IPA #47

68.9K 2.8K 63
                                    

"Jangan suka memendam masalah. Sekali-kali kita juga harus berbagi, karena berbagi itu indah."

--Queen Garritsen--

Selamat membaca🤓

💊💊💊

"UNTUK apa kamu kesini?" tanya Bibi Hannah saat Mama sedang memeluk kakek.

Mama berhenti menangis walau dadanya masih sesegukkan. Dia mengendurkan pelukkannya lalu melepasnya. Dia berdiri tegak, tersenyum ke arah Bibi Hannah dan hendak menyalimi tangan bibinya itu.

Belum sempat dia menyentuh satu jari tangan bibi Hannah, Bibi Hannah lebih dulu menarik tangannya. "Aku tidak sudi tanganku disentuh wanita murahan sepertimu."

Bibi Hannah bersedekap dada.

"Hannah, jangan bersikap seperti itu pada Sarah. Dia sudah berubah, Sayang. Lihatlah penampilannya. Dia tidak seperti Sarah kita yang dulu," protes Paman Sam.

Adnan mencoba untuk tidak ikut campur. Namun, hatinya bergerak untuk merangkul kakak kandungnya itu, hanya untuk sekedar menenangkan.

"Bibi, aku sudah pernah bilang, Sarah sudah berubah. Dia sudah berada di jalan yang benar. Apakah kita tidak memberikannya kesempatan untuk membuktikan bahwa dia benar-benar sudah taubat?" Adnan mulai berbicara.

Aku tidak mengerti percakapan mereka, jadi aku dan Pinkan hanya memainkan permainan Ludo di ponsel Adnan. Aku juga lupa dimana terakhir kali aku menaruh ponselku sebelum aku terbaring di kasur ini.

"Siapa yang tahu kalau dia munafik. Hanya pakaiannya saja yang berubah namun hatinya tidak." Bibi Hannah masih tidak mau kalah.

"Bibi, apa kita sebagai manusia berhak untuk menghakimi apakah manusia itu munafik ataupun berbuat dosa atau tidak? Orang yang menuduh itu dosanya lebih besar daripada melakukan kejahatan itu sendiri. Jadi, aku mohon Bibi. Allah saja bisa memaafkan dan memberikan kesempatan pada hamba-hambanya. Mengapa kita yang sesama hambanya tidak bisa?"

Bibi Hannah terdiam. Dia meninggalkan ruangan, disusul Paman Sam. Sebelum Paman Sam menitipkan pesan agar menjaga Kakek.

"Ayah," isak Sarah. Dia kembali memeluk pria tua berkepala lima itu.

💊💊💊

"Ayo, apa kamu bisa menentukan huruf pertama," ujar suara dari ponsel Adnan yang sedang dimainkan Pinkan. Dia duduk di sofa ruangan ini. Bersandar pada sofa dengan kedua kaki terangkat.

Tangan kanannya memegang ponsel yang satu lagi mengemut jempolnya. Aku baru tahu kebiasaan anak itu yang suka mengemut jempol.

Dengan jari lincah, Pinkan terus bermain dan aku hanya memperhatikannya. Lucu kadang saat tiba-tiba mata anak itu mulai merem-melek karena mengantuk. Sekali-kali aku terkekeh.

Tidak ada salahnya jika aku memiliki seorang adik. Walau dia tidak ada hubungan darah sama sekali denganku.

Saat ini, semua orang-orang tua--termasuk Adnan--sedang berbicara di depan dan Pinkan disuruh menemaniku. Walau sekarang sepertinya aku yang harus menjaga Pinkan. 

Ceklek.

Pintu terbuka, menampilkan Adnan. Dia tersenyum padaku lalu aku pun membalas senyumannya.

"Kamu sudah baikkan, Aal?" tanya Adnan padaku.

Dia berjalan seraya melihat Pinkan yang sudah ngantuk-ngantuk.

Imam Pilihan Ayah (SUDAH TERBIT)Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin