Kembang Kertas

1.4K 76 7
                                    

Kembang Kertas

Sebuah gambar  bunga mawar di atas meja kerjaku. Pasti dari lelaki itu. Entah ini yang keberapa. Kupandangi gambar bunga yang ada dipanggkuanku, kugabungkan dengan gambar-gambar yang lain. Ada 28 gambar bunga mawar. Berarti sudah 28 hari sejak lelaki itu menyatakan cinta padaku. Aku kembali mengingatnya.

“Ini buat kamu.” Ucapnya sambil memberikan sebuah kertas padaku.

Kupandangi kertas ditanganku. Sebuah gambar bunga mawar. Bunga favoritku. “Kamu yang gambar?”

“Iya. Nanti aku kasih lagi satu setiap harinya.”

“Terus bunga-bunga ini buat apa?” Tanyaku   penasaran.

“Hmmm, aku suka sama kamu. Bunga-bunga itu sebagai tanda cinta aku sama kamu.”

“Tapi, inikan cuma gambar bunga?”

“Aku sengaja ngasihnya dalam bentuk gambar supaya abadi. Kayak cinta aku.”

Bisa kurasakan pipiku saat itu merona. Hanya karena kata-kata sederhana seperti itu. Setelah itu, aku selalu menerima gambar bunga yang sama. Setiap hari pula ia menanyakan perasaanku terhadapanya. Sejak awal aku memang tak pernah menganggap pernyataannya serius. Secara fisik, bisa dikatakan ia adalah tipe lelaki idamanku. Tinggi, putih, perhatian, serta sepasang mata elang yang selalu memancarkan cinta. Jika saja perbedaan itu tidak ada maka dengan senang hati aku akan menerima cintanya. Tetapi, aku terlalu  penakut untuk  mengambil resiko. Aku terlalu takut mendengar apa yang akan orang katakan tentang kami.

Lelaki itu pernah menyebut jika kami jodoh. Hanya karena nama kami yang hampir sama. Selama hampir sebulan, banyak hal yang terjadi diantara kami. Bahkan ia berani menasihatiku jika aku berbuat salah. Jujur saja, aku terkesan dengan semua perhatiannya. Bahkan aku cemburu pada saat mantan kekasihnya menghampirinya didepanku. Tetapi aku takkan pernah bisa mengungkapkan perasaanku.

Jam ketiga dimulai.

Lamunanku terhenti. Aku melangkah keluar dari ruang guru dan berjalan hingga ke depan pintu kelas X-2. Kutarik nafas sambil memejamkan mata. Sudah hampir tiga bulan aku menjadi guru disekolah ini. Bukan guru yang sebenarnya jika mengingat aku masih kuliah, tepatnya hanya guru pengganti selama tiga bulan. Ini adalah hari terakhirku mengajar. Beragam kejadian menemaniku, mulai dari murid-murid yang nakal, tidak menganggapku ada, mengajak curhat, bahkan ada yang nekat menyatakan cinta. Ah, cinta. Aku jadi gugup. Kutatap pintu didepanku. Entah kejutan apalagi yang menungguku dibalik pintu itu.

Aku mengucapkan salam seperti biasa ketika memasuki kelas. Kuedarkan pandangan ke depan sambil membuka buku presensi. Seperti biasa, banyak murid yang tidak hadir. Aku memanggil nama mereka satu-persatu hingga nama yang terakhir. Ia menatapku tajam. Lelaki bermata elang itu. Kurundukkan pandanganku dan segera memulai pelajaran.

Lelaki bermata elang itu beranjak dari kursinya yang berada dibarisan belakang menuju mejaku. Ia menarik sebuah kursi dan duduk tepat didepanku. Untunglah murid-murid yang lain sibuk mengerjakan tugas sehingga tak terlalu memperhatikan tingkah temannya yang duduk didepanku ini. Ia menyerahkan sebuah gambar kepadaku. Masih gambar yang sama.

“Ini gambar bunga terakhir buat kamu.”

“Terima kasih.”

“Kamu gak tanya kenapa ini yang terakhir?”

“Kenapa?”

“Ini gambar bunga ke-29. Angka dua melambangkan kita berdua. Sedangkan sembilan adalah angka yang mendekati sempurna. Aku ingin suatu  saat segalanya sempurna. Aku sadar saat ini aku bukan apa-apa. Gak bisa kamu banggain. Tetapi suatu saat aku pasti jadi sesuatu. Asal kamu mau nunggu aku. Kamu mau kan nunggu aku?”

“Lev, usia kita jauh beda. Hampir lima tahun. Masa depanmu masih panjang. Aku gak mau membebanimu dengan perasaan-perasaan yang belum jelas. Aku mohon lupain perasaan ini. Aku yakin perasaanmu akan berlalu seiring berjalannya waktu.”

“Aku tahu, aku gak akan bisa buat kamu percaya. Tapi suatu saat nanti aku akan buktiin kalo aku serius. Seperti yang pernah aku bilang tentang nama kita yang mirip. Levi dan Lovi. Kamu tahu, jodoh gak akan kemana.”

Lelaki bermata elang itu berlalu dari hadapanku. Mata elangnnya menampakkan kekecewaan yang dalam. Mataku memanas. Aku yakin sebentar lagi turun hujan dimataku. Jika saja lelaki itu bukan muridku. Jika saja usia kami tidak terpaut jauh. Ah, terlalu banyak Jika antara kami. Dadaku sesak. Aku menghianati perasaanku sendiri. Kulangkahkan kakiku, keluar dari kelas. Kejutan dihari terakhir yang menyedihkan.

Kamu benar Lev, bunga-bunga itu akan abadi. Aku berharap suatu hari nanti Tuhan mempertemukan kita dan membiarkan bunga-bunga itu mekar jika saatnya tiba.

Ritme HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang