8. Menyerahkan Diri?

Comenzar desde el principio
                                    

"Jangan macam-macam, Ndra! Dia hanya pengasuh!"

Indra tergelak. Ia berbalik dan duduk di samping Revan yang menikmati secangkir kopi.

"Aku cuma suka aja liat matanya dia. Beberapa kali ketemu dia di sini, beneran matanya bikin--ah, sudahlah." Indra menyeruput kopinya.

Setelah dua tahun berlalu, baru Revan menyadari apa yang Indra katakan benar. Sorot mata Meira menghadirkan rasa yang mampu menyejukkan jiwa. Namun, tadi ia menyadari kalau kedua mata itu akhir-akhir ini penuh dengan air mata yang disebabkan olehnya. Lagi, Revan mengutuk dirinya sendiri.

💔💔💔

Meira memandangi kain segi empat berwana biru muda yang terlipat di tempat tidur. Tadi, Clarissa yang menaruhnya di situ dan meminta Meira mengenakannya pagi ini. Ia merengek minta diantar ke sekolah lagi.

Ia meremas-remas kain biru muda dengan air mata bercucuran. Ia malu, karena pernah bersumpah ingin mengenyahkan kain-kain yang menutupi rambutnya. Ia menyuruh Nisa membuangnya. Namun, kini ia mengenakannya lagi. Sungguh, rasanya seperti mempermainkan sumpahnya sendiri.

Puas meremas kain tersebut hingga kusut, ia melemparkannya ke lantai. Tubuhnya merosot ke lantai.

"Bunda ...!" Clarissa muncul dari kamar mandi dengan tubuh dibalut handuk. Ia memungut jilbab itu dan menyodorkannya pada Meira yang terduduk di lantai sambil terisak.

"Kok, Bunda nangis lagi?" Clarissa mendekat dan mengusap air mata Meira dengan jari mungilnya.

Meira bergeming. 

"Clarissa janji nggak nakal lagi. Clarissa janji kalo makan nanti dihabiskan, juga bobo siang. Bunda jangan nangis, ya."

Meira memejamkan mata, menikmati sentuhan Clarissa di pipinya yang basah. Sentuhan yang menghadirkan kehangatan dan rasa nyaman.

"Bunda jadi anter Clarissa ke sekolah, 'kan?"

Meira membuka matanya. Terlihat pancaran penuh harap di mata Clarissa. Sebenarnya ia enggan keluar rumah. Akan tetapi, ia tak ingin membuat Clarissa kecewa.

"Ayo Bunda siap-siap!" kata Clarissa dengan semangat. Ia menaruh jilbab itu ke tangan Meira. "Dulu, kata Bunda kalo keluar rumah harus pake jilbab. Ya, kan?"

Meira mengangguk perlahan. Ia mengusap air matanya, lalu bangkit untuk bersiap-siap.

"Clarissa juga mau pake jilbab biru. Biar sama kayak Bunda."

Meira mengangguk. Ia paksakan mengukir senyum, lalu menuju lemari pakaian Clarissa untuk mengambil jilbab dan seragam.

💔💔💔

Revan memanggil Clarissa yang hendak masuk ke mobil. Bocah itu menoleh, lalu berlari menghampiri ayahnya.

"Ayah, ada apa?" Clarissa mendongak agar bisa melihat  Revan yang berdiri menjulang di depannya.

"Ayah antar, ya!" Revan melirik kepada Meira yang berdiri di samping mobil Honda Civic. 

"Yeiy, asyik!" Clarissa melompat kegirangan.

Revan meminta Clarissa menunggu karena akan mengambil mobilnya di garasi. Namun, sebelumnya ia memanggil sopir yang sudah bersiap menyetir agar tidak mengantar Clarissa hari ini. Pria paruh baya itu mengangguk.

Mengetahui bahwa Revan akan mengantar Clarissa, Meira berniat membatalkan untuk ikut. Ia hendak pergi. Akan tetapi, Clarissa yang tengah bergembira dan antusias membuat hatinya melunak. Rasanya tidak tega mengecewakan bocah itu. Momen yang begitu langka, Revan mau mengantar putrinya ke sekolah. Tentu saja menghadirkan kebahagiaan yang mendalam untuk Clarissa.

Bunga Tanpa MahkotaDonde viven las historias. Descúbrelo ahora