Mata Ardian menatap dengan dingin dari balik kacamatanya, "Udah beres curhatnya ??"
Abel mengangguk lalu mendekati Ardian, "Ayo kita ke atas! Aku mau ketemu dama Mamanya Vania." Abel menggenggam tangan Ardian yang besar dan hangat. Ardian membalas genggaman tangan Abel dengan sebuah genggaman lembut.
***
Setelah Ardian mengantar Abel ke kamar rias.
Ardian melangkahkan kakinya menuju dapur, tadi dia sempat meminta izin pada petugas catering untuk memasuki dapur. Ardian membutuhkan kopi saat ini. Agar membuat otaknya tetap berada pada tempatnya.
Tadi malam dia tidak sempat tidur karena harus menyelesaikan sebuah website online shop. Kemarin sore saat mengantarkan Abel pulang, Abel menyuruhnya untuk menemaninya ke rumah Vania pukul delapan pagi. Dan Ardian baru menyelesaikan website itu sekitar pukul setengah empat pagi.
Jika Ardian tertidur, sudah dipastikan dia tidak akan bisa bangun sebelum pukul delapan. Kebetulan sekali sebuah pertandingan liga Inggris baru dimulai saat Ardian selesai mengerjakan website itu. Teman-temannya sudah siap dengan berbagai camilan di atas meja saat Ardian keluar dari kamar.
Pukul tujuh pagi Ardian sudah berada di rumah Abel. Matanya tidak bisa lepas dari kekasihnya sejak gadis itu keluar dari kamar.
Abel mengenakan dress -yang entah apa namanya- di atas lutut, dengan heels -yang cukup tinggi- berwarna senada dengan dressnya. Rambut Abel dibuat menyamping dengan mengikal manis di ujungnya. Wajahnya dihiasi riasan tipis dengan lipstick berwarna cherry.
Sejak tadi Ardian berusaha menahan diri untuk tidak memberikan sebuah kecupan pada bibir Abel yang terlihat mekar seperti kuncup bunga mawar yang sedang mekar, sangat menggemaskan. Ardian ingin sekali -setidaknya- mengusap pipi Abel yang dihiasi rona tipis yang dipertegas oleh pemerah pipi. Namun Abel sudah memperingatkan agar tidak merusak riasannya.
Otak Ardian benar-benar sudah berpindah tempat.
Ardian bersenandung pelan sambil sesekali melemparkan senyuman pada petugas catering dan WO yang berpapasan dengannya. Rumah Vania benar-benar luas, bahkan lebih luas dari rumah orang tua Ardian.
Di ujung lorong Ardian melihat dua orang laki-laki mengenakan pakain serba hitam membawa kamera. Ardian memicingkan matanya untuk memastikan siapa orang di hadapannya.
"Lo Ardian, kan?" tanya salah satu laki-laki itu.
Ardian pun mengangguk, "Lo..." Kalimat Ardian menggantung, ia sepertinya mengenal laki-laki itu, tapi ia lupa siapa.
Laki-laki itu berdecak pelan, "Gue Rezvan, kita pernah sekelas pas kelas satu SMA."
Ardian mengusap dagunya sambil berusaha mengingat, "Yang jago fotografi itu kan?"
Kini giliran Rezvan yang mengangguk, "Apa kabar lo? Dari kapan lo di Indo?" tanya Rezvan berbasa-basi, padahal Abel sudah menyinggung hal itu sebelumnya.
"Gue baik, udah sekitar tiga bulan." Ardian mengangkat bahunya tak acuh. Ardian merasa sudah kembali ke Indonesia selama berbulan-bulan, banyak hal yang membuat kehidupannya di Indonesia berubah.
Rezvan tidak melihat Abel di sisi Ardian, "Lo keluarga pengantin cewek?" tanyanya sambil menaikan sebelah alis. Jika Ardian datang sebelum akad kemungkinan besar dia adalah keluarga Vania dan dia tidak datang dengan Abel. Selama Rezvan mengurus pemotretan untuk pernikahan Vania, dia tidak pernah melihat Ardian sekadar membantu. Tapi, Ardian mengenakan baju yang sama seperti anggota keluarga Vania.
Ardian menggelengkan kepalanya, "Bukan," Ardian tersenyum kecil, "Cewek gue nyuruh gue nganterin kesini pagi-pagi."
"Cewek lo? Bukannya lo nggak doyan cewek?" perasaan Rezvan mulai tidak enak. Otaknya memberikan sinyal peringatan untuk menghentikan basa-basi tak bergunanya dengan Ardian.
"Sekarang udah beda, gue punya cewek. Lo juga kenal sama cewek gue, namanya Abel." Ardian tertawa pelan ada sedikit rasa bangga dalam hatinya mengatakan pada orang yang menyukai gadisnya bahwa gadisnya sudah menjadi miliknya.
Ekspresi terkejut tidak dapat Rezvan tutupi. Rezvan pikir dunianya masih -akan tetap- baik-baik saja. Meskipun laki-laki yang dipuja oleh gadis pujaannya sudah kembali. Namun laki-laki itu tidak melihat cinta dari gadisnya. Dan Rezvan memiliki setitik harapan pada hati gadis itu.
Namun apa yang didengarnya sekarang membuat dunianya yang baik-baik saja tiba-tiba hancur. Bagaimana bisa Ardian membalas perasaan Abel?!
Ardian menepuk bahu Rezvan pelan, membuyarkan pemikiran yang berkecamuk pada laki-laki yang tengah memegang kamera itu. "Gue ngucapin makasih banyak, lo udah jagain dia dengan baik selama gue enggak ada." Ardian menampilkan senyuman tulusnya, seolah tak melihat raut kekecewaan yang terlihat jelas pada mata Rezvan. "Sekarang gue yang bakal jagain dia."
Rezvan menarik napas dengan dalam, ini lebih menyakitkan dari yang ia bayangkan. Jika saja Abel yang mengatakannya, apakah rasanya tidak akan sesakit ini?
Ardian tidak bisa membaca raut wajah seseorang dengan benar, ia belum menyadari kekecewaan pada wajah teman lamanya itu. "Gue mau ke dapur dulu, gue butuh kopi." Pamit Ardian.
"Dimana Abel?" tanya Rezvan sebelum Ardian menjauh.
"Di kamar rias pengantin, ada apa?" Ardian membalikan tubuhnya, menghentikan niatannya pergi ke dapur.
"Dia belum pergi ke Jepang?"
"Belum."
Rezvan mengerutkan keningnya, bukankah Abel seharusnya sudah berangkat atau setidaknya dia sibuk mempersiapkan keberangkatannya. "Kapan dia berangkat?" ya, setidaknya Rezvan masih bisa memberikan pelukan selamat tinggal di bandara dan menucapkan 'hati-hati di jalan'. Itupun jika benar dia harus melupakan Abel.
Ardian mengangkat bahu, "Gak tau."
"Lo pacarnya, tapi lo nggak tau kapan pacar lo mau pergi ke negara lain selama berbulan-bulan? Bagus banget!" sindir Rezvan.
"Dia belom nyerita." Balas Ardian dengan tenang, dia tidak menyadari nada menyindir pada ucapan Rezvan.
Iblis kecil dalam jiwa Rezvan bersorak, masih ada kesempatan baginya untuk mendapatkan Abel. Meskipun rasa cinta gadis itu sudah dibalas oleh Ardian.
"Gue yakin, Abel belum percaya sama lo."
Ardian menatap Rezvan dengan bingung, "Maksud lo apaan?"
"Kalo dia percaya sama lo, dia pasti bakal nyeritain semuanya sama lo." Senyum sinis menempel pada wajah Rezvan, "Apalagi kepergian dia ke Jepang bakal berpengaruh ke masa depan lo sama dia."
Ardian mengepal kedua tangannya, "Gak usah berbelit-belit! Maksud lo apa ngomong kaya gitu?!"
"Abel lebih percaya sama gue daripada sama lo, dan gue bakal buktiin itu." mata Rezvan menatap menantang.
"Rez!" panggil Rega. "Ngapain lo masih disini? Cepet ke ruang rias, tanyain sama pengantinnya mau foto sebelum akad dulu apa kagak."
Rezvan tersenyum penuh kemenangan, "Ok!" Rezvan pun berjalan meninggalkan Ardian yang masih kesal dan bingung dengan ucapannya. Biarlah sekali ini dia menjadi antagonis, asalkan dia tidak menyakiti Abel. Sejak beberapa bulan lalu dia berniat mengembalikan rasa cinta Abel padanya. Dan sekarang saatnya.
Ardian mengurungkan niatnya untuk membuat kopi di dapur, ia lebih memilih kembali ke kamar rias. Berjaga-jaga jika Rezvan melakukan sesuatu pada kekasihnya.
TBC
YOU ARE READING
My Dearest is A Programmer
General Fiction[[UNFINISHED]] CERITA INI TIDAK DILANJUTKAN KARENA BERBAGAI SEBAB, DIMOHON UNTUK TIDAK LAGI MENUNGGU CERITA INI UPDATE Bagi Ardian hal-hal yang tak dapat masuk logika adalah hal yang harus ia hindari, termasuk perasaan. Hidupnya hanya terpatok pada...
18.4.2 My Dearest is A Programmer- Abel and Ardian Time
Start from the beginning
