7. MESKI BERTAMBAH SATU ALASAN LAGI

7.8K 1.3K 14
                                    

"Tidak bisa ditemui?"

"Benar."

"Tapi beliau ada di tempat, kan?"

"Maaf. Hanya itu yang dikatakan dokter Adrian. Beliau tidak bersedia menemui wartawan."

Gadis cantik itu tersenyum meminta maaf. Dan memberi isyarat bahwa pembicaraan itu sudah selesai. Untuk beberapa saat lamanya Ave terdiam. Kemudian mengangguk, dan melangkah menjauhi kubikel sekretaris tersebut.

Tak bersedia menemui wartawan.

Selama hampir enam tahun menjalani karier sebagai jurnalis lapangan, Ave sudah pernah menemui berbagai macam narasumber. Beragam karakter manusia. Beberapa menyenangkan dan sangat kooperatif—jenis yang paling disukainya. Meski tentu saja, golongan yang semacam ini tak bisa setiap hari dia temui. Tak jarang, dia harus bergerilya demi mendapat kesempatan berbicara dengan mereka. Atau tanpa kenal malu dia harus berulangkali meneror calon narasumbernya dengan berbagai cara, sejauh yang diizinkan kode etik jurnalistik yang dipegangnya, agar pada akhirnya mereka mau bicara.

Kalau dia mau, sangat sedikit calon narasumber yang berhasil meloloskan diri darinya. Kalau dia mau.

Ave mengamati lorong sepi di lantai tujuh rumah sakit Adhikara. Tempat para petinggi rumah sakit berkantor. Termasuk sang direktur yang tengah dia buru. Ave menggeleng. Dia mau. Dia harus mau.

Ave kemudian melangkah kembali mendekati kubikel si sekretaris yang syukurlah masih memberikan ekspresi ramah.

" Mbak..." Ave melirik nama di ID card yang tergantung di lehernya. "Mbak Dewi, bisakah saya bertemu dengan asisten beliau?" tanyanya.

Kening si sekretaris berkerut, "Asisten?"

"Benar. Asisten dokter Adrian."

Si sekretaris terdiam. Mungkin tengah berpikir, dan menimbang. Ave menanti dengan sabar, menyadari kalau ini mungkin saja kesempatan terakhir yang dia miliki. Berita maupun gambar yang bagus tak selalu bisa diperoleh lewat jalan depan. Ave sudah menyelidiki, asisten dokter Adrian ini bisa dibilang tangan kanan yang sangat dipercayai sang direktur itu sendiri. Kalau sang direktur memang sudah menolak bicara, mungkin bisa mencoba meminta kepada asistennya.

"Saya tidak tahu apakah Mas Gibran bersedia menemui Mbak." Cetus si sekretaris tiba-tiba.

Ave menahan napas mendengarnya. Segera berusaha memutar otak lagi. "Kalau begitu, bisakah saya minta kontak yang bisa dihubungi? Saya akan menghubungi beliau dulu, untuk mencari tahu apakah bersedia meluangkan waktu untuk saya."

Ave berusaha bersikap sopan. Karena dia tahu bicara dengan sesama perempuan memang perlu pendekatan berbeda. Kalau dia membuat si sekretaris ini jengkel, bisa saja usahanya akan mentah kembali karena alasan yang terkadang konyol dan personal.

Meski si sekretaris terlihat ragu, akhirnya dia mengetikkan sesuatu di keyboard komputernya. Kemudian menarik selembar post it berwarna kuning dan menuliskan sesuatu di sana. "Ini nomor ponsel Mas Gibran." Katanya sambil mengulurkan kertas itu.

Ave menerimanya, berterimakasih dan tersenyum lebar. Dia kemudian merogoh ponsel dari saku celananya, berniat menyimpan nomor kontak itu. Segera setelahnya, dia berniat mengetikkan pesan kepada si empunya nomor. Tapi belum juga pesan itu selesai dia ketik, masuk satu pesan whatsapp dari grup peliputan.

Ave mendengus. Dia harus segera pergi meliput ke pinggiran kota.

Hari sudah gelap saat dia kembali ke rumah sakit. Setelah melalui beberapa kali usaha, Ave berhasil tersambung dengan asisten Adrian. Tapi lelaki itu sama saja dengan bosnya. Dia juga menolak bicara.

AGAVEWhere stories live. Discover now