13. BERSAMA HUJAN ITU

8.8K 1.9K 144
                                    

"Anda tidak bermain secara adil, dokter Adrian. Dengan tidak menyelesaikan sesi wawancara ini seperti yang selayaknya, bukankah Anda juga belum bisa disebut menepati janji?"

Ave menyadari maksud Adrian mengubah intonasi dan sapaan yang dia gunakan. Lelaki itu tentulah ingin menggertaknya, dengan mengingatkan tentang sesuatu yang belum dia penuhi. Tapi kali ini Ave tak ingin peduli. Masa bodoh dengan janji dan kesepakatan ketika lawannya justru bersikap buruk dan menyabotase wawancara pentingnya.

"Yang jelas saya sudah hadir dan melakoni sesi wawancara ini. Bukan saya yang lagi-lagi harus bertanggung jawab ketika hasilnya ternyata tidak memuaskan bagi Anda." Balas lelaki itu kalem dan acuh.

"Tapi Anda memang harus bertanggung jawab!" Ave nyaris menjerit karena jengkel. Membuat Adrian seketika menaikkan sebelah alis tebalnya.

Entah benar bingung, atau hanya berpura-pura bagi Ave terasa tak ada bedanya.

"Anda sendiri yang menyetujui sesi wawancara ini. Saya pun datang ke sini, sendirian, seperti yang Anda syaratkan. Tapi Anda malah pergi entah ke mana dan meninggalkan saya begitu saja. Apa Anda tahu berapa lama Anda tadi pergi dari ruangan ini?"

"Ada banyak hal yang harus saya kerjakan, apa itu hal yang salah?"

"Seharusnya, orang seperti Anda jauh lebih tahu bagaimana cara menghargai dan mengatur waktu. Jika hari ini memang ada banyak hal yang harus Anda kerjakan, seharusnya Anda geser. Entah itu pekerjaan Anda, atau sesi wawancara ini--"

"Begitu? Tapi bagaimana jika pekerjaan yang harus saya lakukan hari ini memang sangat penting dan tidak bisa ditunda? Apakah Anda bersedia andaikan saya meminta mengundurkan jadwal wawancara? Apakah Anda tidak akan meneror asisten saya?"

Ave terdiam dengan napas memburu karena emosi.

"Tapi setidaknya, bisakah Anda menghargai sebuah pertemuan yang sudah Anda setujui sendiri?"

Adrian terdiam. Mengamati wajah lelah gadis di hadapannya, seberkas perasaan bersalah terkilas di hatinya. Sejujurnya dia memang tidak melakukan hal yang teramat sangat penting, tadi dia hanya datang untuk membicarakan persiapan pengadaan obat dan alat kesehatan dengan komite rumah sakit di departemen farmasi. Kemudian memeriksa beberapa alat ultrasonografi dan radioterapi yang baru tiba dan sedang dalam proses perakitan. Itu bisa dia lakukan besok atau lusa. Tidak harus hari ini. Dia memang hanya sedang ingin pergi.

"Saya tahu, Anda keberatan melakukan hal ini, tapi kalau pun Anda terpaksa harus menjalaninya itu juga atas kesepakatan yang sudah Anda buat. Tidakkah Anda tahu, sepenting apa hasil rekaman wawancara ini untuk saya? Ada sesuatu yang saya pertaruhkan. Sesuatu yang sangat penting dan berharga bagi saya?" lanjut Ave.

"Bukankah setiap jurnalis memang bekerja untuk mendapatkan berita atau hasil wawancara?" balas Adrian.

"Karena Anda sudah telanjur memandang rendah pekerjaan ini sementara sebenarnya Anda tidak tahu apa-apa tentang kami!" sergah Ave.

"Tapi kenapa saya harus heran, orang macam Anda, yang tidak pernah perlu bekerja keras dan memperjuangkan sesuatu, tidak akan bisa mengerti. Anda tidak akan paham. Dan selamanya akan menindas semua orang, termasuk dokter-dokter yang Anda benci di rumah sakit ini." Ave seperti tak ingin berhenti meluapkan emosinya.

Rahang Adrian seketika mengatup rapat. Sekilas perasaan bersalah tadi sudah benar-benar lenyap kini, dan bahkan dia pun ragu sempat merasakannya tadi. Dosa apa yang telah dia perbuat hingga Tuhan mengirimkan gadis yang sebegini menjengkelkan dan bermulut lancang?!

Tahu apa dia sehingga berani memberi komentar semacam itu?!

"Tidak pernah memperjuangkan sesuatu?" Adrian tertawa sinis, berusaha menekan emosi yang terpantik akibat tuduhan Ave.

AGAVEWhere stories live. Discover now