"Dan itu ada hubungannya sama tawaran kerja di Google?"
Ardian mengangkat bahu kirinya yang merangkul Abel, "Begitulah. Aku ngajuin itu sejak beberapa bulan lalu. Aku mau ngasih tau kamu, tapi kamu keburu baca sendiri emailnya."
Ya ampun. Jadi menurut laki-laki di sebelah Abel, urusannya langsung selesai karena Abel mencari tahunya sendiri. "Sumpah kamu ngeselin."
"Ngeselin tapi ngangenin, kan?" Ardian menaik turunkan alisnya.
"Apaan sih?" Abel menahan tawa sambil memalingkan wajahnya.
"Udah ah jangan ngambek gitu, aku ke Googleplex juga buat kamu. Aku kesana buat nyari pengalaman sekalian observasi teknologi bisnis apa yang cocok aku terapkan di sini."
"Kenapa bawa-bawa aku?" tanya Abel bingung.
"Ya emang itu buat kamu, emangnya kamu mau punyai suami pengangguran? Aku malah langsung ditolak sama orang tua kamu buat jadi menantu."
"Hah?! Suami? Menantu?" Abel melotot lalu mengerjapkan matanya beberapa kali.
"Kenapa kaget gitu? Kaya yang nggak terima."
Abel menggeleng keras, "Bukan nggak terima, tapi apa nggak kecepetan?"
Mungkin memang terlalu cepat bagi keduanya, namun Ardian sudah yakin dalam hatinya. Ia tidak ingin seperti programmer lain yang menikah di usia nyaris kepala tiga. Ia ingin menikah seperti orang normal lainnya.
Biarlah ilmu Ardian sedikit tertinggal dari teman-teman sesama programmer, ia akan berusaha menyusulnya saat sudah memiliki keluarga nanti. Atau mungkin dia akan menurunkan ilmunya pada anaknya nanti.
"Enggak, Bel. Cinta itu datang di waktu yang tepat." Ardian lagi-lagi tersenyum, tanpa sadar Abel ikut tersenyum. "Jadi, kamu juga harus support aku buat bisa masuk Google. Aku nggak lama, hanya satu tahun. Aku masih punya waktu tiga tahun buat nunggu kamu lulus kuliah. Sambil nunggu kamu, aku bakal ngebangun bisnis di sini."
Abel tidak menyangka jika Ardian sudah membuat rencana begitu jauh dan melibatkan dirinya dalam rencana itu. Rencana yang begitu indah, bahkan tak pernah terpikirkan sebelumnya.
"Kamu bikin aku terbang, Ar." Abel menyandarkan tubuhnya pada dada bidang Ardian. "Aku jadi takut." Ujar Abel lirih.
"Kenapa takut? Apa yang kamu takutkan?" bukankah seharusnya Ardian lah yang saat ini takut? Abel bahkan belum menjawab permintaanya.
"Takut semua ini hanya ilusi, hanya sebuah mimpi. Dan pas aku buka mata semua kata-kata manis dari kamu hilang." Abel merapatkan kelopak matanya, "Kalau ini hanya mimpi, aku rela menjadi putri tidur biar bisa terus mimpi indah sama kamu."
Ardian tersenyum. Malam ini terasa begitu sempurna dengan Abel berada dalam pelukannya di bawah sinar rembulan. Jika saja ada sebuah program yang dapat menghentikan waktu, maka Ardian akan menggunakannya sekarang juga. Ardian tidak ingin melepaskan Abel dari pelukannya. Namun, sang waktu bukanlah sesuatu yang dapat diatur oleh manusia.
Ardian mengusap pelan pipi Abel, sedangkan Abel justru semakin membenamkan wajahnya pada dada Ardian.
"Open your eyes." Pinta Ardian. Abel pun menurut, belum sempat mengeluarkan sepatah kata, bibir Ardian sudah menempel pada bibirnya. Ardian memejamkan kedua kelopak matanya, sedangkan Abel hanya bisa mematung kaku.
Lelaki di hadapannya begitu tampan, meskipun banyak lelaki yang lebih tampan di sekitarnya. Alis Ardian terbentuk sempurna dan berwarna gelap seperti bola matanya. Pipinya tirus namun tidak terlalu kurus. Kulit wajah Ardian bersih tanpa jerawat, warnanya nyaris pucat.
Abel ikut memejamkan matanya dan melingkarkan kedua tanganya pada punggung Ardian. Membuat tubuh keduanya semakin merapat. Meskipun hanya sebuah ciuman, mereka bisa saling merasakan perasaan yang sudah lama mereka saling pendam. Rasa lelah yang berkecamuk selama berbulan-bulan, permainan perasaan yang berputar-putar, terempas jauh begitu saja.
"I Love You." Ujar Ardian setelah melepaskan ciumannya.
"I love you too." Bisik Abel.
***
"Kenapa kita harus ke bioskop?" tanya Ardian saat mulai menjalankan mobilnya meninggalkan kampus Abel.
"Karena ada film bagus yang baru aja tayang." Jawab Abel sambil memainkan ponselnya, mengecek kembali jadwal tayang film yang akan ia tonton. Sebuah film romance yang diangkat dari novel favorit Abel.
"Kenapa enggak nonton di laptop aja?" Menurut Ardian, menonton film hanya membuang-buang waktu, tenaga, dan uang. Dia harus mengantre untuk membeli sebuah tiket, membeli brondong jagung atau camilan lain dan minuman, belum lagi harus menembus kemacetan Jakarta saat berangkat dan kembali dari bioskop.
Menurut Ardian juga, menonton di laptop lebih murah dan simple. Ia hanya perlu menyediakan koneksi internet, laptop, charger, dan mungkin beberapa camilan.
"Kelamaan. Keburu aku pergi ke Jepang."
Ardian menggeleng pasrah, hanya tersisa dua minggu sebelum Abel pergi ke Negeri Sakura. Ardian sengaja mengosongkan semua jadwalnya demi menghabiskan waktunya dengan Abel. Kali ini Ardian tidak ingin waktu berhenti, hanya saja ia ingin waktu berjalan lebih lambat, agar ia bisa lebih lama bersama orang yang ia cintai.
TBC
YOU ARE READING
My Dearest is A Programmer
General Fiction[[UNFINISHED]] CERITA INI TIDAK DILANJUTKAN KARENA BERBAGAI SEBAB, DIMOHON UNTUK TIDAK LAGI MENUNGGU CERITA INI UPDATE Bagi Ardian hal-hal yang tak dapat masuk logika adalah hal yang harus ia hindari, termasuk perasaan. Hidupnya hanya terpatok pada...
19.2 My Dearest is A Programmer- Tell All
Start from the beginning
