1. BUKAN AWAL YANG BAIK

36.8K 2.7K 67
                                    


STATUS FACEBOOK ISMIATI SULAIMAN, MINGGU 26 NOVEMBER 2017, 06.17 WIB.
"Urgent please, tolong bantu cari rumah sakit di sekitaran Banyumanik yang ada ruang PICU kosong. Please telp ke 082963257965. Please."

STATUS FACEBOOK RENNY ADRIANA, SENIN 27 NOVEMBER 2017, 16.35 WIB.
"Innailaihi wa Innailaihi rojiun. Kaget sekali, nggak nyangka yaAllah. Nabila, keponakan saya yang sedang lucu-lucunya, meninggal dunia karena nggak ditangani dengan baik di RS Adhikara.
Sabar ya mbak Is @IsmiatiSulaiman, mereka memang keterlaluan. Apa di mata mereka nyawa manusia itu lebih murah daripada harga uang muka kamar perawatan? "

***

Lelaki berkemeja putih lengan panjang, bercelana hitam, dan berpeci itu sontak berdiri begitu hakim mengetuk palunya tiga kali. Vonis telah jatuh. Si terpidana berbalik badan dengan roman muka keruh. Dua petugas sudah bersiap membawanya kembali ke bus kejaksaan untuk dikembalikan ke tahanan Polda sebelum dieksekusi ke Lembaga Pemasyarakatan Klas I Semarang. Begitu pintu ruang sidang terbuka, beberapa jurnalis sudah merangsek untuk mendapatkan komentar pertama.

"Apakah saudara terpidana akan mengajukan banding?"

Si terpidana tetap bergeming, melangkah di bawah kawalan dua petugas berseragam cokelat tua.

"Apakah saudara menyesal? Kenapa tidak apa keluarga yang mendampingi sejak sidang pertama hingga sidang putusan hari ini?"

Masih tak ada jawaban. Si terdakwa tetap melangkah, tak terlihat acuh kepada sekeliling. Tapi tiap pertanyaan yang terlontar seketika menambah keruh raut si lelaki yang masih bisa dibilang cukup muda itu.

"Apa yang akan Anda lakukan setelah bebas nanti?"

Si terpidana kontan menoleh tajam dan menatap ke sumber suara. Melirik sekilas bordir logo di bagian dada kanan kemeja hitam orang itu. Juga ID card yang tergantung di leher. Ternyata reporter perempuan dari stasiun televisi lokal Semarang. Langkahnya terhenti, tepat di depan si reporter. Keriuhan seketika senyap.

"Kamu." Si terpidana menudingkan telunjuk tepat di wajah si reporter yang nyaris terkesiap. "Kamu mau tanya, apa yang akan saya lakukan sekeluarnya dari penjara nanti?" bentaknya.

Si reporter mendadak kesulitan meneguk ludah.

"Saya akan mencari dan membunuh kamu!"

Bahkan beberapa menit setelah bus bercat hijau tua dengan jendela berlapis kawat jeruji yang mengangkut pergi si terpidana itu telah berlalu dari area halaman kantor pengadilan, Ave si reporter masih terdiam di tempat. Dia dan Bimo−camera person yang sudah jadi satu tim peliputan dengannya sejak sekitar dua tahun lalu−memang sedang meliput sidang putusan pengadilan atas tersangka kasus perampokan yang disertai penganiayaan terhadap satu keluarga di kawasan Kauman.

"Saya akan mencari, dan membunuh kamu!"

Tatapan tajam penuh benci si terpidana masih membuatnya bergidik sekaligus gemetar.

Mencarinya? Untuk apa?

"Ve!"

Barulah Ave tergeragap saat pundak kanannya ditepuk pelan. Bimo sudah mematikan kamera dan menurunkannya dari pundak. "Kita kirim liputan ini ke kantor dulu," katanya.

Matanya menyipit mengamati Ave yang masih terdiam. "Kamu kenapa?" tanyanya.

Ave mengerjap, memutar badan menghadap Bimo dengan ekspresi horor. "Mas Bim dengar tadi dia ngancam aku?"

"Ngancam? Siapa?"

"Sahrul, Mas!"

Sesaat Bimo terdiam bingung. Kemudian mendengus. "Omongan residivis frustrasi saja kamu dengerin. Dia itu stres, biasa kena satu-dua tahun, sekarang malah kena delapan tahun."

AGAVEWhere stories live. Discover now