Abel membuka matanya perlahan, "Udah sampai yaa..." dipandanginya sekitar, sebelum menatap Ardian dengan kebingungan. "Ini di mana?"
Abel melihat hamparan rumput hijau disekitarnya, ada undakan tangga dan sebuah jalan setapak kecil yang mengarah menuju sebuah pondok besar yang terbuat dari kayu. Abel melemparkan tatapannya pada Ardian.
Ardian mengangkat bahu lalu mematikan mesin mobil, "Ayo turun." Ardian keluar terlebih dahulu lalu disusul Abel.
Sebuah kebun teh cukup luas terhampar di depan mobil Ardian, ini jelas bukan di kampung orang tua Abel. "Ini di mana?" tanya Abel sekali lagi sebelum menyusul Ardian menaiki undakan tangga menuju pondok.
Ardian memutar tubuhnya, "Ini pondok punya almarhum nenek, kalo dimananya aku nggak tau, aku cuma tau jalan buat kesini."
Abel mendesah pelan, laki-laki dihadapannya memang cerdas dan begitu aneh, tapi ia begitu mencintainya. Abel melanjutkan langkahnya dengan kaku, "Ugh! Emang enggak bakat pake heels. Kaki aku sakit." Ujarnya saat sudah berdiri di samping Ardian.
"Mau aku gendong ampe pondok?" tawar Ardian.
"Enggak ah!" Abel lebih memilih untuk menggandeng tangan Ardian, setidaknya jika ia terjatuh, Ardian bisa menanhannya. Dan benar saja, baru saja mereka melewati tiga anak tangga, Abel sudah kehilangan keseimbangan.
"Tuh kan! Udah aku gendong aja." Ardian sudah menerunkan salah satu tangannya ke bagian belakang paha Abel.
"Stop!" teriak Abel yang sudah memindahkan tangannya pada bahu Ardian.
"Kenapa?"
"Piggyback!" ujarnya dengan wajah memerah menahan malu, "Aku nggak mau digendong ala princess."
Ardian menggelengkan kepala sambil teresnyum tipis namun, tetap menurutinya. "Padahal di novel yang suka kamu baca biasanya cowok gendong cewek di depan."
"Aku nggak suka kaya gitu."
"Aku pikir kamu suka. Padahal, I will be your prince charming." Ardian terkekeh pelan.
"Prince charming enggak ada yang kerjaannya ngoding."
"Aku kan prince charming masa depan, kan enggak seru kalo di abad 21 prince charming masih pake kuda putih." Abel dan Ardian pun tertawa.
Ardian menurunkan Abel di teras, "Tunggu ya." Ardian melangkah mendekati pintu lalu mengetuknya. "Nenek!" Ardian langsung berseru ketika seorang wanita yang lebih tua dari Mama Ardian keluar dari pintu.
"Nenek?" gumam Abel pelan. Tunggu, bukankah tadi Ardian mengatakan jika ini pondok milik almarhum neneknya. Lalu Ardian memanggil wanita di hadapannya nenek. Seketika Abel merasa ada yang salah dengan kepala Ardian.
Keterkejutan tidak dapat ditutupi wanita dengan rambut separuh putih itu, "Dasar cucu tidak tahu diri!" wanita itu berkacak pinggang sambil menatap Ardian tajam. Salah satu tangan wanita itu memegang sendok sayur yang terbuat dari kayu.
Ardian segera mengangkat tangannya, berjaga-jaga sebelum wanita itu akan melayangkan sendok di tangannya. "Tenang, Nek. Ardi datang kesini baik-baik kok." Ardian mengangkat telunjuk dan jari tengahnya sambil nyengir.
"Dasar cucu tidak tahu diri!" akhirnya sebuah pukulan melayang pada lengan atas Ardian. "Kau sudah kembali ke Jakarta tapi, tidak memberitahuku!" wanita itu lagi-lagi melayangkan sebuah pukulan, kali ini mengenai tepat pada kepala Ardian. "Sekarang kau muncul di sini tanpa membawa apa-apa! benar-benar keterlaluan!"
Ardian lagi-lagi tersenyum, "Siapa bilang aku tidak membawa apa-apa?" Ardian menggeser tubuhnya hingga wanita itu bisa melihat Abel. "Aku membawa pacarku kemari."
Ekspresi wanita itu langsung berubah, wanita itu langsung memberikan sendok sayur di tangannya pada Ardian dan berjalan mendekati Abel. "Astaga! Apakah kau benar-benar nyata?!" seru wanita itu sambil mengusap wajah Abel lembut, matanya bergerak memperhatikan Abel dari atas ke bawah berulang.
'Justru gue harusnya nanya gitu!' seru batin Abel.
"Ayo masuk!" wanita itu segera menarik Abel menuju ke dalam pondok. "Aku Lina, adik dari nenek, anak tidak tahu diri itu." Nenek Ardian langsung mengajak Abel duduk di meja makan.
"Aku sedang membuat sayur di dapur, kau harus mencobanya." Abel hanya mengangguk, kebetulan sekali Abel sudah sangat kelaparan sejak tadi. "Aku yakin anak itu tidak memberikanmu makan."
Ardian yang berdiri di dekat meja makan pun hanya tersenyum, "Aku memang sengaja mengajaknya kemari, untuk mencoba masakan nenek."
Nenek Ardian mendelik tajam, "Dasar cucu tidak tahu diri!" dia bangkit dan mendekati Ardian. "Kembalikan sendok sayurku!" dengan senang hati Ardian memberikan sendok di tangannya.
Nenek Ardian melayangkan senyuman ramah pada Abel lalu berjalan mendekati kompor yang tidak jauh dari meja makan. "Masak yang banyak yaaa, Nek! Ardi lapar!"
"Tidak ada jatah makan siang untuk mu!" balas sebuah teriakan dari dapur.
"Jadi," Abel menggantungkan kalimatnya untuk menarik perhatian Ardian, "Kenapa kamu nyulik aku kesini?"
"Aku nggak nyulik, Cuma nggak bilang dulu." Ardian mengangkat bahunya, "Kita perlu bicara, dan aku pikir tempat ini cocok. Di sini cukup tenang dan aku enggak bawa laptop, jadi nggak ada yang ganggu."
Abel mengangguk, "Aku harus ngabarin Dila."
Ardian mengangkat tangannya, "Aku udah ngasih tau Fandi, kebetulan tadi Fandi lagi sama Dila. Jadi kamu tenang aja." Abel pun tersenyum, mood Ardian sudah lebih baik, meskipun ia tidak yakin sudah kembali sepenuhnya.
Tak berapa lama kemudian nenek Ardian kembali dengan membawa wadah berukuran sedang yang menguarkan harum yang lezat. "Setidaknya bantu aku membawa makanan, jangan hanya diam duduk manis!"
Abel tersentak mendengar ucapan nenek Ardian, "Ba-baik."
"Bukan kau, tapi anak tidak berguna itu." dagunya menunjuk Ardian.
Ardian mendengkus pelan, "Baiklah." Dengan langkah malas Ardian berjalan menuju dapur dan kembali dengan dua buah piring berisi tumis.
"Apa anak tidak tahu diri itu memperlakukanmu dengan baik?" tanya nenek Ardian saat Ardian sudah duduk berhadapan dengan mereka.
"Tentu saja, aku memperlakukannya dengan baik. Jika tidak, tidak mungkin dia mau denganku." Jelas Ardian.
"Aku bertanya pada gadis cantik di sampingku, bukan padamu." Nenek Ardian mengambil sebuah piring dan memberikannya pada Abel. "Makanlah yang banyak, kau nampak kurus." Nenek Ardian mengisi piring Abel dengan nasi dan lauk yang berada di atas meja.
"Hey, Nek! Aku cucu mu bukan pacarku." Ardian merajuk sambil memberikan piringnya yang masih kosong.
"Isi saja sendiri." Balas nenek Ardian ketus. Ardian mengerucutkan bibirnya kesal lalu menyendokan semua lauk yang ada di atas meja.
Nenek Ardian menggelengkan kepalanya, "Dia memang tidak tahu diri dan menyebalkan. Tapi sebenarnya dia anak yang baik, hanya saja dia tidak tahu caranya." Nenek Ardian mengatakannya seolah Ardian tidak ada di sana. "Dulu kau sering menginap di sini." Ujar nenek Ardian pada Ardian yang tengah memakan makananya dengan lahap.
"Kami akan menginap malam ini."
Sebuah senyuman merekah padah wajah yang mulai dihiasi kerutan itu. "Apa nenek tinggal di sini sendiri?"
"Aku tinggal di sini sendirian sejak sepuluh tahun lalu, setelah suamiku meninggal."
"Maaf." Abel merasa tidak enak membicarakan hal itu disaat sedang makan seperti ini.
"Tak apa, dahulu Fandi dan anak tak berguna ini sering sekali datang kemari. Tapi, belakangan mereka jadi jarang mengunjungiku. Jangankan mengunjungiku, memberikan kabar saja tidak pernah." Nenek Ardian menatap Ardian sendu, "tulangku sudah terlalu tua untuk mengunjungi cucu-cucuku di kota."
"Maafkan aku, Nek. Aku tidak lupa, hanya saja aku sedang sibuk."
Hanya terdengar helaan napas dari nenek Ardian, "Sudahlah. Lanjutkan saja makan kalian."
TBC
VOUS LISEZ
My Dearest is A Programmer
Fiction générale[[UNFINISHED]] CERITA INI TIDAK DILANJUTKAN KARENA BERBAGAI SEBAB, DIMOHON UNTUK TIDAK LAGI MENUNGGU CERITA INI UPDATE Bagi Ardian hal-hal yang tak dapat masuk logika adalah hal yang harus ia hindari, termasuk perasaan. Hidupnya hanya terpatok pada...
18.5 My Dearest is A Programmer- Abel and Ardian Time
Depuis le début
