21. JADI SEHARUSNYA SIKAPMU TIDAK SEBAIK ITU!

9.2K 2K 66
                                    

Bukan tanpa alasan Ave berharap menemukan kembali kendali kendali diri sekaligus ketenangan jiwa, atau setidaknya pelampiasan kekecewaannya di sini. BlackPool pernah jadi tempat yang sangat berarti dan membuatnya bahagia. Malang bagi Ave, semesta sepertinya selalu senang memilih waktu yang aneh untuk mencandainya.

"Aku tidak tahu ternyata kamu masih datang kemari." Sapa lelaki itu ramah.

"Oh. Iya. Memang. Dan kenapa aku seharusnya tidak datang kemari lagi?" balas Ave kaku.

Jika perasaannya tidak sedang berantakan, Ave mungkin akan bisa melihat sorot rindu terkilas di mata Dennis.

"Bagaimana kabarmu?"

"Baik."

Dennis kemudian menatap stik yang dipegang Ave. "Sudah lama sekali kita tidak bermain,"

Ave menyipit. Dennis sengaja, atau memang benar-benar naif dan tidak memahami efek dari ucapan ringan itu.

"Bagaimana kalau... satu atau dua game saja? Sebagai penanda pertemuan kita?" tawar lelaki itu.

Perlahan dan dalam, Ave menarik napas. Diamatinya lelaki yang pernah mengisi hatinya beberapa tahun silam. Sejauh yang di tahu, selepas perpisahan mereka Dennis tidak pergi ke mana pun. Dia masih tinggal di kota ini. Hingga kini pun Dennis masih bekerja sebagai arsitek di sebuah perusahaan konstruksi milik pamannya di kawasan pusat kota.

Ave sempat mengalami fase mengisolasi diri saat itu. Selalu dilanda semacam paranoia tiap kali mendapat tugas peliputan di area kota. Di wilayah teritori Dennis. Khawatir mereka akan bertemu tanpa sengaja.

"Sebenarnya aku sedang ingin bermain sendiri malam ini."

"Apakah kamu tidak ingin sedikit berbaik hati kepada teman lama? Dan berbagi meja ini denganku malam ini?" Dennis mengedarkan pandangan ke sekeliling. "Sudah tidak ada meja kosong lagi."

Ave menggeleng.

"Mas Dennis?"

Satu sapaan lembut, dan keduanya menoleh. Seketika simpul imajiner di seputaran perut Ave mengencang. Meski hanya sekali dan sekilas melihat foto di grup Whatsapp, dia tidak akan luput mengenali perempuan itu.

"Tidak kesulitan menemukan toiletnya?" Dennis menoleh kepada gadis itu. Yang ditanya menggeleng.
Gadis itu menatap Ave dan Dennis bergantian dengan pandangan bertanya-tanya.

"Dia teman lama. Kami dulu sering bermain di sini. Tapi sudah lama sekali kami tidak saling bertemu."

Alis Ave seketika terangkat mendengar penjelasan Dennis kepada kekasihnya.

"Halo," sapa Ave ringan. "Apa kamu juga bermain billiar?" tawarnya main-main.

Gadis itu tanpa ragu menggeleng. "Perempuan tidak bermain billiar."

"Oh ya?" Ave mengerjap dengan gaya dramatis. "Dan siapa yang memberikan opini semacam itu?"

Gadis itu melirik Dennis ekspresi melembut. Membuat Ave mencibir sinis dalam hati.

"Well, aku perempuan," Ave melirik stik di tangannya. "Dan aku bermain billiar."

Gadis itu tidak tampak tersinggung. "Mas Dennis lebih suka aku menjadi penonton ketika bermain."

"Apakah itu menyenangkan? Hanya menjadi penopang dan tidak ikut mengambil bagian?"

Gadis itu mengangkat bahu. "Aku suka peran semacam itu."

Oh. Oke.
Tidak perlu ada perdebatan lagi.

Dennis kemudian memberi semacam isyarat agar gadis itu duduk saja dan tak perlu lagi ikut bergabung dengan percakapan. Barangkali seperti itu komunikasi nonverbal yang berusaha mereka lakukan. Karena gadis itu segera mengenyakkan diri dan membuka ponselnya. Namun Ave juga merasakan bahwa sesekali mata agak sipitnya menatap ingin tahu kepada mereka berdua.

AGAVEМесто, где живут истории. Откройте их для себя