Bagian 25

2.9K 126 3
                                    

Author pov

Dinda masih belum sadar juga sampai sekarang. Sudah 3 hari Dinda masih diam, memejamkan matanya. Sesekali detak jantungnya melemah, dan kadang malah berdetak lebih cepat saat mendengar tangisan Lea.

Dinda sendiri sebenarnya ingin membuka matanya, tapi itu sangat sulit. Sekarang ia sadar, bahwa kini dia hanyalah sebatas ruh yang jiwanya masih tersakiti oleh alat-alat medis. Dinda hanya bisa melihat anaknya, Yona, Ikhsan, dan tubuhnya.

"Bunda, Lea datang lagi. Bunda masih belum bangun ya? Padahal Lea bawain bunda brownies cokelat kesukaan bunda....ini Lea yang buat sama bibi. Bunda bangun yok bund, sudah 3 hari bunda bobo terus" Lea memegang tangan bundanya yang dingin, dan lemas.
"Lea, bunda juga ingin bangun memeluk Lea. Tapi apa daya, bunda sekarang hanyalah ruh...maafkan bunda" Dinda berkata dengan lemas. Sekeras apapun ia berbicara, tak ada yang akan mendengarnya sama sekali.
"Lea, sudah ya jangan nangis lagi. Ayo kita sholat saja, kita do'akan bundamu" ajak Yona sambil merangkul Lea.
"Iya om" Lea berjalan lemas, tangannya berada di genggaman Yona.

                                ~~~
Akp. Dinda B.P pov

Aku duduk di depan musholla rumah sakit. Aku melihat Lea dan Yona sedang berdo'a agar aku cepat sadar. Aku juga ingin sadar, tapi mau bagaimana? Tuhan masih melarangku.

Aku ingin berbicara dengan Lea dan Yona, tapi aku tidak bisa. Mereka tak bisa mendengar suaraku sama sekali. Jika aku menyentuh merekapun, aku tidak bisa. Selalu menembus.

Aku menunduk, menatap lantai yang dingin. Kaki ku saja tak menapak pada lantai.
"Om, apa bunda akan sadar hari ini? Apa Tuhan tidak mendengar do'a kita yang ke sekian kalinya?" Aku mendongak menatap Lea yang menanyakan sesuatu pada Yona. Yona berlutut, mensejajarkan dengan Lea. Yona tersenyum dan mengusap pipi Lea. Memang dia calon ayah yang baik untuk Lea, tapi apa dia tidak akan berpaling dariku? Ah, mungkin saja dia tidak mencintai ku. Hanya merasa iba pada istri sahabatnya yang sudah meninggal.
"Lea tidak perlu marah pada Tuhan, semoga kali ini do'a kita di dengar dan di kabulkan oleh Tuhan ya. Om yakin, bunda pasti sadar" tegas Yona sambil mengacak rambut Lea.

Aku berjalan menuju ke ruang ICU, dimana ragaku terbaring di sana. Aku pilu melihat ragaku yang tersakiti oleh jarum infus, dan beberapa suntikan. Aku melihat ada tentara itu, tentara yang menolongku. Hem dia kenapa? Dia menangis sambil memegang tanganku? Ada apa ini, jangan sampai Yona melihat dia sedang memegang tanganku.

Ceklek....
Aku menoleh, dan benar dugaanku. Yoan yang datang.
"Hei!! Lepaskan tanganku!! Hallo!! Lepaskan!!" Aku mencoba berteriak sekencang mungkin tapi apa dayang, tak juga di dengar. Ah, kumohon jangan ada keributan disini.

Yona menepuk bahu tentara itu dengan kencang, dan mereka saling beradu tatapan mata. Lea pun ikut bingung apa yang terjadi.
"Kita selesaikan di luar. Lea kamu disini ya, jaga bunda" Lea pun mengangguk.

Yona dan tentara itu keluar, sekarang hanya Lea yang menunggu ragaku. Ya Tuhan, aku sangat ingin kembali masuk ke dalam ragaku. Aku tidak tahan dalam keadaan seperti ini.
"Bunda, bunda sadar dong bund....Lea kangen sama bunda, Lea mau tidur sama bunda lagi..." air mata Lea kembali jatuh di telapak tangan ku yang terbuka. Tubuh ku juga mulai bergerak.

Sebuah cahaya di jendela tempat ku di rawat, ada pintu yang sangat besar dan bercahaya. Pertanda untukku harus kemabli lagi, tapi ini masih siang. Biasanya aku kembali pada sore hari. Semoga saja ini pertanda, bahwa aku akan kembali pada ragaku.

                               ~~~~
Author pov

Di depan ruangan Dinda di rawat, Yona dan Ikhsan masih sama-sama diam.
"Khem!! Begini, kenapa tadi kau pegang tangan Dinda?" Tanya Yona dengan sangat dingin, dan kaku.
"Memang ada apa bang? Dari dulu sepertinya tidak puas, selalu merebut wanita yang ku punya. Belum puas bang?" Jawaban Ikhsan sangat tak di duga oleh Dharma. Bisa-bisanya ia membalas abang asuhnya.
"Jangan bahas masalalu ya! Dan juga jangan pernah sangkut pautkan Dinda dengan masalalu kita!" Jawab Yona dengan nada penekanan di setiap katanya.
"Heh...abang takut rupanya ya? Kali ini, aku tidak akan menyerah bang. Dan ku mohon, relakan Dinda untukku!" Ikhsa berdiri dan berjalan meninggalkan Yona. Namun, Yona mencekal tangan Ikhsan.
"Jangan jadi pengecut! Selesaikan masalah kita di luar" geram Yona dan semakin kencang mencekal tangan Ikhsan.
"Jangan sebut aku pengecut bang! Justru yang pengecut itu kau, beraninya saja merebut. Tapi tidak mau mengakui, abang macam apa kau. Lagi pula, jika kau ingin kita bertarung aku tidak takut bang.."
"Apa mulutmu tidak bisa jaga?!"
"Buat apa juga? Toh juga abang pasti akan berbuat sama saja, aku sudah hafal sifat mu.."

Yona mulai mengatur emosinya, ia tahu pasti kalau Dinda tahu masalah ini pasti Dinda akan marah besar. Yona dan Ihksan saling beradu tatapan, sangat amat tajam. Dua mata elang itu bertemu menjadi satu.
"Kali ini aku mengalah, tapi lain kali aku akan membalas mu!" Ucap Yona sambil mengepal tangannya.
"Aku juga tidak akan tinggal diam, jika abang kembali merebut Dinda dariku!" Balas Ikhsan.

                                ~~~
Nit...nit...nit...
Suara dari EKG semakin kencang, tangan Dinda mulai bergerak perlahan. Lea yang melihat bundanya bergerak, Lea langsung merasa bahagia. Walau belun tentu bundanya hidup, atau ini adalah yang terakhir kalinya bundanya membuka mata.
"Bunda, bunda ayo bangun bunda!! Lea masih disini tunggu bunda sadar!! Bunda ayo bangun!!" Semangat Lea yang suaranya di dengar oleh Dinda.

Perlahan namun pasti, Dinda membuka matanya dan beberapa kali mengerjapkan matanya menyesuaikan dengan cahaya ruangan. Matanya menatap sosok yang di rindukannya selama ia tidak sadar. Si kecilnya sedang menangis bahagia. Bibir mungil Dinda perlahan membentuk sebuah lengkungan.
"Bunda, Lea kangen sama bunda. Kenaoa bunda tidur terus sih? Lea sedih kalau bunda tidur terus..." Lea terus menciumi tangan bundanya.
"Le...lea kangen sama bunda?" Tanya Dinda pada Lea, dan Lea tersenyum mendengar bundanya bisa berbicara lagi.
"Iya bunda...oh iya, Lea juga sering membacakan Al-qur'an buat bunda, Lea juga sering bawain bunda makanan tapi bundanya gak pernah sadar sadar..." tangan Dinda perlahan mengelus pipi chubby anaknya itu.
"Ma..maafin bunda ya sayang, sudah buat Lea sedih" Lea menggeleng dan tersenyum.
"Gak apa-apa kok bund, Lea kan sudah mulai besar. Jadi Lea gak boleh manja" Dinda pun mengangguk.

Di luar ruangan rawat Dinda, Yona dan Ikhsan sedang berlari menuju ruangan rawat Dinda. Mereka sudah mendapat info dari para perawar bahwa Dinda telah sadar.

"Dinda..." dan yang pertama menyebut nama Dinda adalah Ikhsan. Yona sudah terlambat. Dinda hanya bisa tersenyum pada Ikhsan. Dia tidak bisa bohong, dia sudah tahu siapa nama dan siapa itu Ikhsan.
"Dinda.." Yona datang dan langsung memeluk Dinda.
"Mengapa kamu lama sekali tidurnya? Disini kami selalu menunggumu, tapi kau tidak pernah sadar. Dan sekarang, aku senang sekali bisa melihat mu sudah kembali sadar Dinda... dan ku mohon, jangan berbuat nekad seperti kejadian kemarin ya? Itu membahayakan mu dan Lea" semua curahan hati Yona di keluarkan, dan Dinda hanya bisa tersenyum. Ia tidak bisa berbuat apalagi selain tersenyum.
"Aku juga minta maaf sudah membuat mu khawatir"

Ikhsan yang melihat kejadian itu terasa hatinya sedikit sakit, dan sesak.
"Bunda, bunda!! Apa bunda masih ingag om tentara ini?" Dinda pun mengurai pelukannya dengan Yona dan menatap ke arah Ikhsan.
"Oh iya, maaf... Saya mengucap banyak terimakasih ya pak, karena bapak sudah membantu saya dan anak saya. Mungkin kalau tidak ada bapak, saya sudah mati disana.."  Ikhsan pun tersenyum dan mengangguk.
"Sama-sama, jangan panggil saya 'pak' karena saya dan kamu masih seumuran" Dinda pun hanya bisa mengangguk. Dinda sebenarnya hanya berpura-pura tidak tahu.


~~~~~~~
Bersambung.....
Udah yoo udah di publish...
Vote lah, jangan jadi pembaca gelap:v

Cinta Si PerwiraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang