Melankolia Rindu

1.1K 51 2
                                    

Berkali-kali kulirik layar laptopku. Entah sudah berapa lama aku hanya terpaku pada satu nama yang ada didaftar chatting. Padahal aku hanya harus mengklik satu kali agar bisa memulai percakapan dengan nama itu. Tetapi aku tak bisa. Katakanlah aku pengecut karena tak berani menyapanya. Katakanlah apa saja dan akan kuterima.

Hampir dua bulan sejak kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) berlalu. Aku masih canggung pada nama itu. Padahal dua bulan lalu aku terbiasa melihatnya dari bangun tidur hingga langit berganti pekat. Aku tahu. Penyebab kecanggungan ini adalah perasaanku. Perasaan sepihakku yang tak mampu kuterjemahkan. Bahkan tak mampu kusederhanakan layaknya kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu.

Lerian: Hai tembem, udah lulus belum? J

Kupandangi lekat-lekat layar laptopku seakan tak percaya. Lerian. Sosok pria yang namanya tak berani ku-klik di daftar chatting. Lihat sekarang? Malah ia sendiri yang memulaipercakapan denganku. Jemariku dengan lancar menari di atas keyboard menulis pesan balasan.

Livia    : Hai juga Ian, mungkin desember ini. Doakan saja hehe. Kau

   sendiri bagaimana?

Lerian  : Aku? Masih jauh dari kata lulus hehe. Sibuk apa?

Livia    : Sibuk melamun, kau?

Lerian  : Yah masih bisnis burung. Doakan aku cepat kaya oke. :D

Livia    : Siap bos! J

Tak berapa lama nama Lerian terlihat offline. Meskipun hanya percakapan singkat tetapi aku sudah cukup gembira. Setidaknya ini awal yang bagus agar aku lebih berani terhadap perasaanku sendiri.

KKN yang berakhir sejak dua bulan lalu memang membuatku sedih. Entah kenapa aku merasa tak rela. Aku terlalu melankolis akibat rindu pada Lerian. Kami memang sesekali masih bertemu di kampus, bahkan setiap akhir pekan kelompok KKN kami rutin bertemu di kafe langganan dekat kampus. Tetapi rinduku seperti lingkaran bulat tak berujung.

Akhir pekan ini kami sepakat bertemu lagi, tentu saja bukan hanya Lerian yang akan kutemui tetapi juga teman-temanku yang lain. Tak tahu mengapa aku merasa sangat bersemangat kali ini. Semoga saja pertanda baik.

Aku telah sampai di kafe tempat kami janjian. Jangan heran jika belum ada yang datang. Teman-temanku itu sejak dulu memang tukang ngaret. Hanya aku saja yang selalu tepat waktu hingga dijuluki ratu on-time. Lima belas menit kemudian satu persatu teman-temanku menampakkan batang hidungnya. Kelompok KKN kami hanya 9 orang, 6 perempuan dan 3 lelaki. Sekarang baru ada delapan, dan tentu saja yang belum datang adalah si raja telat. Siapa lagi kalau bukan Lerian. Akhirnya kami mulai memesan makanan dan minuman sambil menunggu Lerian. Bertepatan dengan datangnya makanan dan minuman, Lerian pun datang.

“Ian, mau sekalian pesen gak?” Tanya seorang temanku, Nirra.

“Iya boleh.” Lerian mengalihkan pandangan pada waitress dan menyebutkan pesananannya. “Nasi goreng sama es jeruk satu.” Waitress itu pun mencatat pesanan Lerian lalu pamit pergi.

“Darimana aja Ian? Telat mulu ih.” Ujar Ella kesal.

“Biasa, gue kan sibuk bisnis, bro.”

Kami pun terlibat percakapan seru tentang wisuda yang akan segera digelar. Sesekali Lerian tertawa akibat diejek mengenai kelulusannya. Sedangkan aku terlalu sibuk memperhatikan Lerian. Lamat-lamat kuamati penampilan Lerian malam ini, tak ada yang istimewa sebenarnya, ia hanya mengenakan sepotong kemeja berwarna biru yang dipadukan dengan celana jeans pensil berwarna hitam. Tetapi dimataku Lerian amat memukau. Ketika pesanan Lerian datang kami mulai makan dalam diam. Tak ada yang berbicara. Hal ini menjadi peraturan tersendiri bagi kami, bahwa dilarang berbicara saat makan. Kami melanjutkan perbincangan setelah selesai makan hingga langit kehitaman yang menandakan malam telah larut.

Akhir pekan selanjutnya, kami berencana mengadakan camping ditepi pantai. Bahkan jauh-jauh hari anak lelaki telah menyewa tenda dan berbagai macam peralatan yang dibutuhkan. Sedangkan anak perempuan bertugas mengurusi konsumsi. Kami berangkat menggunakan kendaraan bermotor. Vania memutuskan absen sehingga kami bisa berbocengan dengan pas. Keberuntungan yang kuperoleh tentu saja bisa berboncengan dengan Lerian.

Liburan kali ini sangat menyenangkan, hanya saja singkatnya waktu liburan membuatku kembali tak rela jika harus kehilangan Lerian. Aku tak ingin melewatkan malam-malam sepi dengan merindukan Lerian lagi. Aku menginginkan dia disekitarku agar aku merasa hidup. Tetapi kenyataan mengatakan aku tak bisa memiliki Lerian selama yang aku mau. Pulang adalah jalan yang harus kulalui.

Malam ini aku kembali menatap layar laptop. Memandangi sebuah nama yang ststusnya offline di daftar chatting. Aku menantikan sosoknya yang menyapaku seperti malam-malam sebelumnya. Diam-diam kujeritkan kesalku pada Tuhan. Kenapa aku harus bertemu dengan Lerian jika hanya bisa merindunya saja tanpa bisa memilikinya?

Kubuka buku diary yang ada disamping laptop. Kucurahkan perasaanku pada buku itu. Tinta-tinta pun mulai membentuk tulisan.

Lewat kebersamaan kita. Tak bisakah kamu mengartikan sinaran mataku saat menatapmu? Bukan salahmu juga. Aku terlalu pandai menutupi hatiku. Meskipun aku hampir ketahuan saat tak sengaja berujar candaan denganmu. Andainya kau tahu, itu bukan candaan. Itulah ungkapan hatiku.

Pertemuan terakhir kita. Ombak laut jadi saksi kegelisahanku. Aku harus melepaskanmu dari pandangan mataku. Pertemuan terakhir yang memporak-porandakan hatiku. Mematikan hatiku. Dan kali ini aku harus mengakui bahwa merindu itu menyakitkan. Sosokmu yang lagi-lagi hanya bisa kutemui dalam mimpi.

Jam dinding di ruang tamuku berdentang dua belas kali. Dan aku masih terpaku pada nama itu. Bunga-bunga dihatiku perlahan layu. Kututup layar laptop. Kusesap kopiku dengan perlahan. Pahit. Seperti aku yang hanya bisa merindu tanpa bisa merengkuh.

                                         

                                        Jalan Gajah Gang Merak, 15 Juni 2014.

Ritme HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang