Secangkir Madu

176 11 0
                                    

Matahari baru mengeluarkan cahayanya, tapi aku sudah terbangun dua jam sebelum itu, aku harus melakukan banyak hal sebelum ibu terbangun. Sebagai anak tertua dari dua bersaudara, aku adalah harapan bagi keluarga yang ditinggal pergi oleh ayahnya sejak berumur 5 tahun.

Aku tinggal di sebuah desa yang jauh dari keramaian, untuk mencapai pusat desa aku harus berjalan sejauh 2 km dari rumahku. Kami berladang di halaman rumah, dan pagi-pagi sebelum berangkat sekolah aku harus membawa sayur yang bisa dijual ke pasar bersamaan dengan aku berangkat ke sekolah.

Untuk mencapai sekolah hanya perlu berjalan 15 menit dari pasar, di salah satu warung sanalah aku menitipkan sayur ataupun makan olahan seperti kerupuk ataupun kue cincin untuk dijual. Di warung itu biasanya aku mulai mengganti sendal jepitku dengan sepatu, karena jika digunakan dari rumah setiap hari mungkin sepatu itu tidak akan bertahan untuk satu tahun atau lebih.

Kehidupan masa kecilku sudah hilang semenjak usiaku 8 tahun, dengan umur seperti itu aku sudah mulai mencari upah diam-diam dibelakang ibuku. Ibuku hanya seorang petani di ladang orang, sedangkan adikku hanya seorang pelajar SMP kelas 2 yang banyak memerlukan biaya untuk melanjutkan sekolahnya. Sempat terlintas dipikiranku untuk berhenti sekolah dan kemudian bekerja untuk ibu dan adikku, tapi ibu sepertinya tidak pernah menyerah untuk tetap membiarkanku bersekolah.

Melihat teman yang lain memakai sepatu baru dan tas yang warna-warni tak pernah membuatku menuntut ibuku untuk mendapatkannya juga. Aku tahu posisiku dan aku tak berani meminta. Sambil berjalan menuju gerbang sekolah yang sekitar 20 langkah didepan, aku mengambil ikat rambut yang berada di saku baju SMA-ku dan mengenakannya.

"Ajeng!" panggil seseorang dari arah belakang mengenakan sepeda ontel orang zaman dahulu.

"Hei, Bayu."

Dia adalah seorang anak kepala desa dengan perangai yang baik, walaupun anak kaya didaerahku tapi dia adalah satu-satunya laki-laki yang menemaniku di sungai untuk mencari ikan dan sesekali mencuci. Orang desa memang seperti itu, saling bahu-membahu membantu orang yang susah.

"Sore ini aku bisa main nggak ke rumah?" tanyanya sambil turun dari sepeda membarengiku berjalan kaki disampingnya.

"Ngapain?"

"Aku disuruh ngambil jahitan ibu, sekaligus bayar."

"Oh iya, tapi aku sore ini nggak ada di rumah. Kalo pengen ketemu nanti sama adik aku aja, ya."

"Iya, emang kamu pengen kemana?" tanyanya lagi kemudian memarkir sepedanya bersama dengan sepeda anak-anak yang lain.

"Itu, aku pengen ke sungai lagi sekalian aku mau ngambil uang jualan." Jawabku sedikit terengah-engah memikirkan pekerjaanku yang tak akan pernah berakhir.

"Perlu bantuan?"

"Nggak lah, kemarin kamu udah bantuin aku masa sekarang lagi." Dengan sedikit tertawa kecil aku mendahuluinya berjalan menuju kelas paling ujung, kelas 11-B.

"Ajeng, tunggu." Teriaknya kemudian menyusulku ke kelas yang sama.

Sampai bel berbunyi, kami hanya berbicara di dalam kelas dengan teman-teman yang lain. Aku hanya mempunyai tiga teman dekat, di sekolahku. Bayu, Ratih dan Putri. Mereka orang kaya di desaku, ada yang anak seorang juragan dan seorang guru sedangkan aku anak seorang petani dengan kehidupan yang harus dijalani dengan semangat yang tinggi. Hanya malam hari aku bisa istirahat beralaskan kasur kapuk yang murah dan selimut yang tipis.

Sepatu Kaca : Seorang Putri dari Negeri MimpiWhere stories live. Discover now