18.3 My Dearest is A Programmer- Abel and Ardian Time

Comenzar desde el principio
                                        

Abel pun mengangguk, "Terus kenapa aku ??"

"Karena hati aku milih kamu." Ardian merangkul bahu Abel, "awalnya aku bingung sama semua perasaan yang aku rasain sama kamu, tapi aku sadar. Semua perasaan itu bukan sesuatu yang harus aku pikirkan, tapi sesuatu yang harus aku yakini dengan hati. Dan aku sadar, enggak semua hal bisa diselesaikan dengan logika dan algoritma."

"Aku takut dunia kamu yang luar biasa itu, rusak karena kehadiran aku. Mungkin kamu malah makin mundur bukannya berkembang, aku enggak sehebat kamu. Aku nggak memiliki dunia yang sama dengan kamu."

"Kamu malah ikut-ikutan banyak mikir kaya aku." Ujar Ardian. "Jangan terlalu banyak memikirkan sesuatu yang tak jelas dan tak pasti. Kita nggak tahu kan, masa depan kita kaya gimana. Walau aku seorang programmer, terbiasa mengerjakan sesuatu yang pasti dan tertata, tapi cinta bukan sesuatu yang seperti itu."

Astaga!! Ardian terdengar seperti seorang pujangga, bukan seorang developer pendiam yang Abel kenal.

"Dan lagi, kamu enggak harus punya dunia yang sama dengan aku untuk bisa bersama dengan aku. Aku senang dengan dunia kita yang berbeda, kita bisa saling belajar, dan itu tidak akan membuatku bosan." Begitulah programmer, mereka selalu mencari sesuatu yang baru, yang dapat mengobati rasa bosan.

"Tapi..."

Ardian langsung menempelkan kembali jarinya pada bibir Abel. "Ini bukan tentang siapa yang paling lama mengenal aku, siapa yang dekat dengan aku. Tapi, ini semua tentang siapa yang paling mengerti, yang paling aku butuhkan dan yang hatiku pilih. Dan jawabannya kamu."

Abel mengerjapkan matanya mendengar ucapan ajaib dari bibir Ardian, "Aku nemu kata-kata itu di Google."

Ekspresi Abel berubah seketikan, "Dasar!!" Abel menutup ucapannya dengan sebuah tepukan keras pada lengan Ardian.

***

Hubungan Abel dan Ardian berjalan dengan baik, meskipun Abel masih harus sering menelan kecemburuan, saat Ardian lebih memperhatikan komputer dibandingkan Abel.

Pluk!!

Abel mengalugkan tangannya pada leher Ardian dari belakang.

"Bentar ya... masih ada bug." Ujar Ardian tanpa mengalihkan pandangannya dari layar komputer. Ardian tengah menguji coba website yang baru saja dibuat oleh Reiki dan Irvan. "Gara-gara kamu pendek, kamu bisa meluk aku cuma pas aku lagi duduk gini." Ardian terkekeh pelan.

Perempat siku tak kasat mata, muncul pada sudut kening Abel. Ardian is still Ardian. Dia tetap kan berbicara sesuai dengan apa yang ada dalam pikirannya, tanpa berniat memfilternya terlebih dahulu. Tapi, setidaknya Ardian akan berkata-kata manis saat waktu yang diperlukan.

"Dasar nyebelin!!!" Abel melepaskan pelukannya pada Ardian dan berjalan meninggalkan kamar Ardian.

"Bel!!" panggil Irvan dari ruang tengah. Irvan dan Reiki tengah bermain PS sambil tertelungkup di atas karpet.

Abel tersenyum dan menghampirinya, "Ada apa ??"

"Mau ke dapur ??" tanya Irvan, Abel pun mengangguk. "Yes!! Bikinin makan siang buat gue ya, jangan bikinin buat si Alien doang."

"Nawar aja!!" Reiki menoyor kepala Irvan.

"Apaan dah lo sewot segala!!" balas Irvan tidak mau kalah.

"Ribut banget kaya bocah." Ujar Fandi yang baru saja memasuki rumah. "Nih, Bel." Fandi menyodorkan sebuah kantong plastik berukuran sedang.

Abel mengambil kantong plastik itu, "Thanks."

"Bikinin yang enak ya!!" teriak Fandi saat Abel meninggalkan ruang tengah.

"Nggak usah teriak-teriak!! Kaya di hutan aja!!" ujar Reiki dan Irvan bersamaan.

***

Abel menata masakan yang sudah ia buat di atas meja makan, Abel tersenyum bangga melihat hasil masakannya yang terlihat sangat menggugah selera. Abel melepas celemek yang menggantung pada lehernya.

Abel mengecek ponselnya yang ditaruh di dekat tempat cuci piring, ada tiga panggilan tak terjawab. Dua dari Vania dan satu dari Fikri. Abel langsung menelpon balik Vania.

"Hal..."

"Gaun yang aku kirim udah nyampe ??" tanya Vania tanpa membiarkan Abel mengucapkan 'halo'

"Udah tadi pagi."

"Syukur deh kalo udah nyampe, gue nggak mau tau pokonya lo sama Fikri harus pake baju seragam itu."

"Emang anak SD?!!" Abel tertawa pelan. Sebenarnya Vania memberikan sebuah midi dress berwarna hijau tosca berbahan tissue crepe, bukan gamis seragam yang akan dikenakan oleh keluarga Vania besok.

"Bodo amat, yang penting lo besok dateng dari pagi pake baju itu. Temenin gue, biar gue enggak nervous."

"Lah, padahal gue niatnya mau dateng agak siangan sama Ardian, biar cateringnya dah pada siap."

Terdengar erangan di seberang telepon, "Please, Bel. Demi gue."

"Huh ?!!"

"Demi kewarasan gue."

Abel mulai bingung dengan alur pembicaraan Vania, "Lo baik-baik aja kan ??"

Vania mengembuskan napas berat, "Gue... gak tau gue mesti ngejelasinnya kaya gimana, sumpah gue gugup banget dan apapun yang gue lakuin belakangan ini jadi kacau." Vania terdiam sejenak sebelum melanjutkan ucapannya. "Mungkin emang bener katang orang-orang yang udah nikah, pas mau nikah banyak banget ujiannya."

Abel hanya diam menunggu Vania melanjutkan ucapannya, "Nyokap Riky kemarin kena serangan jantung, dan sampai sekarang masih di rumah sakit. Kondisinya udah baikan tapi gue nggak yakin nyokapnya bisa hadir besok." Abel tahu bagaimana sifat ibu Riky, wanita paruh baya itu kurang menyukai Vania, entah karena alasan apa. Ibu Riky mengungkapkan ketidaksukaannya dengan terang-terangan, tapi yang tidak Abel mengerti, wanita itu memberikan restu pada Riky dan Vania untuk menikah.

"Yang sabar ya, Sis. Gue cuma bisa bantu doa dari sini." Abel menarik napas dalam, "Gue janji besok ke rumah lo pagi-pagi."

"Makasih banyak, Bel. Lo emang sahabat gue yang terbaik." Abel hanya tersenyum lalu mengakhiri panggilannya dengan Vania.

Abel tidak tahu bagaimana rasanya mengurusi pernikahan, anak-anak dari kakak Abah menikah saat Abel masih kecil jadi Abel tidak ikut campur saat persiapan mereka menikah. Namun, Abel sering mendengar kabar tentang repotnya mengurusi sebuah pernikahan dari ambu dan nenek nya.

Abel berjalan meninggalkan dapur untuk memanggil teman-teman Ardian. "Fan, makan siang udah siap." Ujar Abel sambil berlalu menuju kamar Ardian. Laki-laki itu masih bertapa di kamarnya untuk menemukan sebuah bug.

"Ar..." Abel mengeluh dalam hati saat melihat laki-laki berkacamata itu, tengah tertidur pulas di atas tempat tidur. Abel berjalan mendekati komputer yang masih menyala, Abel membaca dengan saksama sesuatu yang tertulis disana.

Sebuah email masuk dari Google.

Abel menscroll layar di hadapannya. Email itu berisi balasan dari Google mengenai portofolio dan proposal yang diajukan Ardian beberapa bulan lalu. Hasilnya cukup baik, proposal dan portofolio Ardian diterima oleh Google.

Namun, bagian bawah email itu membuat Abel menahan napas. Bulan Oktober nanti Ardian harus mengikuti test masuk di California, jika lolos, Ardian akan melakukan uji coba selama satu tahun disana.

TBC

My Dearest is A ProgrammerDonde viven las historias. Descúbrelo ahora