8. TEMBAKAN MELENGKUNG UNTUK BOLA KE DUA

7.6K 1.3K 14
                                    

Bagi orang-orang yang bekerja di lapangan dan sering dihadapkan dengan aneka situasi tak terencana baik yang diharapkan ataupun tidak, mengambil keputusan dalam waktu sesingkat-singkatnya adalah skill yang mutlak harus dimiliki. Jurnalis adalah salah satunya. Di awal kariernya, Ave masih cukup sering mengambil keputusan yang kurang tepat. Atau memutuskannya dalam waktu yang lebih lama daripada seharusnya. Tapi seiring berjalannya waktu dan bertambahnya jam terbang, nalurinya semakin terasah tajam. Pilihannya semakin masuk akal. Kalaupun terkadang kurang tepat, efeknya tak perlu terlalu dikhawatirkan.

Jadi, di saat Kaspar mengumumkan penawaran itu, Ave tentu harus segera menyambarnya. Tolol kalau sampai dia lewatkan begitu saja. Risiko adalah perkara nanti. Lagipula, narasumber macam apa yang tak akan sanggup dia tangani?

Tapi itu sebelum dia tahu siapa sebenarnya Adrian Yordan yang dimaksud produsernya.

"Jadi, katakan. Siapa namamu?"

"Apa kamu tidak mendengar bagaimana Erga tadi memanggilku?"

"Ve? Ve... apa?"

"Ave!"

"Apa kedua orangtuamu memang pelit sekali?"

"Hah?"

"Dua puluh enam huruf dalam abjad. Lima vokal. Dua puluh satu konsonan. Dan hanya... Ave?"

Astaga. Apa yang luar biasa dari sebuah nama?Kenapa pemuda ini ngotot sekali? Sepertinya itu bukan hal penting. Apalagi kalau kita berencana tak ingin bertemu lagi setelahnya. Jadi kesimpulan yang bisa ditarik Ave hanya satu : pemuda itu memang sangat berniat untuk membuatnya kesal.

"Agave. Namaku Agave. Sophia. Damara. Dan stop!" Ave mendesis memperingatkan, mencegah pemuda itu buka mulut. "Aku tidak menerima pertanyaan konyol lagi. Apapun itu."

Pemuda itu tak menanggapi, hanya mengamati wajahnya yang merah padam menahan emosi.

"Ehem."

Suara dehaman menginterupsi ketegangan di antara mereka. Erga sudah nyengir di dekat meja yang sebelumnya mereka perebutkan. "Apa kalian bisa melanjutkan... ng... apapun itu... ng... di tempat lain?"

Erga kemudian mengedikkan bahu dengan kikuk. "Aku hanya tidak mau kalian terlihat oleh tamu lain. Oke?" lanjutnya.

Pemuda itu, juga Ave, sontak mengamati sekeliling. Tanpa mereka sadari BlackPool memang jadi jauh lebih ramai dari sejak mereka memulai pertandingan. Pemuda itu melirik Ave sebelum menjauhkan diri. "Erga memang pengertian sekali. Ya kan?" sindirnya.

Sepertinya mereka sama-sama tahu, reputasi BlackPool selama ini memang bersih. Karena Erga selalu menjaganya seperti itu. Seperti yang sedang dilakukannya kini. Pemuda itu menarik tangan Ave untuk berdiri, dan dibawanya berjalan keluar. Erga hanya melambaikan tangan kepada mereka sambil nyengir sekali lagi.

Segera setelah mereka melangkahi pintu keluar, pemuda itu menarik Ave menjauhi pintu.

"Apa kamu keberatan kalau kita melakukannya di sini?" tanya pemuda itu masih dengan nada tak acuh yang sama.

"Terserah. Aku tidak peduli."

"Oh. Sayang sekali. Padahal kalau kamu menuntut sebuah tempat yang lebih layak, dengan senang hati akan kuturuti. Di sini, sepertinya tidak banyak yang bisa kita lakukan."

"Bisakah jangan lagi terlalu banyak bicara?"

"Apakah kamu jadi terlalu bersemangat sekarang?"

"Jangan mimpi!"

"Sebenarnya, aku juga tidak pernah bermimpi bertemu gadis sepertimu."

"Aku? Gadis sepertiku?"

AGAVEOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz