18.5 My Dearest is A Programmer- Abel and Ardian Time

Comenzar desde el principio
                                        

"Hey! Ngapain?!" Abel berusaha menahan suaranya untuk tidak berteriak. Abel masih memiliki otak untuk tidak memeprmalukan dirinya di tengah resepsi.

"Temenin aku salaman sama pengantin. Kamu kan sendiri, tadi celingak-celinguk nyari temen buat kesan."

Batin Abel berteriak kesal, seenaknya sekali laki-laki ini.

"Heh, koala! Ngapain lo disini!" seru Fikri yang muncul entah dari mana sambil membawa fuyung hai di tangannya. "Anjir! Pantesan si Ardian misuh-misuh kagak jelas, lo ngegandeng cowok lain."

Abel memutar bola matanya sebal, "Ardian mana?"

"Tuh." Kepala Fikri menunjuk stand mie ayam yang berdiri paling ujung.

Mata Abel mengikuti arah yang ditunjukan Fikri, namun ia tidak melihat Ardian disana. "Engak ada, Fik!"

Fikri mengangkat bahunya, "Tadi sih disana. Siapa sih tuh cowok?" dagu Fikri menunjuk Rezki.

"Aku Rezki, teman kampusnya Abel." Jawab Rezki tanpa menanggapi nada sinis dari pertanyaan Fikri.

"WOW! Temen kampus tapi pegangan tangan!" suara dingin nan tajam itu menusuk tepat pada hati Abel. Itu jelas bukan suara Fikri, itu suara Ardian. "Aku tinggalin bentar, kamu udah punya gandengan baru."

Abel memicingkan matanya, dia sudah mengenal Ardian, dia tahu laki-laki itu tidak akan mengungkapkan rasa kesalnya dengan segamblang itu. Apalagi dengan sebuah sindiran. Mata Ardian menatap tajam pada genggaman tangan Rezki pada pergelangan tangan Abel.

Menurut sebuah teori, cemburu itu tidaklah baik. Meskipun menurut sebagian orang cemburu merupakan tanda cinta. Jealousy is ten percent flattering and ninty percent annoying. Tapi yang dirasakan Ardian saat ini, lebih dari itu.

"Eh, ayo antreannya udah dikit." Seolah merasa tak bersalah Rezki kembali menarik tangan Abel.

Namun belum sempat melangkah lebih jauh Ardian segera menghentikan langkah keduanya. "Bisa lepaskan tangan kekasih saya?" Ardian menekan kata kekasih.

Rezki segera melepaskan genggaman tangannya, "Ups! Maaf, saya pikir Abel masih sendiri. Soalnya tadi saya liatin dia duduk sendirian sambil liatin tamu undangan. Saya pikir Abel sedang mencari teman untuk bersalaman dengan pengantin."

'Salaman apanya?! Gue udah salaman sama pengantin dari tadi!' ucap batin Abel.

Kini tatapan Ardian beralih pada Abel, "Nah sayang, kenapa kamu nggak bilang sama dia kalo kita udah salaman sama pengantin dari abis akad?"

Terasa desiran aneh dalam diri Abel saat Ardian memanggilnya sayang, bukan desiran yang menyenangkan. Melainkan sesuatu yang tak biasa dan nampak menakutkan. "A-aku..."

Fikri menepuk bahu Ardian, "Udahlah, bro! Lo bikin antrean makin panjang."

Ardian menghela napas panjang, tanpa mengeluarkan kata, Ardian membawa Abel meninggalkan tempat resepsi. Fikri hanya menggelengkan kepala. "Lain kali, kalo ke kondangan jangan sendiri, bro." Fikri menggelengkan kepalanya, "Kasian tuh anak." Ucapnya entah pada Ardian atau Abel.

***

Abel hanya diam sepanjang perjalanan, dia tidak ingin memperkeruh suasana. Apalagi semakin merusak mood Ardian. Abel melemparkan pandangannya keluar jendela memperhatikan deretan gedung yang berjejer di sepanjang jalan. Jalanan di depannya sedang macet parah, bahkan di hari Minggu seperti sekarang.

Abel memejamkan matanya, lebih baik ia tidur hingga sampai di rumah dari pada terus menghadapi Ardian dalam mood yang tidak bagus.

"Hey, bangun ..." Ardian menepuk pelan pipi Abel. Suaranya terdengar lebih lembut, meskipun masih dingin.

My Dearest is A ProgrammerDonde viven las historias. Descúbrelo ahora