SCGB-Tujuh Belas

777 67 4
                                    

"Sebenarnya ada apa sama aku? Kenapa detakan jantung aku selalu cepat kalau ada di dekat Rafka? Pokoknya aku harus bener-bener menghindari dia supaya gak terjadi hal-hal yang gak diinginkan."

Lanika bergumam sendiri sambil meringkuk di kasur empuknya. Ia memeluk boneka winnie the pooh-nya dengan erat. Sesekali ia menggeleng karena kejadian saat Rafka tidak sengaja memeluknya di lapangan terus terbayang.

"Astagfirullah, aku kayanya harus refresh otak aku biar bersih lagi."

Saat ia hendak tidur, ponselnya berdering. Memunculkan no tak dikenal. Lanika menimbang-nimbang mau mengangkatnya atau tidak. Dia takut kalau itu Rafka yang memakai nomor orang lain. Tapi kemungkinan itu kecil. Untuk apa Rafka iseng memakai no orang lain hanya untuk menghubunginya?

"Assalammu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam. Ini Lanika?"

Lanika menjauhkan ponselnya sebentar. Sepertinya suara dari seberang tidak asing.

"Iya. Maaf ini siapa ya?"

"Gue, Maurin."

Lanika mengernyitkan keningnya bingung. Padahal ia menunjukkan ekspresi itu pun percuma. Maurin tidak ada di hadapannya. Hingga beberapa menit kemudian terdengar suara lagi. Suara seorang lelaki yang akhir-akhir ini mengisi kepalanya.

'Maurin! Makan dulu ya? Gue udah beliin nasi padang.'

Lanika meneguk salivanya susah payah. Pasti mereka sedang bersama, dan Maurin ingin menunjukkan kemesraan mereka di hadapannya. Harusnya tadi ia membiarkan saja ponselnya terus berdering. Harusnya ia tidak mengangkatnya. Ada rasa nyeri tepat di dada kirinya. Suara Rafka tadi begitu lembut, beda dari biasanya.

Ia memilih memutuskan sambungan telepon, dan berusaha memejamkan matanya. Berharap esok saat ia bangun rasa sakit itu akan menghilang.

🍀🍀🍀

Dua hari Rafka tidak masuk sekolah. Lanika tidak bisa berhenti memikirkannya. Lanika pusing sendiri sebenarnya ada apa dengan dirinya? Bukankah biasanya ia akan sangat terganggu dengan keributan dan ulah Rafka di kelas? Tapi kenapa ia malah gelisah saat tidak mendapati lagi kabar Rafka. Maurin juga tidak menghubunginya lagi setelah ia memutus sambungan telepon dua hari yang lalu.

"Lanika!" panggil Fathin dengan nafas yang tersengal-sengal.

"Apa?"

"Itu ...."

"Itu apa?"

"Maurin."

"Maurin kenapa? Balikan sama Rafka?" tebak Lanika.

"Bukan!" ketus Fathin.

"Terus?"

"Papahnya Maurin meninggal."

Mata Lanika membulat. Ia masih melongo menatap Fathin yang sepertinya akan bercerita lagi.

"Papahnya meninggal karena serangan jantung. Guru-guru juga baru mau mengumumkan."

"Kamu sendiri tau dari mana?"

"Arfan. Rafka nyuruh Arfan buat ngabarin guru-guru."

"Innalillahi wa inna ilaihi rajiun. Kita ke sana, yuk."

"Ayo, pelajaran juga bakal kosong kayanya. Guru-guru mau takziyah. Papahnya Maurin kan salah satu donatur SMA kita."

"Ya udah, ayo."

🍀🍀🍀

Suasana rumah Maurin penuh dengan duka. Mamah Maurin (Fira) sedang membacakan surat Yaasin, sedangkan Maurin masih menangis. Mamah Maurin bukannya tidak sedih, tapi ia berusaha tegar dan ikhlas menerima semua ini. Rafka yang berada di samping Maurin menenangkannya. Ia merengkuh tubuh gadis itu.

Lanika yang melihat hal itu hanya bisa diam. Ia menyimpan rasa sesaknya dengan senyum yang dipaksakan. Ia ikut membacakan surat Yaasin. Rafka yang melihat Lanika seketika merasa bersalah, tapi saat ini Maurin membutuhkan tempat bersandar selain ibunya.

Saat Rafka ke belakang, Lanika menghampiri Maurin. Ia berniat menguatkan Maurin.

"Rin," panggil Lanika.

Secara tiba-tiba Maurin memeluknya. Lanika mengusap punggung gadis itu. Berharap gadis itu bisa tenang.

"Papah aku udah nggak ada, Ka."

"Ssstt... Yang sabar, ya. Kamu harus kuat demi Mamah kamu. Jodoh, maut, dan rezeki itu ketetapan Allah. Kita sebagai manusia hanya bisa menerima."

"Tapi Allah terlalu cepat ngambil Papah," ucapnya lagi diselingi isak tangis.

"Kalaupun Om Surya meninggal nanti, kamu akan bilang terlalu cepat kan?"

Maurin merenggangkan pelukannya, kemudian ia mengangguk.

"Umur seseorang itu tidak ada yang tau. Jangankan Om Surya yang sudah beristri dan memiliki anak gadis seperti kamu, bayi yang baru lahir pun bisa dijemput maut jika Allah berkehendak. Lagi pula gak baik terlalu larut dalam kesedihan. Kamu boleh aja nangis, tapi jangan berlebihan. Liat, mamah kamu nambah sedih nanti kalau kamu kaya gini. Sekarang lebih baik kamu mengaji supaya Om Surya tenang di sisi-Nya, ya?"

Lanika menghapus jejak air mata dari pipi gadis itu.

"Maaf soal waktu itu. Aku jahat ya?" lirih Maurin.

Lanika menggeleng. "Aku udah maafin jauh-jauh hari. Kamu sekarang sahabat aku."

Maurin melepaskan pelukannya dan tersenyum tipis. "Makasih."

Lanika mengangguk dan Maurin mengambil buku Yaasin dan mulai mengaji.

Rafka sebenarnya sudah kembali dari toilet sejak tadi. Ia menyaksikan saat Lanika menguatkan Maurin, gadis yang pernah berniat mencelakainya. Rafka tersenyum tulus.

Aku gak salah mencintai kamu, Lanika. Hati kamu lembut. Bahkan setelah apa yang udah dia lakuin ke kamu, kamu tetap menguatkannya.

🍀🍀🍀

Maaf kali ini up nya dikit. Tangan lagi pegel gak bisa diajak kompromi😊 Stay ya. Tunggu kelanjutannya. Maaf kalau agak lama. Jangan lupa vomment💞💞💞

Sinar Cinta Gadis BerhijabWhere stories live. Discover now