20. SEPI YANG SANGGUP MENCENGKERAM HINGGA LEBIH BAIK MEMILIH MATI

8.5K 1.9K 82
                                    


Kemacetan pagi sudah menyambut ketika Adrian melajukan sedan hitamnya menyusuri jalanan kota menuju rumah sakit. Sudah jadi kebiasaannya tidur larut, namun semalaman matanya sangat sulit terpejam. Kepalanya terasa pening disesaki bermacam kekhawatiran. Membuatnya sempat tergoda menenggak beberapa butir sedatif supaya segera jatuh terlelap. Namun akal sehatnya mencegah. Meski kemudian memaksanya bersabar menunggu kantuk yang baru datang ketika Subuh menjelang.

Biasanya dia masih bertemu ibu maupun adiknya di meja makan. Pagi ini dia sarapan sendirian. Ditemani rentetan pertanyaan bernada khawatir asisten rumah tangga ibunya karena melihat wajah kuyu dan bayangan gelap di bawah matanya.

Jika berangkat lebih pagi, kemungkinan dia tak harus menambah beban stres di kepalanya karena harus menghadapi kemacetan semacam ini. Tapi ada beberapa hal yang meski terpaksa pada akhirnya harus tetap dijalani.

Langit pagi ini masih saja mendung seperti kemarin-kemarin. Dari balik kaca gelap sedannya, suasana terasa berlipat kali lebih suram. Ketika lagi-lagi tertahan di satu titik kemacetan, Adrian akhirnya pilih menyalakan radio untuk mengusir sepi. Menyimak sambil lalu sembari mengamati sekeliling. Sepertinya tak hanya dirinya yang merasa jengkel dengan keadaan ini.

Bergeser beberapa meter ke depan, sebuah sedan lain berhenti di samping kirinya karena kembali terperangkap kemacetan. Sedan silver itu pun tak bisa bergerak. Adrian mengalihkan pandangan kembali ke depan, kepada motor-motor yang berusaha bermanuver untuk menembus macet. Desah lelah lepas dari mulutnya. Diambilnya ponsel untuk menghubungi Gibran, mengabarkan bahwa dia akan sedikit terlambat tiba di kantor.

Traffic light di depan menyala hijau kembali, namun dia hanya bisa melaju sekitar sepuluh meter ke depan. Dan lampu menyala merah kembali. Ah, padahal tinggal sekitar lima meter lagi sudah bisa menyeberangi persimpangan lampu merah ini. Adrian sibuk menggerutu dalam hati, namun memang tidak mungkin sedannya bisa merangsek ke depan menerobos gerombolan pengguna sepeda motor yang merajai jalan.

Adrian menoleh ke samping. Sedan silver tadi masih menjejerinya. Dia membayangkan pengemudinya tentu sedang sama kesal dengannya. Tepat ketika pemikiran iseng itu melintas, kaca samping pengemudinya terbuka. Mulanya Adrian tak memperhatikan. Namun semacam perasaan ganjil menarik kepalanya untuk menoleh dan memperhatikan lebih cermat lagi.

Pengemudi sedan itu. Seorang lelaki muda. Tak butuh waktu lama benaknya segera mengenali. Adrian menyipitkan mata setengah tak percaya. Apa benar itu dia? Adrian berusaha memastikan penglihatannya sekali lagi. Tapi itu memang benar dia.

Itu Kevin.

Rasa jengkel karena terjebak macet perlahan menguap, berganti antusiasme ketika menemukan sosok kawan lamanya. Adrian berniat segera menurunkan kaca samping sedannya dan berteriak menyapa pemuda itu. Sebelum Adrian benar-benar menurunkan kaca mobilnya, dilihatnya pemuda itu terlihat tertawa. Dan menumpukan kepala pada kemudi. Tanpa sadar Adrian ikut tersenyum. Seingatnya Kevin memang sosok ceria yang gampang sekali tertawa. Kenangan kebersamaan mereka sempat merambatkan perasaan hangat dalam hatinya. Sampai sebuah penampakan lain dalam mobil itu menyambar kesadarannya laksana petir.

Adrian tertegun. Seketika membatalkan niat untuk menyapa Kevin. Dan perempuan itu.

Benarkah? Tapi tidak mungkin dia salah lihat. Dari jarak berapa pun Adrian akan bisa langsung mengenalinya. Perempuan itu ikut tergelak bersama Kevin. Seketika Adrian berubah linglung.

Kevin kembali. Sejak kapan?
Dan dia... bagaimana dia...

Rentetan bunyi klakson yang saling sahut tak sabaran menggedor lamunan Adrian. Diliriknya kaca sedan silver Kevin sudah menutup kembali, dan melaju mengejar nyala hijau traffic light di depan mereka. Masih sedikit terguncang, Adrian segera melajukan sedannya.

AGAVEWhere stories live. Discover now