Unconditional Love

1.1K 91 6
                                    

Sudah berapa lama akupun lupa. Kebiasaan untuk memperhatikannya tak pernah bisa kulepaskan. Memperhatikan dalam diam. Mengamati gerak-geriknya. Dia sedang tertawa, bibirnya membentuk lengkungan yang manis. Matanya menyipit akibat tawanya itu. Sesekali ia menyesap minuman yang ada dicangkirnya, lalu kembali menatap lawan bicaranya. Ah, aku tidak ingat, lima tahun, sepuluh tahun, dua puluh tahun? Selama itu pula, bagaimana mungkin ia tidak merasakan kehadiranku? Padahal aku selalu ada disekitarnya. Aku tahu semua jadwalnya. Aku hafal parfum yang dipakainya. Aku tahu minuman favoritnya. Tapi kenapa dia masih tidak menyadari?

Namanya Daniel Bagja Karmapala. Usianya 29 tahun. Empat tahun diatasku. Jabatan? Pemilik tempatku bekerja. Aku? Sekretaris merangkap pembantunya selama lima setengah tahun. Namaku Viana Cantika. Dan aku mencintai bosku sendiri.

Sekarang aku ada disampingnya, menemani bosku itu bertemu klien. Merangkum setiap patah kata yang mereka ucapkan. Apakah aku bosan? Tidak, karena asalkan aku bisa melihatnya itu sudah cukup. Aku cukup beruntung karena bisa berada disekitarnya. Bahkan orang lain yang mau menemuinya harus melewatiku dulu. Jelas saja, aku kan sekretarisnya.

"Viana?" Kuraskan sentuhan ringan dibahuku.

Aku melamun sedari tadi hingga tak menyadari bahwa klien kami telah berlalu. Dengan gugup aku menjawabnya. "Sudah selesai pak?"

"Iya, ayo kita kembali ke kantor."

Selama perjalanan aku hanya menatap keluar jendela mobil. Dia memang mengemudikan mobilnya sendiri karena tak suka jika ada orang lain menyupirinya. Padahal ia bos. Aku pikir perjalanan kembali ke kantor akan berlangsung hening tanpa ada pembicaraan. Ternyata? Ia mengajakku bicara.

"Vi..'

"Ya pak?"

"Kenapa aku tak pernah melihatmu keluar dengan temanmu yang lain? Selalu fokus pada pekerjaan tanpa memikirkan hal lainnya?"

"Karena saya lebih suka bekerja pak. Hidup saya hanya untuk bekerja. Jadi apalagi yang saya cari?"

"Kau tidak berniat menikah? Usiamu sudah cukup untuk itu bukan?"

"Hahaha, siapa juga yang akan menikahiku. Pacar saja tak ada."

"Oh"

"Bapak sendiri?"

"Aku sedang menunggu seseorang."

Aku memutuskan diam, tak lagi menanggapi perkataannya. Hatiku sesak seketika. Aku tahu, selama ini ia tak pernah dekat secara khusus dengan wanita lain. Tetapi, yang aku tidak tahu adalah ia sedang menunggu seseorang. Tapi siapa? Memikirkan hal itu membuat kepalaku sakit. Airmataku hampir turun. Dan sekarang, aku dengan bodohnya tidak menyadari bahwa mobil sudah berhenti tepat di lobi kantor. Setelah mengucapkan terima kasih aku langsung berjalan menuju kamar mandi. Perasaanku semakin sesak hingga akhirnya kuputuskan masuk ke salah satu bilik kamar mandi dan menangis. Aku butuh menangis sekarang supaya aku sedikit lega.

Aku keluar dari kamar mandi dengan mata sedikit sembab, meskipun tadi sudah ku akali dengan make up. Jika boleh jujur, maka aku ingin langsung pulang saja dan mengunci diri di kamar. Aku tak sanggup melihatnya. Tapi Tuhan sepertinya tidak berpihak padaku. Karena telepon di mejaku berdering dan aku tahu pasti dia yang menelpon.

Setelah menarik nafas berkali-kali, akhirnya ku ketok pintu ruangannya. 

Tok...tok.. tok.

"Masuk!" Ah, suara baritone itu semakin membuatku sesak.

"Maaf pak, ini dokumen yang bapak minta."

"Terima kasih Viana. Kamu boleh kembali."

Aku sudah akan berbalik tapi akhirnya kuberanikan diri untuk meminta izinnya. Aku benar-benar ingin pulang.

Ritme HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang