2: Andai Kau Tahu

Bắt đầu từ đầu
                                    

Andai kita tidak bersahabat--lebih tepatnya tidak ada perjanjian itu diantara kita--mungkin aku akan bersikap seperti Ibunda Khadijah yang mengungkapkan perasaannya langsung, dibandingkan aku merasa sakit bersikap seperti Fatimah Azzahra yang memendam cinta tanpa kau ketahui.

"Semringah banget wajah Didit didekati cewek-cewek Fakultas seni," kata Arya sontak membuyarkan lamunanku.

Reana tertawa mengangguk mendukung ucapan Arya, "Benar banget hahaha."

"A' Didit!! Sok iye banget deh lu," Reana berteriak pada A' Didit yang masih mengobrol bersama cewek-cewek cantik yang kata Arya berasal dari Fakultas seni. Mereka memang cantik-cantik banget sih wajarlah makhluk Mars seperti A' Didit betah didekat mereka.

🌹🌹🌹

Setelah sholat isya bersama Reana, aku memilih menelepon Mama untuk menanyakan apa yang harus kubawa untuk membesuk Papa esok hari. Sambungan telepon dijawab suara Mama langsung terdengar.

"Assalamualaikum ... jadi dide kaba besuk Papa kaba tuh?" (Assalamualaikum ... Jadi enggak kamu membesuk Papamu) suara Mama yang berlogat Lahat terdengar. Terkadang Mama memang memakai bahasa sana, aku hanya sedikit paham dengan bahasa Lahat karena seringnya di Palembang.

Mama memang berasal dari Lahat, tinggal di Palembang waktu menempuh pendidikan terakhirnya dan bertemu Papa yang berasal dari Palembang asli lalu ketika menikah dengan Papa, Mama ikut menetap di Palembang. Menjadi orang Palembang hingga belasan tahun dan lima tahun yang lalu Mama memilih kembali tinggal di Lahat untuk menenangkan diri karena kejadian itu dan terpaksa meninggalkan aku sendirian karena dulu diriku baru masuk SMA di salah satu sekolah di kota ini tidak mungkin jika aku harus pindah sekolah hingga sekarang aku di sini sendirian hanya ditemani sahabat-sahabat yang selalu ada disaat aku membutuhkan mereka.

"Waalaikumussalam, Au, Ma. Jadi. Inka mau nanya besok mau bawa apa? Dimak lah kalo dide bawa ape-ape." (Enggak enak lah kalau enggak bawa apa-apa)

"Kele Mama transfer duet besok. Belike pempek cak 100 ikok, mie, atau apobae lah. Cubo kaba tanye Papa nak ape." (Nanti Mama transfer uang besok. Belikan pempek 100 buah, mie atau apapun. Coba kamu tanya Papa mau apa)

Aku mengangguk paham lalu mengobrol tentang kesibukan kuliahku lalu Mama juga bercerita tentang dirinya yang sedang sibuk berkebun teh di sana. Aku rindu berdekatan dengan Mama dan Papa, ingin kembali berkumpul di rumah seperti terakhir kali namun butuh waktu yang lama untuk mengembalikan momen itu.

Setelah menelepon Mama kucoba menelepon Papa menanyakan apa yang dia butuhkan dan akan kubelikan besok.

Sambungan kelima barulah tersambung, suara Papa memberi salam terdengar.

"Waalaikumussalam, apa kabar Pa?" tanyaku.

"Alhamdulillah baik, Nak. Inka baik?" Papa bertanya balik kepadaku.

Air mataku lolos begitu saja, betapa aku merindukanmu Pa, Inka ingin kita kembali berkumpul bersama di rumah ini seperti terakhir dulu, Inka yang masih memakai seragam putih biru, Kak Baim yang berseragam putih abu-abu dan Dek Ina yang baru masuk SD lalu kita sama-sama sarapan tiap paginya berangkat bersama terus bercerita di dalam mobil ketika diperjalanan ... Papa, bisakah kita bersama seperti itu?

Tangisku mengundang suara yang ternyata mampu didengar Papa di seberang sana.

"Jangan nangis, Yuk. Besok kan kita bertemu," ujar Papa lembut.

Kutengahdahkan kepala agar air mataku enggak kembali tumpah. Beruntung Reana sedang menonton di ruang tengah jadi dia enggak akan tahu kalau aku menangis.

"Iya, Pa. Inka cuma mau nanya Papa butuh apa? Nanti Inka bawa besok," Kataku

"Bawakan mie 1 dus aja, Nak. Mama sudah transfer uang?"

"Iya, Pa. Makanan lain ada yang Papa inginkan? Pempek atau yang lain?" tanyaku lagi.

"Boleh, Inka kesini sendirian? Kalau sendirian mendingan enggak usah, Nak. Biar sekalian saat Mama ke Palembang aja," ucap Papa yang terdengar mengkhawatirkan diriku. Dan alhamdulillah-nya aku enggak sendirian Pa, ada sesosok malaikat berwujud manusia yang akan menemani putrimu ini.

"Enggak, Pa. Inka sama A' Didit."

"Ya kalau sama Didit atau Arya enggak papa. Asal jangan sendirian, daerah sini rawan Papa takut kamu kenapa-napa." Kata Papa.

Aku tersenyum, "Iya Pa."

"Yasudah tidurlah ini sudah malam, Papa juga sudah ngantuk," kekehan Papa terdengar nyaring.

"Iya, Pa. Yaudah Inka tutup ya. Dah Papa Wassalamualaikum." Ucapku dan setelah Papa menjawab salam aku langsung memutuskan sambungan telepon.

Air mataku kembali menetes. Papa, bisakah kita menghabiskan waktu bersama tanpa ada yang bisa membataskan waktu kita? Seharian bahkan setiap waktu, tapi nyatanya kita dibataskan waktu hanya kurang lebih tiga jam untuk bersama, adakah yang bisa menjamin bahwa waktu setipis itu bisa mengurangi kerinduan yang selalu menghampiri.

Ponselku kembali bergetar dan ternyata pesan A' Didit di grup kami.

Messages from A' Didit @ R4

A' Didit
-besok jam berapa besuk Papa, Di?

Aku langsung mengetikkan balasan

Ba'da zuhur, A'-

Re
-Lo belum molor, Di? Gue kira udah daritadi.

Dasar Reana padahal satu atap masih aja ngirim pesan.

A' Didit
-Siip, gue udah pulang kondangan jam segitu

@Re belum kok, @A' Didit makasih ya A'-'


Lama kami berbalas pesan di grup minus Arya, kenapa minus? Iya dia hanya mantau jadi silent readers tanpa ikut nimbrung. Dasar, kenapa kamu seperti itu sih, Ya?

***

To be continue

Anjeni Meis
14 Oktober 2018

Luka dalam Prasangka ✔Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ