Secangkir Madu

Magsimula sa umpisa
                                    

"Selamat pagi, bu." Ucap kami semua saat menyambut ibu Dina masuk kelas diikuti oleh Kepala Sekolah yang membawa dua orang berjas licin berwarna hitam.

"Pagi semua. Silahkan duduk dan kemudian dengarkan dengan baik apa yang ibu kepala sekolah ingin sampaikan." Jelas ibu Dina seraya mempersilahkan ibu Kepala sekolah.

"Oke, ibu sudah memberi tahu tiga hari yang lalu saat upacara senin kalau kita akan mengirim siswa berpotensi tinggi untuk sekolah di kota Jakarta. Dan berbahagia dan bersungguh-sungguhlah bagi siswa yang terpilih dan bagi yang tidak tak usah berkecil hati, karena kesempatan setiap orang itu berbeda-beda."

Wajah kami memperhatikan dengan antusias dan harap-harap cemas siapa yang terpilih, sekolah di kota mungkin akan mengubah jalan hidupku untuk yang lebih baik. Tapi disana pastilah sulit untuk dijangkau ekonomi seperti kami.

"Muridnya diambil dari peringkat 1-3. Jadi untuk kelas 11 ada 6 orang yang dikirim. Kalian sudah tahu orangnya maka dari itu besok kalian harus mengumpulkan surat izin ke sekolah sebelum berangkat siang harinya. Dimengerti semua?" senyum Ibu Wati mengerah padaku yang tercengang mendengar pemberitahuannya.

"Ajeng, selamat ya! Selamat, aku iri sama kamu." Ucap Ratih yang tersenyum dan menyadarkanku dari lamunanku.

Setelah keluarnya Ibu Wati dari kelas kami, terdengar dari kelas sebelah yang juga ikut histeris kegirangan menerima berita yang sama. Lembaran pemberitahuan orang tua mulai dibagikan padaku, Bayu dan Putri sangat beruntung bagiku yang ikut bersamaan dengan teman karibku dan ini seperti mimpi indah tapi tidak bagi Ratih. Walaupun dia anak seorang guru, dia tidak bisa ikut karena peringkat 5 berturut-turut. Ingin merasa senang tapi tak bisa, kami harus tetap menjaga perasaan yang lain.

Sekolah kami sangat damai saat jam pelajaran dimulai, kami lebih patuh pada guru-guru dan menganggap guru sebagai malaikat pembantu menuju kesuksesan. Kami hanya mempunyai satu kali istirahat dan lebih banyak belajar.

Saat pulang sekolah, aku kembali melepaskan sepatu dan menggantinya lagi. Tak sedikit orang yang melakukan hal yang sama sepertiku. Entah ini kabar baik bagi ibuku atau kabar buruk bagiku, aku harus meninggalkan ibuku bersama adikku yang hanya menjual kue di sekolahnya. Berjalan kaki sambil menundukkan kepala yang dipenuhi pertanyaan-pertanyaan yang membuat kepala terasa berat untuk diangkat. Sesampainya di rumahpun aku mencoba untuk terlihat bahagia dan tersenyum melakukan hal yang biasa aku lakukan dan mungkin tidak akan kulakukan lagi untuk mereka.

"Ibu, Ajeng ingin bilang sesuatu." Tegurku pada ibuku yang sedang asyik menggoreng ikan sebelum dia berangkat ke ladang lagi.

"Apa?" jawab ibuku dengan pelan memperhatikanku.

"Ini ada surat dari sekolah. Aku dapat beasiswa sekolah di Jakarta dan berangkat besok siang. 

Aku tahu ini mendadak karena kami juga baru tahu tadi pagi di kelas." Ujarku harap-harap cemas kalau ibuku tak senang mendengar kabar ini.

Tapi semua tidak seperti yang aku bayangkan, ibuku dengan erat memelukku dan menangis terharu dipelukanku. Aku merasa lega walau berat meninggalkan mereka disini.

"Ibu setuju?"

"Mmm, iya ibu senang. Sekarang ibu yakin kamu punya kehidupan yang lebih baik lagi."

"Tapi, bagaimana aku bisa bantu ibu lagi?" tanyaku khawatir sambil mengusap dahi ibuku yang penuh keringat yang bekerja di bawah matahari setiap hari.

"Kamu tidak perlu khawatir lagi, kamu seorang anak ibu dan ibu yang harus membantu kamu untuk sukses." Kata-kata itu keluar bersamaan dengan air mata beningnya yang menetes.

Sepatu Kaca : Seorang Putri dari Negeri MimpiTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon