3. Welcome to Hospital

351 17 0
                                    


Dua hari kemudian, di Jakarta.

Kini aku telah disini. Ini bukan untuk pertama kali, kedua, atau beberapa kalinya. Ini tak terhitung lagi. Kota ini adalah rumah kedua dalam hidupku setelah Surabaya. Karena aku telah menyelesaikan kuliahku selama lebih kurang 4 tahun disini. Meskipun begitu, aku merasakan hawa, suasana dan atmosfer yang sangat berbeda dari saat ku kuliah.

Seperti biasa saat aku magang dulu, aku menggunakan seragam kerja bak seorang dokter dengan jas putih memakai dalaman warna hitam dan celana putih panjang. Sepatu pantofel pun menambah keanggunanku saat memakainya, rambutku yang panjang kubiarkan tergerai jatuh di bawah bahuku yang menambah ke elokan dari rupawanku. Begitu percaya dirinya aku hari ini melihat performance aku yang luar biasa ini. Cantik! Ucapku memuji diri sendiri.

Kemudian aku pun menaiki Trans Jakarta.Aku menikmati keramaian kota di pagi hari yang masih hening. Hanya suara klakson, dan mesin beberapa mobil dan truck yang terdengar. Aku benar-benar gak kebayang lagi saat menginjakan kaki di sana untuk kedua kalinya.

Bagaimana orang-orang di sana? Apakah masih seperti dulu? Bagaimana dengan Ryana? Sosok teman yang sangat dekat dengan ku. Dia seorang perawat yang sangat baik. Dia besaran dari aku dua tahun, tapi dia tidak suka aku panggil kakak. Soalnya dia pengen aku sama dia seperti teman sebaya aja. Bukan senioritas.

Tidak di sangka perjalanan 15 menit terasa sangat cepat sekali, aku pun sampai di rumah sakit yang ku tuju. Ya, semuanya seperti yang aku bayangkan. Meskipun ini untuk kedua kalinya.

Ada sesuatu yang aneh. Entah apa ini. Perasaan ku sangat deg-degan sekali. Tapi syukurnya, yang pertama kali menyambut kedatanganku adalah Ryana. Teman ku yang selalu kalem, pendiam dan sikap dewasa yang hangat menenangkan. Gak kaya aku.

Ryana pun sangat antusias menyambut kedatanganku. Mungkin udah lama gak ketemu juga. Ya mau gimana lagi, kita kan sama-sama sibuk dengan pekerjaan kita masing-masing.
Dia tetap seperti dulu. Cantik, sangat ramah dan selalu tersenyum kepada siapapun.

"Selamat Datang, Adzkiya." Ryana pun menyambutku dengan hangatnya.

Kitapun saling merangkul dan bertanya kabar.

"Kak Ryana gimana kabarnya?" tanyaku padanya.

"Alhamdulillah baik. Kamu sehat kan?" tanyanya balik.

"Alhamdulillah seperti yang kak lihat. Sehat sekali."

"Ayo masuk" kata Ryana yang kala itu kami berada di depan pintu masuk ruang direktur Farzhon. Dia melihatku begitu sangat gugup.

"Kok aku jadi deg-degan gini ya, Kak?" tanyaku masih ragu untuk masuk.

"Udah, ayo! Dir. Zhon nunggu kamu dari tadi. Ayo!" Katanya, memperingati.

Kemudian dia menambahkan, "Kamu pasti bisa. Semangat! Selamat untuk bertemu dia yang kedua kalinya."

Eh iya, aku lupa memaparkan kalau Ryana sebenarnya sudah tau bahwa aku sangat menyukai dr. Alfindra.

"Ya ampun kak, masih juga diingat," ujarku cemberut.

Ho iya, Kak Ryana tahu kalau aku suka dengan dokter Alfin. Yah, dulu aku pernah kepergok sama dia, saat aku selalu memperhatikan si Dokter itu dan setiap obrolan, aku selalu memasukan namanya di sela topik kami. Gimana dia gak bisa nebak, coba? Toh, dia juga udah maklum, siapa gitu yang gak suka sama si Dokter keren itu. Bahkan dia dulu pertama lihat si Dokter keren tu juga suka. Bahkan mereka dulu sempat akrab juga. Mungkin karena gak jodoh, jadi mereka gak bersatu deh. Karena Ryana juga menyadari bahwa dia bukan kriteria si Dokter itu. Ia pun menjelaskan kalau itu hanya perasaan sesaatnya saja.

Aku pun mengetuk pintu terlebih dahulu. Setelah dipersilakan oleh direktur, aku pun membukanya. Dengah menarik napas panjang, aku pun mencoba tegar.

"Permisi, Pak!" salamku yang sembari menahan sesak nya rasa canggung ini.

Di ruangan yang masih sama seperti dulu. Seperti ruangan kantor, hanya saja beberapa tatanan ruangannya sedikit berubah. Di depan direktur Zhon, aku melihat seseorang yang masih sangat aku kenal meskipun dari belakangnya.

Iya! dia sedang duduk menghadap meja direktur. Itu artinya dia membelakangi ku. Seketika aku dipersilakan duduk oleh dir. Zhon. Dia pun menoleh kepada ku yang berada disampingnya. Ya Tuhan... tatapannya. Masih seperti dulu. Dia tidak berubah. Serasa rindu yang telah aku buang selama ini, kini kembali mengetuk qalbu. Oh Tuhan... Senyumannya terpancar ikhlas dari raut wajahnya. Senyuman yang bukan hanya bisu belaka, bahkan dia pun menyambutku dengan caranya yang menghangatkan.

"Hai, Apa kabar? Selamat bergabung disini lagi," tutur kalimat nya yang di luar formal, membuat ku sedikit lebih ringan ketimbang pertama kali aku masuk. Sepertinya dia juga senang akan kedatanganku. Tapi aku tidak tau apakah dia memiliki rasa sebagaimana aku pada nya.

Oh Tuhan... lagi-lagi aku merasakannya, seperti sesuatu yang pernah aku rasakan dulu. Tolong! Ya ampun, Adzkiya. Masih juga memikirkan soal perasaan. Lupakan dulu.

Dir. Zhon pun memulai pembicaraan yang pada intinya kami bekerja sama dalam melakukan praktek kerja. Karena aku masih dini untuk memulai pekerjaan ini, aku memakluminya. Karena memang aku merasa belum percaya diri untuk melakukan nya sendiri.

Hari-hari kami berjalan dengan normalnya. Bahkan aku sama yang lainnya semakin dekat, terutama dia. Kami selalu sama, makan bersama, menangani pasien bersama. Bahkan di sela waktu istirahat kami, aku selalu berbicara tanpa henti padanya.

Sebenarnya dia agak pendiam sih, apalagi bagi dia aku orang yang masih baru. Tapi karena aku seseorang yang tak bisa berhenti bicara, dan gak bisa diam, lama-lama kami jadi akrab sendiri karena obrolanku yang tak pernah habisnya.

Meskipun begitu, aku melihatnya juga mulai menikmati tugasnya sebagai pendengarku. Padahal dulu dia bilang "eh, balita cap baya, perlu gak aku jahit tu mulut biar bisa berhenti." Yah, dia mau nantangin aku kayak gitu. Mana bisa. Aku tambah meracau lagi.

Mungkin sekarang dia udah maklumin sifat aku. Jadi dia hanya mendengarkan saja. Entah itu pura-pura atau enggak. Kadang aku merasa gitu. Biarlah yang penting aku gak bosan.

Bahkan dia yang dulu pendiamnya minta ampun, sekarang sedikit-sedikit mulai berbicara juga, apalagi jika aku bertanya tentang dia dan keluarganya.

Kadang dia suka kesal juga sama aku, apabila mengajukan pertanyaan yang enggak-enggak. Habis aku kepo juga tentang bagaimana dan kehidupannya. Orang jutek kek gitu harus ditanya. Kalau tidak, dia gak bakalan memberi tahu. Bahkan aku lebih dekat dengan dia ketimbang sahabat ku Ryana.

Oh iya, aku juga kenal dengan beberapa perawat dan staff lainya. yaitu Firda, dia seorang perawat disini. dia cantik sih, tapi masih cantikan aku kali' ya. Morenz, dia seorang dokter juga. Dokter ahli bedah. dia juga ganteng nih. Tapi tetap saja dr. Alfin nomor satu bagiku. Daffa, seorang perawat yang sangat menjengkelkan. Dia nih, yang bikin aku super kesal. Masa' dia minta tolong terus sama aku buat cariin pacar. Kan dia tau aku juga jomblo. Seharusnya dia juga mikir kalau mau minta tolong gitu. Tapi kadang dia baik juga sih. Kalau mau curhat lagi laper. Dia jago nya traktir.

Eh ada lagi si Apoteker ketus, Alliena. Aku kesal banget sama tu cewe'. Sijomblowati yang enggak tau diri itu. Yang suka cari perhatian sama dr. Alfin. Udah gitu, dia selalu sinis kalau aku dekatan sama si Dokter kece itu. Sepertinya dia juga suka tu sama si Dokter. Mana level. Ya Cuma aku lah yang cocok sama dia. Selain kita sama profesi, kita juga sangat serasi.
Kataku doang sih, hehe. Lagian aku lihat dia bukan kriteria nya si Alfin. Only me!


Mau tau kisah selanjutnya kayak apa?

Ayo terus kepoin Adzkiya!!

Jangan lupa vote and coreng komen nya dibawah ya..!

Thanks a lot :D

AdzKiyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang