Clarissa berbelok ke arah kantin. Sesuai dugaannya, kantin bukan semakin lengang, tetapi malah sebaliknya. Beberapa orang yang sedang mengantri makanan bahkan nyaris tak mendapat tempat duduk. Clarissa menghentikan langkah sejenak, lalu menarik napas dalam-dalam. Setelah usai, dia mulai berjalan memasuki kantin yang padatnya tidak tertolong lagi.

Di sini jauh lebih berisik, jika dibandingkan dengan lapangan utama tadi. Suara tawa dan samar percakapan terdengar bersahutan. Clarissa melemparkan cup minumannya ke arah tempat sampah. Namun, akhirnya meleset jauh dan mengenai sepatu seseorang.

Clarissa meringis pelan. Bisa-bisanya ia melempari orang lain dengan botol bekas minumannya, terlebih masih menyisakan seperempat isinya. Cairan kecokelatan itu tercecer di lantai dan berhenti tepat di sepatu sneakers berwarna abu-abu. Ketika mendongak, Delmar dengan wajah tanpa ekspresi terlihat.

Tak ada yang cowok itu lakukan selain memandang Clarissa lamat-lamat. Dia bak patung yang tak dapat bergerak. Namun, tatapan itulah yang membuat Clarissa mati kutu. Entah harus pergi atau memohon maaf padanya.

"Mar—"

"Jarak lo sama tempat sampah gak jauh." Cowok itu membungkuk dan mengambil tempat minuman tersebut. Sepatu bagian kirinya basah terkena cairan dari dalam sana, walau hanya sedikit. Delmar juga melemparkan benda plastik di tangannya hingga memasuki tempat sampah terdekat.

"Gue gak sengaja. Lo juga kenapa berdiri di sana, sih?"

Delmar menatap Clarissa jengah, sesaat sebelum menerobos antrian gadis itu.  "Ngamen."

Clarissa melongo melihat Delmar yang malah berdiri di depannya. Tak tahukah dia bahwa dirinya sudah berdiri lama di sini? Benar-benar kurang ajar sekali.

"Hei! Lo yang tertib, dong, Delmar!" Clarissa menarik tangan Delmar agar cowok itu menjauh.

Delmar tetap berdiri kokoh di tempatnya. Tarikan Clarissa bukan apa-apa untuknya. Delmar rasanya ingin mengumpati seorang gadis yang berlama-lama menyelesaikan transaksinya itu. Dia membutuhkan air mineral untuk membasahi tenggorokannya segera.

"Delmar!"

"Air mineralnya satu, Bu." Delmar berkata pada seorang perempuan berusia tiga puluhan dengan jilbab merah mudanya.

"Ini, A."

Delmar hendak mengambil benda yang disodorkan oleh sang penjual, tetapi Clarissa malah merampasnya lebih dulu.

"Empat lagi, ya, Bu."

Delmar berusaha menahan amarah yang bercokol di hatinya. Clarissa merusuh tepat di sampingnya, bahkan tak segan mengambil sebotol air mineral yang hampir ia dapatkan. Tetangganya ini memang terlalu merepotkan.

"Semuanya jadi berapa, Bu?"

"Tiga puluh ribu, Teh."

Clarissa mengangguk, lalu mencari uang di saku bajunya. Namun, tidak ada, begitu juga di saku roknya. Kini Clarissa baru mengingat bahwa dompetnya disimpan di tas yang berada di kelas. Sial! Clarissa akan menanggung malu luar biasa jika begini.

"Punya saya satu, Bu." Delmar menyodorkan selembar uang berwarna biru kepada penjual itu.

Clarissa menggulir ponselnya untuk meminta pertolongan seseorang, tanpa menyadari bahwa tatapan Delmar tertuju padanya.

"Sama punya dia juga, sekalian."

Clarissa mendongak kala mendengar perkataan Delmar. Ia memandang penuh tanya pada cowok dengan kemeja putih dikeluarkan itu. "Mar?"

"Terima kasih, Bu." Delmar mengambil uang kembaliannya sebelum berbalik pergi. Dia sama sekali tak mau direpotkan dengan pertanyaan Clarissa.

"Delmar, tunggu!" Clarissa mencekal tangan Delmar. "Lo mau ke mana?"

Delmar menghentikan langkah dengan terpaksa, sungguh. Dia ingin segera berdiam diri di kelas dan berdamai dengan keheningan. Persetan dengan teman-temannya yang masih sibuk menyiapkan bazar dan pentas seni di lapangan.

Clarissa menyerahkan kantung kresek di tangannya. "Bantuin gue bawa ini ke lapangan."

"Siapa lo?"

Decakan keluar dari bibir mungil Clarissa. "Gue? Tetangga lo yang baik hati dan tidak sombong."

Muak. Delmar benar-benar muak menghadapi sikap Clarissa. Delmar berniat mengembalikan benda yang Clarissa berikan, tetapi gadis itu malah menggandeng tangannya sekarang.

"Ayo!"

Bukan Delmar yang memimpin jalan, melainkan Clarissa sendiri. Clarissa bahkan mengeratkan gandengannya ketika berpapasan dengan Darrel di pintu keluar kantin.

Clarissa mengabaikan senyuman Darrel dan melanjutkan langkahnya bersama Delmar. Hal itu tentu menjadi tanda tanya besar di benak Darrel. Namun, Darrel sadar bahwa Clarissa tak mungkin secepat itu mau memaafkannya. Kekasihnya pasti masih merajuk karena perihal kemarin.

"Lo ... lagi marahan sama cowok lo?"

Clarissa melepaskan gandengannya setelah merasa jauh dari kawasan kantin dan tidak ada tanda-tanda Darrel akan menyusul. Kakinya melangkah beriringan bersama Delmar yang di salah satu sepatunya terdapat noda kecokelatan.

"Sebenarnya, nggak. Gue kesel aja sama dia hari ini."

Delmar tak membalas kembali, hingga Clarissa bertanya mengenai kehidupannya.

"Lo sama Renata, gimana?"

Renata Dirliana itu adalah kekasih Delmar. Keduanya sudah menjalin hubungan selama tiga bulan ini. Gadis cantik berambut sebahu tersebut sudah jarang berkunjung ke rumah Delmar belakangan ini karena jadwal lesnya yang padat.

"Kayak biasanya."

"Jangan sering marahin Naina. Dia masih butuh perhatian juga, bukan hanya amarah lo." Clarissa menatap wajah dengan tahi lalat kecil di pelipis kirinya itu.

Delmar mengangguk. Gadis di depannya meskipun kadang menyebalkan tetaplah sosok yang lembut hatinya. "Lo terlalu baik, Clar."

****

Gimana part ini?

Jangan lupa tinggalkan vote dan komentarnya, ya. Sampai bertemu Jumat malam. See you!

Salam hormat,
rarisss

AMWhere stories live. Discover now