Terdengar decakan dari Kenzie. Cowok itu kembali maju dan membuka pintu lebar-lebar. Di halte ada seorang wanita paruh baya berdiri dan membuatnya segera menjauh dari Shareen.

"Intinya, lo nyusahin," balas Kenzie saat kembali memosisikan duduknya dengan baik di jok kemudi. "Cepetan sana! Sekolah gue udah bel."

Shareen cepat-cepat turun dan berdiri di dekat halte sembari memegang selembar uang lima puluh yang berkibar karena angin kecil. Dia terlihat seperti anak kecil yang baru saja diberi uang oleh ibunya.

Tak lama, pintu mobil Kenzie tertutup kencang. Mobil merah Kenzie segera melaju kemudian berputar arah, lalu masuk ke area sekolah cowok itu.

Shareen mundur selangkah dan duduk di halte. Matanya tak sengaja bersitubruk dengan seorang wanita paruh baya yang duduk di sampingnya. Shareen melemparkan senyumnya tipis dan kembali duduk mencoba memikirkan apa yang akan dia lakukan selanjutnya.

Saat tak sengaja kembali menatap ke samping dan bertatapan dengan wanita itu, wanita itu sedang menatapnya dengan dahi mengernyit seperti baru saja memikirkan sesuatu. Kemudian bibir wanita itu bergerak, mempertanyakan sesuatu hal yang membuat Shareen justru kebingungan.

"Hai? Kamu Shareen, 'kan?"

Shareen membatin. Dari mana ibu ini tahu namaku Shareen?

***

Hampir semua pasang mata siswi menengok ke satu-satunya cowok yang baru masuk ke kantin. Cowok itu melangkah tenang. Dari sisi luar dia terlihat seperti siswa teladan. Segalanya rapi. Tak semua tahu bahwa cowok yang sedang menjadi pusat perhatian itu jauh dari kata teladan.

Mungkin rekor bolos dan terlambat ke sekolah dialah yang pegang. Kenzie, cowok itu berjalan ke meja di mana tiga sahabatnya yang siap menyambut kapan saja. Edgar dan Fabian sibuk berkasak-kusuk. Terlihat gerakan keduanya yang lincah mempraktekkan sesuatu yang Kenzie tak tahu apa.

Kenzie menjatuhkan tatapannya pada Rafka yang tampak hanya mengamati kelakuan absurd dua kawannya. Rafka sesekali menyahuti dengan tawa. Saat pandangan Rafka tertuju ke Kenzie, Rafka tersenyum singkat dan memanggil Kenzie, "Ken". Berbeda dengan Kenzie yang hanya menatap sahabatnya itu sekilas.

"Habis dari mana nih si bos? Tumben telat ke kantinnya?" tanya Fabian yang sedang berjongkok di kursi kayu panjang. Kenzie duduk tak jauh dari Edgar dan mencomot siomay milik Edgar hingga membuat cowok bermata sipit itu misuh-misuh.

"Ambil sendiri, dong. Enak aja!" teriak Edgar saat mengambil piringnya menjauh dari si perebut makanan. Kenzie memasang wajah tanpa salah. Tanpa mengatakan apa-apa dia beranjak dari sana dan hanya mengambil sekaleng minuman soda.

"Tumben lo cuma ngeganjel perut dengan minuman angin," celutuk Fabian sambil menunjuk kaleng soda di meja dan menyebutnya minuman angin. Mata Fabian melebar seperti menyadari sesuatu. Telunjuknya terangkat dan menghadapkannya tepat ke wajah Kenzie. "Sumpah, ya! Dari tadi pagi di kelas sampai sekarang gue keseringan pakai kata tumben. Lo yang emang rada aneh atau gue-nya yang aneh hari ini, sih?"

Telunjuk Fabian seketika ditepis oleh Kenzie dengan kasar dan kencang hingga membuat Fabian mengayunkan tangannya di udara karena kesakitan.

"Singkirin tangan lo! Gue nggak mood hari ini."

Fabian bersungut dan mengumpat dengan suara pelan menyebut anjing.

"Ken! Ken! Ibu negara noh celingukan. Nyariin lo kali!" Edgar bersorak menggapai bahu Kenzie dan menggoyangkannya. Kenzie tampak risih. Tak lama dia sadar dengan ucapan sahabatnya barusan.

Ibu negara?

Dia tidak pernah memberi julukan ibu negara kepada Erica. Edgar yang pertama menyebut-nyebut julukan tersebut yang nampaknya mainstream itu. Fabian juga ikut-ikutan.

Can I Meet You Again?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang