"Iya," Kaisar pun nurut dan langsung duduk di sebelah Triva yang harusnya cuma cukup untuk satu orang aja. Mereka jadi dempetan kayak di angkot.

"Eh terus terus Mir, kalo pulang juga dijemput pakek mobil pickup rame-rame gitu?" Tanya Triva menyambung obrolan yang sempat terputus tadi.

"Hahaha iya. Jadi pulang pergi berasa sapi yang lagi diangkut pakek mobil," tawa Amira.

Triva ikut tertawa. Namun jenis tawanya sangat berbeda dengan Amira. Jika Triva begitu lepas mengeluarkan ekspresi lucunya, maka Amira terlihat seperti menahannya.

"Tapi seru banget ya Mir. Gue pengen kali kayak gitu."

Kaisar mengangkat wajahnya menatap Triva. "Pengen digiring kayak sapi?" Tanyanya.

"Ihhhh. Bukan kayak sapinya!" Protes Triva. Dia memukul pundak Kaisar.

Kaisar terkekeh. Karena merasa sempit, dia mengangkat sebelah kakinya dan dia naikkan ke paha Triva. Dagunya bersandar di bahu Triva sambil tetap menatap layar ponsel.

Amira jadi merasa nggak enak melihat kemesraan dua insan itu. Dia sendiri pernah berpacaran, tapi orangtuanya sangat melarang bila pacarnya datang ke rumah karena takut omongan negatif tetangga. Bahkan, Amira harus pulang sekolah tepat waktu dengan dijemput oleh Ayahnya. Sedikitpun nggak ada waktu buat pacar. Tapi sepertinya hal ini sudah lumrah terjadi di pedesaan yang masih belum tersentuh oleh hingar bingar modernitas.

"Amira, kamu punya pacar?" Tanya Triva.

Amira menggaruk pelipisnya, menatap Triva dengan bingung. "Baru putus," katanya dengan nada pelan dan malu-malu.

"Loh, kenapa?" Triva bukannya kepo. Hanya saja untuk cewek seperti Amira, rasanya sangat nggak mungkin memiliki hubungan yang buruk dalam asmara. Mengingat tuh cewek begitu lembut dan cantik.

"Hehehe," Amira hanya tersenyum, dia nggak menjawab secara jelas.

Triva yang mengerti kalau mungkin itu hal yang privasi bagi Amira, dia pun tak lagi menanyakannya. "Kapan nih kita jalan-jalan mengelilingi perkebunan?" Ajak Triva.

"Besok aja," sahut Kaisar.

"Nanti kamu kebo, males ah."

"Bukannya kamu yang kebo?" Bola mata Kaisar bergerak menatap Triva. Dagunya tetap nyaman berada di pundak gadis itu. Sesekali Kaisar mendaratkan ciuman ke pipi Triva.

"Amira ikut ya, sebagai tour guide. Hehehe," minta Triva.

"Boleh. Maunya jam berapa?"

"Amira bisanya jam berapa?"

"Jam sepuluh aja ya. Aku kalo pagi harus bantu orangtua petik daun teh dulu."

"Hah, serius?!" Triva terlonjak berlebihan. Membuat Kaisar menoel kepalanya. "Maksud aku tuh, aku pengen diajarin juga cara petik daun teh yang bener."

"Ya jangan lebay juga," keluh Kaisar.

"Iya nanti diajarin," jawab Amira akhirnya.

"Triv, bikinin kopi dong," suruh Kaisar.

"Ya udah geser."

Kaisar menurunkan kakinya fair paha Triva. Dia menggenggam tangan Triva ketika cewek itu melewatinya. "Hati-hati ya," ujarnya setengah berbisik.

"Ih lebay. Kamu pikir aku mau perang?"

"Ya bikin kopi kan panas. Nanti kena tangan kamu."

"Kaisar..." Tegur Triva.

"Hehehe," Kaisar pun melepaskan tangan Triva agar bisa segera membuatkannya kopi.

Setelah Triva pergi, Amira seketika canggung dan bingung mau ngobrol apa. Tapi dia merasa nggak sopan kalau mendiamkan Kaisar begitu saja. Rasa serba salah membuat duduk Amira jadi nggak nyaman.

KAISAR (Komplit)Where stories live. Discover now