  dokter kandungan. Ada Nadia yang baru saja keluar dari ruangan itu dengan wajah ditutupi mendung.

"Nad  ...?"

Nadia tampak seperti remaja yang tertangkap basah berbuat kesalahan. Ia menunduk dan berusaha menyembunyikan wajahnya yang begitu layu.

"Revan," panggil Nadia. Ia sedikit menegakkan lehernya, tapi tidak berani menatap Revan. "Aku belum sempat mengatakan maaf padamu. Malam itu, aku tidak datang ke tempat yang kita sepakati karena  ...."

"Karena kamu sedang berkencan dengan pria lain." Revan melanjutkan kalimat Nadia dengan nada dingin.

Sekujur tubuh Nadia seakan membeku. Lidahnya menjadi kelu. Rasa perih menjalar di dadanya.

"Seharusnya, kamu tanya pada Andi Mahesa. Dia yang tau persis kenapa aku tidak pergi malam itu!" Nadia menahan air matanya yang mulai berdesakan.

"Seseorang mengirimkan fotomu yang—ah, sudahlah!" Revan hendak melanjutkan langkahnya.

"Maafkan aku ...!" Nadia sedikit lantang berbicara sehingga Revan urung melangkah.

"Aku belum sanggup untuk menceritakannya padamu. Tapi, Andi Mahesa bisa menjelaskannya. Dia penyebab dari menghilangnya diriku dan ayahku yang sekarang cacat akibat luka bakar." Nadia mengusap sudut matanya.

Revan menatap Nadia yang mulai terisak. Ia mengernyitkan keningnya.

"Semoga saja, Meira tidak menderita sepertiku. Andi Mahesa, ayahmu itu bagiku seorang monster." Nadia mengusap air matanya. "Rakyat jelata sepertiku, hanya menjadi mangsanya. Semoga saja istrimu itu, tidak menjadi mangsanya!" Nadia pergi dengan rasa sakit yang menusuk-nusuk hatinya. Sementara Revan termangu sesaat sebelum akhirnya pergi melanjutkan langkahnya. Ada ribuan tanya yang sekarang memenuhi ruang kepalanya.

❤❤❤

"Apa yang sudah Papa lakukan pada Nadia?" Revan mendatangi Andi yang sedang bermain billiard di salah satu ruangan rumahnya.

Andi menyodok cue ball dengan gerakan tenang. Ia sedikit mendengkus saat melihat bola yang disodoknya itu hanya mampu menggeser posisi bola berangka 7.

"Oh, apa gadis itu sudah kembali ke kota ini?" Andi Mahesa sedikit membungkuk dan meletakkan jari-jari kirinya ke meja billiard. Ia melakukan close bridge yaitu gerakan dengan membuka kelingkingnya; ujung jari manis dan jari tengah menempel, lalu punggung kedua jari tersebut sedikit ke atas; jempol dan telunjuknya membentuk lingkaran. Ia menyelipkan ujung tongkat melalui jempol dan telunjuk. Matanya menyipit, kemudian menggerakkan tongkat dengan ayunan tenang agar cue ball mengenai object ball bernomor 9.

"Jawab saja pertanyanku, Pa!" desak Revan.

"Ya ampun. Kamu masih menginginkannya?" Suara dua buah cue ball berbenturan membuat suasana sedikit ramai. Andi Mahesa tersenyum puas saat cue ball angka 9 berhasil ia masukan.

"Dia terlihat begitu hancur. Apa yang sudah Papa lakukan?"

"Sudah lima tahun berlalu. Buat apa dijelaskan!" Andi Mahesa menghampiri Revan dengan tangan kirinya memegang tongkat billiard.

"Pa  ...."

"Kau tau, aku melakukan sesuatu demi kebaikan keluargaku. Apa pun itu, kau tidak perlu tau!"

"Papa selalu saja menyusahkan orang lain."

"Tidak juga. Buktinya si Erna, bisa begitu bahagia sekarang dengan uang yang kuberikan. Dia bisa menjadi bos. Rumah kumuh itu sudah kuubah seperti istana di antara gubuk-gubuk reyot dan sudah menjadi hak miliknya. Juga, dia tidak dijebloskan ke penjara akibat utangnya pada rentenir dan juga Bank. Belum yang lainnya, bukan? Indra misalnya. Dia bisa seperti sekarang bukankah karena aku?" Andi Mahesa tersenyum bangga.

Bunga Tanpa MahkotaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang