16. ANDAIKAN MEMANG SEPADAN

8.1K 1.8K 54
                                    

"Dok, mereka sudah tiba dan sudah selesai menyiapkan kamera. Apakah bisa kita mulai sekarang?"

Adrian menoleh dan menemukan Gibran tengah berdiri di depan mejanya. Sebenarnya dia telah selesai dengan berkas di tangan sejak sekitar sepuluh menit lalu, dia melihat ketika Ave memasuki ruangannya. Tapi diam-diam Adrian memang menggunakan berkas itu untuk menunda konfrontasi langsung dengan Ave.

Sesaat Adrian menatap asistennya. Jika ada banyak pertanyaan dalam benaknya, pemuda itu menyembunyikan ekspresi ingin tahunya dengan baik. Adrian tahu, Gibran tentulah bertanya-tanya tentang perintah tak lazim dia terima nyaris tengah malam.

Dari tempatnya duduk, dia lantas melempar pandangan ke belakang punggung Gibran. Ave tengah berbincang dengan sesosok lelaki gempal berkulit gelap. Gadis itu nampak tertawa tanpa suara bersamanya. Adrian mengernyit. Seperti tak ada sisa-sisa pertemuan berisi saling lempar celaan brutal yang sempat membuatnya resah semalaman.

Apa dia sudah bertindak berlebihan dalam menanggapi perasaan bersalah yang mengusik hatinya? Tapi, ada semacam rasa canggung yang dia temukan di mata gadis itu ketika tadi tanpa sengaja pandangan mereka saling berserobok.

Adrian pun bangkit diikuti Gibran berjalan mendekati Ave dan kameramannya. Lelaki gempal itu memperkenalkan diri sebagai Bimo. Adrian tak terlalu terkejut kala menangkap perubahan gestur Ave menjadi agak kaku ketika melihatnya mendekat. Sepertinya sikap canggung kepadanya Ave bukan ilusi semata, entah mengapa hal itu membuatnya sedikit lega karena ternyata bukan hanya dia yang terpengaruh perdebatan sengit mereka semalam. Gadis itu bahkan sempat terdiam ragu sebelum akhirnya bisa menata ekspresi wajah dan mengulurkan tangan kepada Adrian.

Namun kemudian gadis itu kembali membuatnya tercenung.

Jika mengingat perdebatan mereka semalam, dan seperti apa akhirnya, menurut Adrian seharusnya gadis ini masih marah. Atau jika merunut dari apa yang dia ucapkan sendiri, Ave tidak akan mau menerima undangan yang disampaikan Gibran dan kembali lagi ke sini lagi ini. Nyatanya, dagunya masih terangkat tegak dengan sekilas sorot mata menantang yang berusaha dia samarkan dalam senyum tipis kala tangan mereka saling berjabat.

Apa memang sepenting itu wawancara ini untuknya?

Ketika Bimo memeriksa kembali kesiapan kameranya, Ave menunduk dan membolak-balik notes di tangannya. Daftar pertanyaan yang sudah dia siapkan untuk Adrian. Belum sepertiga dari keseluruhan isi daftar itu yang dia ajukan dalam sesi wawancara semalam.
Ave memeriksa semua pertanyaan yang sebenarnya sudah nyaris dihafalnya itu untuk menimbang apakah akan mengeluarkan semuanya kali ini, atau membuat improvisasi saja nanti. Meski undangan ini terasa mengejutkan, riwayat semua perjumpaannya dengan Adrian membuatnya sedikit skeptis dengan prospek dari wawancara kali ini. Apa yang sebenarnya diinginkan lelaki itu? Apa yang sebenarnya tengah direncanakannya?

Tapi Bimo sudah mengingatkannya.

Meski masih sangat kesal ketika memandang wajah Adrian, Ave tahu nasihat Bimo ada benarnya. Di sini, dialah pihak yang membutuhkan. Barangkali memang dia yang harus berusaha lebih keras. Namun, andai hasilnya sepadan, Ave tentu saja tak keberatan.

Tanpa sadar Ave menggeleng. Tidak. Dia tidak boleh terlalu yakin dulu. Tidak boleh.

Gerakan Ave tertangkap mata Adrian. "Apa ada masalah?" tanya Adrian begitu saja.

Ave mengangkat wajah dan mengerjap. Sejenak diamatinya lelaki berkacamata di hadapannya, roman mukanya datar tanpa ekspresi kala menanyakan hal itu. Sebelum memulai wawancara semacam ini biasanya Ave akan mengajak narasumbernya berbincang ringan, sedikit ngobrol untuk mencairkan suasana. Namun kali ini dia sama sekali tak ingin melakukannya. Lagipula, semalam mereka sudah banyak berbincang. Terlalu banyak malah.

AGAVEWhere stories live. Discover now