Percakapan kedua saudara itu berakhir di sana. Darrel kembali berbalik pergi, sedangkan Aarav menatap nanar punggung adiknya. Dia akui, semua yang berjalan sekarang memang salah. Aarav serakah dan egois terhadap hidup orang lain, bahkan pada satu-satunya saudara kandung yang dirinya miliki.

Aarav meremas rambutnya frustrasi. Desain gambar yang baru saja setengah jadi di ruang kerjanya bahkan tidak serumit masalah ini. Bolehkan jika Aarav tetap bertahan dalam keegoisan?

****

Darrel sedari tadi menunggu kehadiran sosok Clarissa. Namun, hingga dua jam lamanya gadis itu tak kunjung keluar. Sudah hampir sepuluh kali Darrel menghubunginya, tetapi tetap tak menghasilkan jawaban. Sepertinya, nomor dia telah diblokir oleh Clarissa.

Embusan napas kasar Darrel keluarkan. Bisa saja dirinya memilih masuk dengan ke rumah yang berdiri kokoh di depannya, tetapi Darrel enggan menimbulkan keributan lain. Suasana hati Clarissa sedang tidak baik-baik saja, dia mungkin akan semakin murka jika Darrel tetap memaksa.

Darrel menggenggam erat ponsel di tangannya. Entah harus berapa lama menunggu dalam bisu seperti ini. Darrel lalu mendongak hingga tatapan matanya jatuh ke balkon kamar Clarissa. Tirai putih menutupi pintu teralisnya. Rumah ini benar-benar senyap, bahkan seperti tak ada penghuni yang menetap.

Tak lama, terdengar bunyi gerbang yang dibuka dari dalam. Darrel tersadar dan menegakkan tubuhnya yang semula bersandar di bagian depan mobil.

Clarissa yang saat itu tak menyadari kehadiran Darrel masih tampak tak acuh dengan sekitar. Telinganya tersumpal earphone putih hingga Clarissa tak dapat mendengar jelas suara lain, selain alunan lagu yang berasal dari ponsel pintarnya.

Darrel menghampiri gadis itu dengan perlahan. Tak lupa, dia memasukkan ponsel ke dalam saku celana sesaat sebelum mulai menyusun langkah.

Cowok dengan jaket denim hijau tua melengkapi kaus putih pendeknya itu menarik benda yang berada di telinga Clarissa. Clarissa yang masih mengunci gerbang seketika terbelalak, lalu berbalik. Pupil matanya membesar ketika mendapati wajah Darrel yang berjarak kurang dari lima sentimeter saja darinya. Tinggi Darrel tak berarti apa-apa sekarang, terlebih dia menunduk.

"Ke mana aja?" tanya Darrel yang kini mengunci tatapan Clarissa.

Clarissa mengerjap ketika menyadari suatu hal. Dia sedang marah pada kekasihnya itu, tak seharusnya ini dibiarkan begitu saja. Clarissa berdecak sembari mendorong tubuh Darrel agar menjauh. Raut terkejut di wajahnya tergantikan oleh wajah tanpa senyuman.

Rasanya menatap iris sekelam malam itu sudah mampu membuatnya jatuh kembali. Namun, Clarissa berusaha sekuat tenaga untuk tidak luluh begitu saja. Clarissa tak boleh semudah itu pada seseorang yang tega meninggalkannya tadi pagi.

Sejenak, Clarissa memperhatikan wajah gusar Darrel. Dia bukan cenayang, dia tak pernah tahu apa yang Darrel pikirkan, sekalipun mengenai dirinya. Namun, terkadang Clarissa mendapati tatapan itu. Darrel tampak merasa lelah sekaligus tak tentu arah.

"Clar, maaf."

Clarissa mengalihkan pandangan ketika sebagian hatinya merasa perlu memaafkan Darrel segera. Clarissa merapatkan jaket yang digunakannya sebelum memilih melangkah pergi. Gadis itu mengabaikan Darrel serta permohonan maafnya.

"Clarissa!"

Sebelah earphone yang ditarik oleh Darrel diperbaiki letaknya oleh Clarissa. Dia kembali menutup telinganya dengan benda kecil itu. Clarissa melangkah dengan tangan yang sibuk merapikan jaket tipis berwarna putih. Sweater oversize tebal yang dikenakannya sudah dilengkapi dengan jaket, tetapi rasa dingin yang berembus masih mampu menusuk.

Ketika Clarissa mendongak, awan hitam melingkupi langit nyaris tanpa celah. Pantas saja udara terasa jauh lebih dingin, pikirnya. Clarisa melanjutkan langkah karena tak ingin terjebak di bawah guyuran hujan.

Semesta berjalan tak sesuai rencana,, kemalangan menyergap tak lama kemudian dengan tetesan air dari sang langit. Clarissa semakin mempercepat langkah ketika rintikan air mulai turun menyapa bumi. Tadinya, Clarissa ingin mencari beberapa kebutuhan di swalayan terdekat. Namun, ia tak membawa serta payung untuk menaunginya dari deras hujan. Clarissa juga tak yakin dapat bertahan lebih lama di saat seperti ini.

Clarissa setengah berlari ketika tempat tujuannya hanya terhalangi oleh jalanan yang membentang. Hampir saja dirinya menyeberang, tetapi hujan yang turun kini benar-benar deras. Clarissa mengurungkan niat dengan tangan yang berusaha menutupi kepalanya. Tak berselang lama, Clarissa sama sekali tak merasakan tetesan air mengenai tubuhnya.

Wajah Darrel yang diliputi oleh rasa khawatir adalah hal pertama yang dilihat oleh Clarissa saat menoleh. Darrel segera memasangkan jaketnya pada tubuh Clarissa. Cowok itu juga menarik kekasihnya agar jarak mereka kian mengikis.  Payung berukuran sedang yang berada dalam genggaman Darrel menjadi satu-satunya naungan sekarang. 

Usai dengan segalanya, Darrel merangkul bahu Clarissa, lalu menuntun gadis itu agar melangkah seirama dengannya. "Kalau masih mau marah boleh, tapi kali ini tolong jangan dulu. Gue gak mau lo sakit, Clar."

Darrel hanya berkata lirih di sela raungan hujan. Namun, gejolak dalam dada Clarissa terlampau nyata. Darrel semakin merapatkan tubuh mereka ketika kaki keduanya mulai menapaki jalan raya yang masih dilintasi beberapa pengendara, mengabaikan Clarissa yang diselimuti gelenyar aneh di hatinya.

Darrel menuntun langkah Clarissa agar semakin cepat di sela tangannya yang lain memberikan isyarat menyebrang. Dia tak mau hujan menghancurkan pertahanan tubuh gadis itu.

Keduanya berhenti di pelataran swalayan yang menampung beberapa orang yang berteduh. Darrel membiarkan Clarissa menjauh darinya. Cowok itu menutup payung sebelum menyusul Clarissa yang sudah berdiri tepat di depan toko tersebut.

Darrel melintasi satu undakan tangga yang tersedia agar mampu menyamai posisi dengan Clarissa. Cowok itu memandang lurus Clarissa yang tampak sedikit menggigil dengan bibir pucat.

Penyesalan hadir di benak Darrel entah untuk keberapa kalinya. Dia memperbaiki letak jaket di tubuh sang kekasih sebelum mengusap tetesan air yang berada di surai legamnya. "Gue sayang lo, Clarisa Leta."

****

Jangan lupa tinggalkan vote dan komentarnya, ya. Sampai bertemu Selasa malam. See you, Dear!

Salam hormat,
rarisss

AMWhere stories live. Discover now