Pengalaman Pertama

Start from the beginning
                                    

Melayani dan berjalan kesana kemari menerima pesanan dan mengantar pesanan memang lebih sulit dari pekerjaanku di desa.

"Kringgg..." bunyi lonceng tanda istirahat jam makan siang kami berbunyi, kegiatan kami digantikan oleh pelayan yang lain sesuai jamnya kami mempunyai Shift disini dan itu sangat efektif untuk menghilangkan penat sebentar.

"Ajeng, seseorang sedang menunggu di Lantai dua meja nomor 15. Penting." Pesan dari April sesama pelayan yang sedang bekerja menggantikanku.

"Siapa?"

"Aku juga tidak tahu. Aku tinggal dulu, sekarang jam makan siang mulai padat." Guraunya sambil meninggalkanku dengan ketidakpastian di ruang makan siang pelayan.

Aku berjalan menyusuri anak tangga satu persatu sambil terhuyung-huyung merasa lelah dan sedikit mengantuk. Sampai di lantai atas aku masih terus melihat kiri kanan dan mendapat meja nomor 15 yang berada di pojokan.

"Permisi, tuan. Ada yang bisa saya bantu?" sapaku ramah sebagai seorang pelayan seperti biasanya.

"Ajeng, silahkan duduk" tegur Dio saat mataku mendapatinya sebagai seorang tuan yang memanggilku tadi.

"Kamu tahu darimana?"

"Ganti baju sana, baru setelah itu kamu kesini kita makan siang sama sama." Ajaknya seraya tersenyum tiba-tiba. Aku tak pernah melihatnya tersenyum padaku seperti itu. sosoknya tiba-tiba berubah menjadi ramah.

"Aku disini kerja, aku nggak bisa gitu aja ganti pakaian dan duduk di kursi kelas atas seperti ini." Ujarku mencoba untuk menolak ajakannya, lebih tepatnya paksaannya.

"Aku sudah minta izin sama ibu Susan dan katanya kamu memang bekerja tapi sampai jam makan siang dan setelah itu kamu bisa pulang. Iya'kan?"

"Iya, tapi bisa kita cari tempat lain?" bujukku karena kemungkinan saat dia mengajakku makan aku bisa menghabiskan semua gajihku dalam sebulan.

"Dimana?"

"Tunggu diluar, aku ganti baju."

Dia kembali tersenyum dan segera keluar sambil menggandeng tanganku sekali lagi. Di otakku penuh dengan berbagai macam pertanyaan mulai dari "Kenapa dia melakukan ini? Kenapa dia mau melakukan ini? Dan apa maksudnya?" pikiranku mulai menjadi liar dan tak terkendali lagi.

Setibanya aku di ruang ganti, pelayan yang lain mulai melihatku dan menyindir sambil membuat beberapa lolucon padaku. Pelayan disana rata-rata lebih tua dariku bahkan ada yang sudah berkeluarga dan aku merupakan pelayan paling muda yang berhasil merayu ibu Susan untuk bekerja disini.

Seperti yang telah dijanjikan, dia menungguku tepat didepan pintu sambil menggenggam hpnya dan tersenyum kearahku yang mulai datang menemuinya.

"Kita pergi kemana?"

"Kamu pernah nyoba minuman capcin?" tanyaku mencoba lebih akrab mungkin dia tahu aku sedang berusaha menarik perhatiaannya dan membawanya pergi karena tak enak dengan pelayan lain yang mulai melihat kami.

"Jadi kamu ngajak aku pergi cuman mau bilang itu? Coba tadi kita makan di tempat kamu kerja tadi, disana juga ada itu." keluhnya saat aku mulai menjaga jarak saat keluar dari halaman besar restoran itu.

"Iya aku tahu, tapi aku harus ngeluarin uang sebanyak ratusan ribu kalau ingin menikmatinya dan aku tak bisa ngelakuin itu."

"Kamu gimana sih, jeng? Kan aku yang ngajak sudah pasti aku yang bayar."

"Tetep nggak bisa gitu."

Kami terus berdebat sambil berjalan mendekati warung pinggir jalan.

Sepatu Kaca : Seorang Putri dari Negeri MimpiWhere stories live. Discover now