[S2]C11 : Not Gonna Wait

4.9K 444 64
                                    

Jika kau berpikir hidup bersamaku adalah hal yang buruk, bagaimana aku harus menyebut hidupku tanpamu?

...

Naruto membawa Hinata melewati pintu depan dengan gerakan luwes. Lampu teras menyala dan memajarkan cahaya temaran disela ciuman mereka. Naruto menutup pintu dengan kakinya, sementara tangannya terus bergerak disepanjang punggung Hinata yang membuat wanita itu bergetar dalam gairah.

Hinata terkesiap ketika Naruto mengangkat tubuhnya dan mendudukkannya di floating desk yang ada disamping pintu. Pria itu melangkah maju diantara kedua kaki Hinata, mendekatkan tubuh mereka.

Pekikan Hinata tertahan ditenggorokannya saat merasakan kakinya tidak menyentuh lantai. Bibir Naruto menyentuhnya lagi, mulutnya yang kuat dan ahli membelainya. Hinata  mencengkram bahu Naruto dan membiarkankan dirinya membalas ciuman itu. Bibir mereka bertemu dan bertemu lagi, suara lembut ciuman bergema di keheningan.

Naruto sedikit menarik diri, matanya berbinar dengan senyumannya. Ia memberikan waktu untuk Hinata mengambil napas, namun tidak untuk mengembalikan kewarasan Hinata.

Naruto menyapukan ciuman pada pipi Hinata, pelipisnya, matanya dan sudut mulutnya.

"Naruto.." bisik Hinata dengan napas terengah-engah.

"Ya, Manis?" Suara Naruto terdengar dalam dan serak, menggelitik telinga Hinata.

Napas Hinata tertahan di dadanya, saat Naruto mencium bagian lembut di belakang telinganya. Ia merasakan sensasi mulut Naruto disekujur tubuhnya. Hinata gemetar, memejamkan matanya untuk menyangkal, meskipun jantungnya berdetak dengan cepat dan kulitnya bergelenyar hanyat. Siapa yang menyangka sebuah ciuman bisa mengubahmu menjadi simpul yang membara penuh sensasi?

Tapi Hinata harus melawan. "Kau tidak bisa.. Aku... aku harus pergi." Cengkraman tangan Hinata dibahu Naruto mengendur, berganti dengan dorongan setengah hati.

Naruto memundurkan tubuhnya agar bisa menatap mata Hinata.  Kobaran di mata Naruto menusuk langsung ke jantung Hinata. "Kau tidak boleh pergi."

"K-kenapa?"

Sesaat pria itu hanya menatapnya, mengamati setiap sudut wajahnya, membuat perut Hinata jungkir balik dan darahnya menderu gila-gilaan di pembuluh.

"Karena.. Aku lapar."

Hinata mengejap memandangi Naruto. Sebelum Hinata mengerti maksudnya, pria itu tersenyum dan tiba-tiba tangannya mencengkram pinggang Hinata, menurunkan tubuh wanita itu.

"Aku lapar, buatkan aku ramen." Naruto meraih tangan Hinata dan menariknya masuk.

Hinata rasa akal sehatnya tertinggal diluar pintu, karena sekarang ia tidak mampu memikirkan satu hal pun.

Apa-apaan itu tadi?
.
.

Naruto mencuri-curi pandang ke arah dapur dimana Hinata berdiri membelakanginya, memasak ramen permintaannya.

Suatu keajaiban, Naruto masih bisa menahan diri untuk berhenti ketika wanita itu memintanya. Seandainya Hinata tidak melakukannya, Naruto bisa memastikan mereka akan berakhir di ranjang yang sama. Tapi demi Tuhan, Naruto tidak ingin merusak wanita itu sebelum malam pernikahan mereka. Atau bisa dibilang, pernikahan yang diinginkan Naruto terjadi.

Naruto tanpa sadar mengacak rambut pirangnya. Naruto pikir ia bisa mengendalikan diri cukup lama untuk merayu Hinata agar tidak menolaknya masuk ke rumahnya. Tapi satu kali merasakan bibir wanita itu cukup untuk membuat kegilaan lamanya kembali ke dalam tubuhnya dan —lebih buruk lagi— di kepalanya. Hinata membuat Naruto jungkir balik dan melupakan siapa dirinya, melupakan tekadnya untuk tidak lagi mengizinkan hasrat menyeretnya ke neraka, tak peduli betapa besar godaan itu.

Love and AmbitionWhere stories live. Discover now