"Tan, aku mau keluar. Tolong jaga Addo."

Lelaki itu mengangguk. "Tentu."

"Sebentar lagi Alexa datang," Daniel menginfokan sambil menyimpan handphone-nya ke saku jasnya.

"Apa dia bersama Ibu dan Ayah?" tanya Tan. Daniel mengangguk.

"Aku benar-benar minta maaf atas kekacauan ini, Dan. Pesta pernikahanmu jadi berantakan," tambah Pat selanjutnya. Daniel merangkul pundak Pat dan mengusap-usap punggungnya sekilas.

"Tidak usah dipikirkan, Pat. Yang penting Addo selamat."

"Thanks. Semoga kau bahagia dengan Alexa."

"Haha, kau sudah mengatakannya tadi."

"Kurasa masih belum cukup jika hanya sekali."

"Seharusnya yang minta maaf itu adalah Tiara, bukan kau." Tanner menyela. "Tiara dan mulut lancangnya itu... dia sama sekali tidak berubah. Benar-benar perempuan menyebalkan. Seenaknya melanggar perjanjian keluar--"

"Tidak apa-apa Tan," Pat memotong sebelum ia berbicara lebih banyak. Greyson yang berdiri tak kasat mata diantara mereka juga berharap seandainya bisa, dia pasti sudah menyikut Tanner keras-keras. Ini di koridor rumah sakit, dan ada Daniel juga. Dari tatapannya Greyson tahu bahwa ia ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi diantara Tiara dan Pat, tapi dia sengaja menahan diri untuk tidak bertanya. Paling tidak untuk saat ini.

Tanner mengendikkan bahu, merasa agak bersalah telah meluapkan kekesalannya dan menambah kekeruhan suasana. "Maaf," gumamnya pelan.

"Santai saja. Kita semua syok," kata Pat. "Aku permisi dulu."

Greyson dan Pat pergi ke halaman belakang rumah sakit, menemukan sebuah bangku menghadap ke kolam ikan dan duduk disana berdampingan. Taman itu antara kebetulan sepi atau memang selalu sedikit dikunjungi orang, tapi Pat dan Greyson bersyukur hanya ada mereka berdua saja. Jadi tidak akan siapapun yang melihat, mendengar atau bertanya-tanya kenapa Pat 'bicara sendiri'.

"Addomu pemberani, Grey. Dia menyelamatkanku." katanya, membuka percakapan.

"Dia juga putramu," Greyson mengingatkan.

"Tapi yang tadi itu kesalahanku sepenuhnya. Aku tidak bisa menjaganya. Aku ibu yang yang buruk."

"Sudah kubilang, dia sangat menyayangimu. Dia menyayangimu lebih dari apapun. Memang Tiara yang kelewatan."

"Tapi tetap saja ini salahku, Greyson. Coba saja dari awal aku mendengarkanmu."

"Mendengarkanku?" ulang Greyson.

Pat mengangguk. "Seharusnya aku tidak mengajak Addo ke rumahmu. Seharusnya aku abaikan saja undangan dari Lisa." Dia menundukkan kepala lalu memejamkan mata, meneteskan sebulir air mata baru lagi menuruni pipinya.

Greyson mengusapnya, seperti biasa, tanpa harus benar-benar menyentuhnya. Tak ada satupun kata terucap dari bibirnya, dia hanya memandangi wajah Pat yang masih memberengut sedih. Mata biru kehijauannya menatap lurus ke kakinya sendiri, yang digoyang-goyangkan berirama seperti yang sering dilakukan anak kecil.

"Semuanya sudah terjadi." kata Greyson setelah sekian lama hening. "Yang penting Addo selamat."

"Aku berusaha meyakinkan diriku kesana, percayalah," suara Pat hanya terdengar sekeras cicitan tikus. Seandainya Greyson bisa memeluk dan menciumnya, maka hal itulah yang akan ia lakukan saat itu juga.

***

Keadaan Addo berangsur membaik, meski sampai saat ini dia masih belum bisa duduk karena perutnya masih kaku serta sakit. Pat dan Greyson terus menunggui Addo di rumah sakit. Tak jarang Lisa dan suaminya, Scott beserta Tanner datang menjenguk. Bahkan di hari kedua Addo dirawat, Lisa ikut menginap. Pagi tadi Alexa dan Daniel yang datang menjenguk dengan sekeranjang penuh jeruk sunkist—buah kesukaan Addo. Pasangan baru itu pulang begitu jam makan siang tiba.

"Kau mau kukupaskan jeruk lagi?" tawar Pat ke Addo.

"Lagi? Yang tadi kan belum ha—" Addo menoleh ke piring diatas meja kecil yang berada disamping ranjangnya. Piring itu kosong. "Hei? Tadi masih ada lima potong jeruk disini! Kemana semuanya?" dia melempar pandang penuh tanya ke ibunya. Pat hanya mengendikkan bahu. Disaat yang sama Tanner lewat dibelakang Pat sambil mengemut sesuatu. Addo memicingkan mata dan langsung tahu apa itu.

"Paman Tanner!!!" sewotnya.

Tanner, Pat dan Greyson--yang daritadi berbaring di sofa pojok kamar--langsung tertawa.

"Sudah kubilang, panggil aku brother!"

"Brother?" ulang Pat sambil mengangkat sebelah alis.

"Oh, hehehe. Aku lupa memberitahumu, Pat. Tapi tidak apa-apa kan?"

Pat mengendikkan bahu seraya ikut tersenyun. "Terserahmu saja."

Hanya kadang-kadang saja hari-hari Addo berlalu dengan menyenangkan di rumah sakit. Sisanya? Membosankan. Tiga hari telah berlalu setelah Tanner memakan jeruk miliknya, dan kini, Addo dilanda kebosanan setengah mati hanya berdiam diri didalam kamar. Beberapa hari ia lewatkan dengan tidur, menonton TV, mendapat perawatan dan makan, tapi keadaannya berangsur-angsur membaik. Dia sudah bisa duduk, berdiri, dan berjalan lagi seperti biasa. Tapi, meskipun begitu, ibunya tetap tidak membiarkan Addo jalan-jalan keluar kamar. Padahal Tanner sempat mengajaknya keliling beberapa kali.

Kali ini, disaat Pat sedang terlelap di sofa, diam-diam Addo menyelinap keluar dari kamar. Dia bosan sebosan-bosannya dengan suasana kamar rawat yang sepi. Matt dan Alice juga tidak pernah lagi mengunjunginya, entah kenapa.

Satu hal yang Addo tidak tahu, Greyson melihat apa yang ia lakukan dan mengikuti tepat dibelakangnya.

Ia senang bisa melihat-lihat keadaan sekitar. Paling tidak dia mendapat udara segar bukannya hawa dingin AC, melihat pengunjung rumah sakit lain atau perawat berpapasan dengannya membuatnya tidak terlalu merasa kesepian, serta untuk pertama kalinya pepohonan dan tanaman-tanaman hias di halaman rumah sakit terasa jauh lebih menarik bagi Addo. Dia bosan melihat langit-langit kamar ataupun tembok putih.

Kesenangannya bertambah ketika melewati kantin rumah sakit. Terbersit dalam benak Addo untuk belanja cemilan, mungkin dia bisa menyelipkan beberapa permen kenyal beruang didalam bajunya. Harapannya langsung pupus saat dia teringat tidak membawa uang sama sekali. Maka dari itu ujung-ujungnya ide bagus tersebut terpaksa dibatalkan. Addo berjalan lagi, benar-benar tidak ada tujuan pasti. Hanya urusan waktu dan kakinya sendiri yang membawanya hingga tiba di halaman belakang rumah sakit.

Halaman rumah sakit itu luas tapi sepi karena sebagian besar keluarga pengunjung menghabiskan waktu di dalam kamar rawat, menemani pasien/kerabat mereka. Udara di halaman benar-benar segar karena dipenuhi tanaman. Selagi menyusuri jalan setapak dari batu diantara rerumputan, Addo melihat ada kolam ikan besar di tengah-tengah halaman, juga beberapa kursi dan meja dari besi dicat warna putih diletakkan masing-masing dalam posisi berjarak satu dengan yang lainnya.

Disalah satu kursi, Addo melihat dengan seorang wanita berambut ikal sepundak. Wanita yang sudah tidak asing lagi baginya, tepatnya. Addo mencoba mengingat-ingat sebentar, sebelum akhirnya dia sadar wanita itu adalah orang yang pernah dia lempari piring di rumah kakek dan neneknya: Tiara Chance.

Hal pertama yang muncul di pikiran Addo adalah, "Kenapa dia disini?" namun yang dia lakukan hanyalah terus memandangi Tiara dari tempatnya berdiri. Sampai Tiara sadar dia tengah diperhatikan, lalu...

"Kau kan..." suaranya tercekat. Tubuhnya bergetar hebat sampai-sampai rasanya ia bisa terjungkal kapan saja dari kursi. "G-Greyson!"

Addo mengernyitkan dahi, bingung meski disaat bersamaan ia menahan marah. Aneh, batinnya. Mereka sudah pernah bertemu tapi kenapa Tiara masih mengira Addo adalah Greyson?

Padahal yang dilihat Tiara memang bukan Addo, melainkan Greyson yang berdiri disebelah Addo. Greyson sengaja menampakkan diri hanya dihadapan Tiara. Mereka saling bertatapan. Perasaan Tiara seketika berkecamuk antara takut dan kaget. Greyson menatapnya dingin dan dengan ekspresi mati, membuat bulu kuduk Tiara berdiri semuanya.

Mata Greyson sempat berubah merah, sebelum akhirnya dia lenyap. Tiara menjadi semakin takut. Cepat-cepat wanita itu memalingkan wajah dari Addo. Tubuhnya gemetar ketakutan.

Apa yang tadi itu arwah Greyson? Dan dia bersama putranya? []

***

A/N Follow my second acc: morekrizzy ;)

-kiki x

Father For Addo -g.c (Addo Series #1)Where stories live. Discover now