18.2 My Dearest is A Programmer- Abel and Ardian Time

Start from the beginning
                                        

"Bel..." Abel mengangkat tangannya, mengisyaratkan Ardian untuk diam.

"Aku tahu, aku bukan perempuan hebat da pintar kaya Mama kamu ataupun Risa." Ardian menaikan sebelah alisnya saat Abel menyebut nama Risa. "Aku nggak pintar, aku nggak cantik, aku nggak punya mimpi yang muluk-muluk, karena aku tahu, jika aku terlalu banyak bermimpi dan tidak dapat meraihnya. Rasanya akan sangat menyakitkan, termasuk tentang kamu." Abel memejamkan matanya saat merasakan air mata menggenang pada pelupuk matanya.

"Aku hanya punya mimpi sederhana, hidup bahagia sama kamu." Abel kembali membuka matanya dan menatap mata dari balik kacamata Ardian. "Tapi rasanya itu sulit, kamu terlalu hebat buat aku, Ar. Aku nggak pernah bisa sebanding sama kamu, dan aku lihat dengan mata aku sendiri ada wanita yang sebanding dengan kamu.

"Ka-karena itu..." Abel mulai terisak, "Bi-biarkan aku sendiri... biarkan aku nyimpan semua rasa yang selama ini tumbuh buat kamu..." Ucapan Abel terhenti saat Ardian memeluknya, Ardian membiarkan Abel menangis pada dadanya. Terlalu banyak sakit hati yang gadis itu tanggung karena dirinya.

Abel meremas kaus bagian depan Ardian, semua perasaannya selama satu tahun lebih, tumpah ruah malam itu. "Maaf... selama ini aku membiarkan kamu meragu sendiri..." Ardian mengusap punggung Abel. Gadis yang selama ini selalu terlihat kuat, malam ini terlihat sangat rapuh dan membutuhkan perlindungan. Ardian merasa sangat berengsek karena membuat seorang perempuan menangis, Papa selalu mengajarkan Ardian dan Kenan untuk menjaga seorang perempuan, dan tidak membiarkannya meneteskan air mata untuk alasan apapun.

"Aku nyerah, Ar... aku enggak akan pernah pantas buat kamu..." ujar Abel disela isakannya.

"Enggak!! Kamu yang terbaik." Ardian menggelengkan kepalanya. "Aku yang terlalu bodoh... aku..." Ardian tidak menemukan kata yang tepat untuk mengungkapkan apa yang ada dalam pikirannya, Ardian hanya mengeratkan pelukannya pada Abel.

Beberapa saat kemudian, Abel mulai tenang. Ardian melonggarkan pelukkannya dan mengangkat wajah Abel untuk menghapus jejak air mata pada wajah cantik itu. Jemari Ardian bergetar saat menyentuh air mata itu, air mata yang penuh kesakitan yang disebabkan oleh dirinya.

"Aku minta maaf, aku mohon kamu jangan menyimpan semua perasaan tumbuh dan berkembang. Biarkan aku ikut merawat semua perasaan itu. Aku tidak akan berjanji menjadi yang terbaik, seperti laki-laki dalam novel yang kamu baca. Tapi, aku akan berusaha menjadi lebih baik buat kamu. Aku mohon jangan pernah berpikir kamu nggak sebanding buat aku, yang menentukan kamu dan aku sebanding atau enggak, bukan aku, kamu, atau pun mereka yang melihat tapi Allah." Ardian berusaha mengukir senyum pada wajahnya, "Aku ingin memulai semua dari awal, itu pun jika kamu setuju."

Abel menatap Ardian tak percaya, mencari keraguan pada pemilik mata hitam dibalik kacamata itu. Namun, Abel tidak menemukannya, entah Ardian yang terlalu pandai menyembunyikannya. Abel hanya perlu mempercayakan harapannya sekali lagi pada programmer menyebalkan di hadapannya. Dengan perlahan Abel menganggukan kepalanya.

Senyum merekah muncul pada wajah Ardian, lalu Ardian memeluk Abel dengan lebih erat. "I love you."

Abel membalas ucapan Ardian, namun yang tertangkap telinga Ardian hanya gumaman tidak jelas. "Kamu enggak niat balas pernyataan aku ??" tanya Ardian setelah Abel melepaskan diri dari pelukannya dan memilih untuk duduk berdampingan dengan Ardian.

"Aku tadi udah balas kok, kamu aja yang nggak dengar." Jawab Abel sambil terus menundukan wajahnya. Gadis berambut pendek itu merasa malu sudah menangis di depan laki-laki menyebalkan yang setahun –lebih- belakangan mengisi hati dan pikirannya.

"Yang bener ??"

"Iya!!" Abel menaikan nada suaranya karena kepalanya masih menunduk.

Ardian memiringkan kepalanya untuk memastikan Abel baik-baik saja, "Kamu baik-baik aja kan ???" Abel mengangguk, "Kalo orang ngomong tuh tatap mukanya." Ardian menarik bahu Abel agar kembali berhadapan dengannya, dengan sigap Abel menutup wajahnya. "Kamu kenapa ??"

My Dearest is A ProgrammerWhere stories live. Discover now