Love Letters 15

2.2K 257 47
                                    

🖤

"Aku akan kembali ke kamarku," ucap Lisa setelah ia diabaikan selama hampir 50 menit oleh Jiyong. Jiyong berhasil menyeretnya pulang 90 menit yang lalu. 40 menit perjalanan mereka habiskan dalam diam kemudian Jiyong bilang kalau ia harus mengatakan sesuatu pada Lisa. Lisa mengikuti Jiyong ke kamar hotelnya, duduk di sofa setelah Jiyong meminta Taehee untuk keluar dan memberi mereka waktu untuk bicara empat mata. Namun sudah 50 menit Lisa duduk diam disana, Jiyong sama sekali tidak mengatakan apapun dan hanya fokus pada layar ponselnya.

"Pergilah," jawab Jiyong tanpa menoleh dari layar ponselnya dan tetap terlihat marah seperti sejak Lisa membantahnya di lokasi pesta kemudian menari bersama pria-pria disana sambil mencoba untuk melepas kemejanya. Membuat Jiyong sangat marah sampai tega menarik Lisa keluar dari tempat pesta itu.

Lisa mendengus kesal, 50 menitnya terasa sangat sia-sia walaupun ia sadar kalau ia sudah membuat Jiyong benar-benar marah. Lisa tidak tahu apa yang merasukinya, namun ia sadar kalau apa yang sudah di lakukannya benar-benar keterlaluan. Bagaimana tidak? Jiyong mengajaknya ke pesta itu karena Lisa berjanji ia tidak akan membuat masalah, namun Lisa bermain truth or dare dengan segerombolan orang disana kemudian membuat masalah. Di mulai dari menenggak 1 sloki vodka, kemudian mencium Jiyong untuk menghindari sloki keduanya, bertengkar dengan Jiyong serta menantang emosi Jiyong dengan menari dan hampir membuka kemejanya. Kalau semua itu Lisa lakukan hanya untuk membuat Jiyong marah, maka Lisa berhasil.

Bahkan walaupun Lisa tahu kalau Jiyong melarangnya karena peduli, Lisa tetap menari dan berusaha menunjukan pada Jiyong kalau ia bukan seseorang yang dapat Jiyong kuasai.

"Aku pergi," ucapnya sembari melangkah keluar dari kamar hotel itu. Sebuah kamar hotel kelas VIP dengan dua kamar tidur, satu kamar mandi dan satu ruang tengah didalamnya.

Namun langkah Lisa tidak senyaman biasanya, gadis itu merasakan sedikit nyeri di pergelangan kakinya dan Jiyong baru menyadari langkah aneh Lisa ketika gadis itu hampir meraih pintu utama kamar hotel. Kaki Lisa terkilir dan bengkak saat 90 menit lalu Jiyong menariknya dengan sedikit kasar menuju mobil.

Lisa memakai sebuah kemeja hitam, hotpans putih dan high heels hitam ketika ikut dengan Jiyong tadi. Ia menari sembari menggoda para pria disana dengan membuka kancing kemejanya hanya untuk membuktikan kalau Jiyong tidak dapat mengaturnya. Dan karenanya, Jiyong yang marah menariknya hingga membuat kakinya tanpa sengaja terkilir.

Jiyong menghampiri Lisa, menahan gadis itu agar tetap berdiri diposisinya dan mengagalkan rencana Lisa untuk membuka pintu. Jiyong berjongkok didepan kaki Lisa agar dapat memperhatikan kaki Lisa yang mulai bengkak karena terkilir.

"Sejak kapan?" tanya Jiyong.

"Tidak apa-apa, sama sekali tidak sakit," jawab Lisa, mencoba menjauhkan kakinya yang terkilir dari sentuhan Jiyong. Sebenarnya kakinya terasa sakit, namun perasaan bingungnya membuat rasa sakit itu tidak lagi terasa. Lisa kebingungan dengan apa yang sebenarnya terjadi. Lisa tahu pasti ada yang salah dengan kepalanya karena ia tidak menyukai perhatian dan kepedulian Jiyong. Namun Lisa tidak dapat menjabarkan alasannya membenci perhatian dan kepedulian Jiyong. Lisa hanya tidak menyukainya— tanpa alasan yang dapat di utarakan.

Jiyong mendengus kesal. Malam ini Lisa benar-benar menguras kesabarannya. Pria itu berdiri, mengulurkan tangannya untuk mengangkat Lisa yang menurutnya banyak bicara kemudian mendudukan gadis itu ke atas meja marmer di sebelah lemari pendingin. Lisa sempat memekik karena terkejut namun tidak berani memprotes. Gadis itu meremas pinggiran meja marmer tempatnya duduk ketika tanpa bicara Jiyong membuka kasar pintu lemari pendingin dan mengambil sekantong es dalam freezer. Masih dengan gerakan yang kasar dan terlihat penuh emosi, Jiyong mengambil handuk di dalam kamar mandi, membungkus esnya dengan handuk itu kemudian mengompres bengkak di kaki Lisa.

"Aku baik baik saja," tutur Lisa sedikit takut. "Kenapa oppa marah?" ucapnya dengan suara takut yang terdengar bergetar sembari menjauhkan kakinya dari pegangan Jiyong. Lisa tidak pernah melihat Jiyong berusaha keras menahan marahnya seperti saat ini.

Kalau melihat seorang Kwon Jiyong marah, Lisa tidak akan lagi terkejut. Namun malam ini, Lisa justru takut karena Jiyong sedang berusaha keras untuk tidak marah dan meledakan emosinya.

"Kenapa oppa harus marah?"

"Kenapa aku tidak boleh marah?" balas Jiyong dengan nada bicaranya yang jauh lebih dingin dari biasanya. "Kenapa aku tidak boleh marah?!" bentak Jiyong sembari kembali berdiri dan melempar es dalam handuk yang dipegangnya ke atas lantai dekat pintu lemari pendingin. Mengejutkan Lisa.

"Oppa... ada apa-"

"Kau tanya kenapa aku marah?! Menurutmu kenapa aku marah?! Kau benar-benar bertanya karena kau tidak tahu?! Kau menari dan berniat membuka pakaianmu didepan semua pria bodoh itu! Apa yang sebenarnya terjadi padamu?!" omel Jiyong dengan bentakan-bentakannya yang menelan habis suara Lisa.

"Aku- aku- aku hanya-"

Lisa yang terlihat bingung dengan buliran air mata yang mulai menggenang, membuat Jiyong berbalik dan melangkah menjauhi Lisa. Tidak bisakah Lisa lebih cerdas dari ini dan mengerti alasannya marah? Pikir Jiyong namun sepertinya usahanya selama ini sia-sia.

Jiyong tidak bisa berfikir lebih panjang lagi. Ia tidak bisa bersabar seperti sebelum-sebelumnya. Ia tidak bisa terus membohongi dirinya sendiri dan terus mengabaikan perasaannya sendiri. Persetan dengan Lisa yang sudah seperti adiknya sendiri. Persetan dengan pesan ibu Lisa yang memintanya menjaga Lisa. Persetan dengan kemungkinan ayah Lisa yang bisa menembaknya kapan saja. Persetan dengan larangan-larangan Yang Hyunsuk. Persetan dengan alasan-alasan karir mereka yang mungkin hancur karena Jiyong tidak bisa melepaskan pilihan pertamanya begitu saja.

Seperti Lisa yang berakhir memilih pilihan pertamanya ketika berbelanja, sekarang pun Jiyong memutuskan mengambil pilihan pertamanya. Seperti Lisa saat berbelanja, sebanyak apapun Jiyong memilih dan mencoba yang lainnya, pilihan pertamanya tidak pernah bisa ia lupakan.

Jiyong merasa ia akan menyesal kalau tidak mengambil pilihan pertamanya sekarang.

Pria bertattoo itu berbalik setelah melangkah menjauhi Lisa kemudian mengulurkan tangannya kebelakang leher Lisa.

"Aku marah. Aku sangat marah dan kau harus tahu alasanku marah," ucap Jiyong, masih terdengar marah namun tidak semarah sebelumnya. Pria itu menarik lembut tengkuk Lisa kemudian mencium bibir gadis itu dengan sangat lembut.

Memabukan. Pikir Lisa.

Ciuman Jiyong memabukan dan membuat Lisa serasa terhipnotis karena beberapa detik setelah bibir Jiyong menempel pada miliknya, Lisa tidak sanggup menahan dirinya untuk tidak membalas ciuman itu.

Lisa ingin menolak Jiyong. Sudah sangat lama sejak ia memutuskan untuk berhenti menyukai Jiyong. Namun ciuman Jiyong, lumatan bibirnya, sapuan lidahnya terlalu memabukan. Cinta pertamanya mungkin akan kembali kalau ia tidak menghentikan ciuman itu, namun Lisa tidak dapat berhenti begitu saja. Bukan, Lisa tidak ingin berhenti.

Sayangnya, Jiyong menghentikan ciuman luar biasa itu. Membuat Lisa kecewa walaupun gadis itu tidak ingin mengakuinya.

Jiyong menatap Lisa yang masih memejamkan matanya. Ciuman mereka sudah berakhir namun jarak diantara mereka tidak banyak berkurang. Tangan kiri pria itu masih berpegang pada meja marmer dan tangan kanannya masih di belakang leher Lisa, walaupun tautan bibir mereka sudah terpisah.

"Aku tidak akan mengulangnya," ucap Jiyong dengan suaranya yang lembut namun tetap terdengar sangat tegas. "Suratmu. Aku menginginkan suratmu lagi, apa kau akan memberikannya?"

"Aku sudah membakar suratnya," jawab Lisa dengan suara yang bergetar. Gugup. Sangat gugup.

"Kalau begitu kau berhutang banyak hal padaku, aku ingin kau membayarnya sekarang,"

"Ba- ba- bagaimana?"

"Berikan hatimu, lagi,"

🖤
Tamat disini bisa kan?

Love LettersWhere stories live. Discover now