2. BUKAN YANG TERAKHIR UNTUK HARI INI

12.2K 1.4K 18
                                    


Sebenarnya, mengkloning data berisi rekaman gambar hasil liputan jurnalis dari media lain bukanlah kesalahan. Ave tentu saja sudah berusaha menemukan sumber berita lain-beberapa dokter, perawat, staf, siapa pun yang mungkin bisa dimintai keterangan-meski hasilnya nihil. Karena manajemen Adhikara hanya mengizinkan pernyataan dari juru bicara resmi yang boleh disampaikan kepada publik.

Tapi di mata Kaspar Situmorang, itu dosa besar tak termaafkan. Terutama, karena ternyata live streaming konferensi pers itu diharapkan bisa tayang pada slot breaking news pukul satu siang. Maka hasilnya sudah bisa ditebak, malam ini mereka berdua bersama beberapa tim liputan lain masih harus bertahan di kantor untuk meeting yang sebenarnya jadi lebih mirip sarana penumpahan kegusaran produser berita Channel7.

Ave lelah. Fisik, mental, dan emosional. Pikirannya sudah tak bisa fokus, meski berkali-kali terdengar umpatan menggelegar Kaspar di ruangan sempit itu. Jemarinya terjalin rapat di pangkuan, rahang sesekali bergemeletuk karena hanya mengandalkan jaket parka berbahan kanvas untuk melindungi kulitnya dari paparan udara pendingin yang selalu disetel pada suhu ekstrem.

"Bah! Sudah berapa tahun kau di lapangan?! Payah sekali manajemen waktumu! Kalau tahu mobil butut si Bimo suka ngadat, bisalah kausiasati bagaimana supaya bisa terkejar itu konpers!"

Kalau tahu Kijang tua Bimo sering mogok, kenapa tidak memberi kami mobil operasional yang lebih layak? Ave menarik napas pelan. Dan dalam. Tentu hanya dalam hati dia menggerutu. Cari mati kalau sampai berani dia lisankan.

"Kalau kau mau bersiasat, sedikit kreatif saja, kita pasti bisa dapat berita itu!" Ave melirik satu per satu wajah muram di ruangan. "Lain kali, pakailah otakmu!" Sekali lagi makian terlontar.

Kaspar pada dasarnya memang temperamental, dan akan semakin menjadi-jadi saat dihadapkan pada situasi yang tak diharapkan. Yang dijadikan sasaran pelampiasan tentu saja anak buahnya. Seharusnya Ave tak perlu terkejut apalagi sakit hati. Seharusnya. Kalau saja tidak ada serentetan kesialan yang sebelumnya harus dia alami.

"Iya, Bang," gumamnya kemudian.
Kaspar mendengus keras mendengarnya.

Dan Ave nyengir sambil mengangkat bahu manakala ekor matanya menangkap serekah senyum simpati di wajah lelah Bimo.

Entah mengapa Ave merasa sikap lelaki ini selalu lebih lunak kepada bawahannya yang sudah berkeluarga seperti Bimo, daripada lajang seperti dirinya. Lihat saja, kegagalan mereka mendapatkan gambar hari ini bukan sepenuhnya salah Ave, tapi toh hanya dirinya yang sejak tadi dimaki-maki.

Tapi menyadari target amukan Kaspar sudah beralih kepada Johan dan Purwanto−yang sama gagalnya seperti dirinya hari ini−bahunya terkulai lebih rileks. Disandarkannya punggung. Tercenung.

Semakin jauh langkahnya dari tujuan. Performanya akan semakin dinilai minus oleh Kaspar. Sementara Astari masih duduk manis tak tergoyahkan di posisi pembaca berita petang, hitung mundur berakhirnya durasi kontrak jurnalistik Ave tak bisa lagi ditangguhkan.

Ave memejamkan mata. Dia ingin segera pulang ke kamarnya yang nyaman. Mengguyur kepala dengan air hangat. Kemudian meringkuk di sofa dengan piama flanel kesayangannya dan menghirup secangkir teh hijau.

Dia melirik jam tangannya putus asa. Kapan meeting jahanam ini akan berakhir? Belum juga ada tanda-tanda Kaspar menyudahi omelannya. Kepalanya mulai berdenyut. Meski berada di kantor hingga larut acap kali dianggap salah satu bentuk loyalitas kepada perusahaan, dia tak ingin melewatkannya di bawah hujan umpatan dan makian.

Tapi setelah Kaspar mengusir pergi mereka semua sekitar setengah jam kemudian, Ave justru memberikan koordinat rumah orangtuanya di kawasan Kaliwiru saat memesan ojek online.

AGAVEWhere stories live. Discover now