19.2 My Dearest is A Programmer- Tell All

Start from the beginning
                                        

"Jadi kamu nggak cinta sama aku?" tanya Abel dengan cepat.

"Bukan itu maksud aku, Bel." Ardian mengeratkan genggamannya, "Aku cinta sama kamu, tapi hidup itu nggak cukup hanya berkutat pada cinta. Aku yakin kamu pasti ngerti tentang itu."

Abel menundukan kepalanya berusaha meresapi makna kata dalam ucapan Ardian.

"Bel, aku tahu kamu itu perempuan luar biasa dengan mimpi yang besar, kamu berusaha keras buat ngegapai semua mimpi kamu. Sekarang mimpi kamu udah ada di depan mata, kejar! Perjuangkan! Dan aku bakal support kamu."

"Kamu pengen aku ngelakuin itu, biar aku setara sama kamu? Biar aku pantas berdiri di samping kamu."

Ardian mengerang frustrasi. Kenapa dari sekian banyak pemikiran, Abel memikirkan hal itu?! "Demi apapun, Bel! Kamu itu yang terbaik buat aku, kamu udah lebih dari pantas buat aku. Kenapa kamu selalu berpikir kaya gitu?" Abel mengangkat kepalanya saat mendengar nada kecewa dari mulut Ardian. "Bel, aku bukan manusia yang sempurna, aku punya banyak kekurangan. Dan kamu berhasil melengkapi kekurangan itu. Kamu nggak perlu jadi orang lain biar bisa sama aku."

Keduanya terdiam, hanya saling menatap. Angin mulai berhembus membawa udara dingin khas musim kemarau. Matahari mulai tenggelam di ujung perkebunan, tepat di arah barat. Kegelapan malam mulai menjelma menjadi penghias keindahan diantara kedua insan.

"Aku pengen, kamu ngelakuin semuanya dengan ikhlas dari hati. Bukan karena terpaksa karena udah denger omongan aku." Buka Ardian.

Abel mengangguk, "Kalau kamu janji bakal setia nunggu aku, aku bakal pergi."

"Aku janji." Ardian memberikan sebuah kecupan pada kening Abel.

Mereka pun kembali terdiam, menatap langit yang penuh taburan bintang. Ardian merangkul bahu Abel sambil menunjuk rasi bintang dan menyebut namanya dengan asal.

"Itu Andromeda." Tunjuk Ardian pada rasi bintang Caelum.

"Ih so tau! Itu Caelum."

Ardian menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal, "Itu pasti Aries."

Abel menggeleng sambil memegang keningnya, "Jauh Ar! Itu Hercules."

Ardian tersenyum, "Ya maaf, aku kan nggak belajar astronomi."

"Iya deh iya, kamu belajarnya ngode." Mereka pun tertawa.

"Walaupun aku nggak belajar astronomi, tapi aku tetep suka bintang."

"Kenapa?" tanya Abel penasaran.

Ardian kembali menatap langit, "Bintang-bintang selalu nemenin aku bikin program." Well, sudah menjadi rahasia umum jika programmer adalah makhluk nokturnal. Malam yang tenang menjadi waktu yang tepat untuk menuliskan barisan kode pada komputer. Mereka hanya sedikit melakukan aktivitas di siang hari, namun jika programmer itu sudah tingkat sultan. Mereka akan tetap melakukan aktivitas di siang dan malam hari.

"Cuma karena itu?"

Ardian menggelang, "Bintang itu ibarat mimpi-mimpi aku, saking banyaknya sampe nggak kehitung." Ujar Ardian. "Awalnya mimpi-mimpi aku begitu acak nggak tersusun, tapi setelah ketemu kamu mimpi aku mulai tersusun satu persatu. Kamu itu kaya garis yang menghubungkan bintang-bintang itu menjadi sebuah rasi bintang."

"Kenapa kamu bilang gitu?"

"Karena itu kenyataannya." Ardian mencubit pelan hidung Abel. "Awalnya aku niat buat langsung lanjutin study S2 aku ke Harvard setelah wisuda di Seoul, dan abis itu entah apa yang bakal aku lakuin abis itu aku nggak tau apa yang bakal aku lakuin." Terdengar helaan napas dari Ardian. "Aku emang kepikiran buat bikin start up sama temen-temen aku, tapi aku nggak tahu bakal kaya gimana. Aku sama temen-temen aku enggak punya pengalaman."

My Dearest is A ProgrammerWhere stories live. Discover now