[[UNFINISHED]] CERITA INI TIDAK DILANJUTKAN KARENA BERBAGAI SEBAB, DIMOHON UNTUK TIDAK LAGI MENUNGGU CERITA INI UPDATE
Bagi Ardian hal-hal yang tak dapat masuk logika adalah hal yang harus ia hindari, termasuk perasaan. Hidupnya hanya terpatok pada...
"Aku nyusul kamu." Ardian memperhatikan Daniel yang berdiri di samping Abel, lelaki itu cukup tampan dengan tinggi yang nyaris sama dengan Ardian.
"Ngapain nyusul aku ?? apa aku kurang jelas nulis di surat itu ??"
Daniel merasa kakaknya akan membicarakan sesuatu yang serius dengan lelaki itu, "Aku tunggu disana ya." Daniel menunjuk sebuah bangku di bawah pohon yang tidak jauh dari tempatnya berdiri.
Abel menganguk, "Apa kamu nggak bisa biarin aku sendiri ???" tanya Abel. "Aku cuma pengen nenangin diri, Ar." Baru saja empat hari berada disini, Abel sudah merasa rindu pada Ardian dan hari ini Ardian muncul dihadapannya.
"Kamu cuma nulis kalo kamu mau pergi, maksud kamu apa ?? kamu mau ninggalin aku gitu aja ??"
Abel terdiam, tak pernah terlintas dalam pikiran Abel untuk meninggalkan lelaki menyebalkan di hadapannya. Mungkin, malah Ardian yang berniat meninggalkannya bersama Risa. "Aku nggak punya maksud apa-apa." Abel menatap dalam mata Ardian, "justru apa maksud kamu nyusul aku ?!! jangan biarin aku berharap lebih sama kamu, Ar!!"
Ardian terbeliak, untuk pertama kalinya Abel berbicara padanya dengan nada tinggi. "Ada yang mau aku bicarain."
"Aku lagi nggak mau bicara sama kamu." Abel memutar tubuhnya dan berjalan ke arah Daniel.
Ardian mencekal lengan Abel, "Jangan gini, Bel. Apa susahnya kamu kasih aku kesempatan buat bicara ??"
Abel menarik napas sambil memejamkan mata, "Apa yang mau kamu omongin ??" Abel balik bertanya. "Kamu bisa bicara dengan siapapun, termasuk perempuan yang meluk kamu. Tapi kamu nggak bisa bicara sama aku."
"Kenapa aku nggak bisa ngasih aku kesempatan buat bicara sama kamu ??"
"Karena aku nggak mau!!" Abel mengempaskan tangan Ardian, lalu berlari menuju Daniel.
"Abel jangan kabur-kaburan kaya anak kecil gini!!"
Abel membalikan tubuhnya, "Aku emang masih kaya anak kecil, terus apa yang kamu harapkan ??" Daniel merangkul bahu Abel, ia menatap tajam pada Ardian sebelum akhirnya membawa Abel menjauh.
Ardian mengacak rambutnya frustrasi, ia pikir akan mudah mengajak Abel berbicara. Karena seingatnya, Abel bukan wanita muluk-muluk seperti wanita di luar sana.
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
"Teteh." Panggil Daniel dari balik pintu.
"Apa ??" tanya Abel dengan malas.
"Dipanggil ambu, tuh." Terdengar langkah Daniel menjauh.
Abel melempar ponselnya ke atas kasur, percuma berkali-kali diotak-atik pun sinyal ponselnya tetap tidak muncul. Setelah pertemuannya dengan Ardian tadi pagi, Abel mengurung diri di kamar dan menolak ajakan makan malam dari ambu. Entah mengapa hatinya sakit saat berbicara dengan nada tinggi pada Ardian, apalagi membawa-bawa kejadian itu. Abel perlu teman bicara, mungkin dengan Vania atau Dila tapi semesta tidak mendukungnya.
"Itu ada tamu," ujar ambu saat Abel muncul di ruang tamu.
Abel menaikan sebelah alisnya, "Tamu ??" seingat Abel, ia sudah mengunjungi semua teman-teman dan saudaranya disini, tidak ada yang terlewat. Abel memperhatikan paper bag di tangan ambu, " Itu apa, ambu ??"
Ambu mengangkat paper bag itu, "Oh ini, tamu kamu ngasih ini buat ambu." Ambu membuka paper bag itu, Abel melongok melihat isinya. Sebuah baju gamis berwarna abu-abu dengan manik-manik indah. Abel kenal model gamis ini, Mama Ardian pernah meminta pendapat Abel tentang pola manik-manik pada gamis terbarunya.
"Abah dimana ??"
Ambu menutup kembali paper bag nya, "Abah di luar sama tamu kamu." Abel segera berjalan mendekati pintu lalu menyembulkan sedikit kepalanya untuk melihat siapa tamunya. Abel menggigit bibir bawahnya, saat melihat Ardian dan abah tengah berbicara dengan santai sambil tertawa. Abah beberapa kali menepuk bahu Ardian lalu mengacungkan jempolnya.
"Kalo ada tamu itu ditemui, Teteh." Ujar nenek Abel dari belakang, Abel membalikan tubuhnya sambil mengusap dadanya. "Jangan sembunyi-sembunyi kaya gini, nenek nggak ngajarin teteh kaya gini."
"Nenek bikin kaget aja, dia bukan tamu aku, nek."
"Terus jauh-jauh dari Jakarta mau ketemu siapa ??" tanya ambu, sambil membantu nenek duduk.
"Ketemu abah," Abel mengangkat bahunya, "mungkin."
"Ketemu abah buat ngelamar teteh maksudnya ??" tanya ambu.
"Ah ambu apa sih, aku kan belum mau nikah. Baru juga 19 tahun."
"Dua puluh akhir tahun ini." koreksi nenek.
Abel memutar bola matanya, "Iya... iya... dua puluh." Abel kembali mengintip dari celah pintu.
"Udah temui aja, teteh. Jangan kucing-kucingan." Abel menyerah mendengar ucapan neneknya, neneknya tidak akan berhenti sampai Abel benar-benar pergi ke luar.
"Nah itu, Abel!!" abah berseru dengan senang melihat Abel berjalan mendekati pendopo. "Ya sudah, abah masuk dulu, kalian beresin aja masalahnya ya." Abel menepuk bahu Ardian lalu masuk ke dalam rumah.
Abel duduk di samping Ardian tanpa memandang laki-laki berkacamata itu. "Apa yang mau kamu omongin ?? kamu nggak punya waktu banyak. Ini di kampung bukan di Jakarta, nggak baik laki-laki dan perempuan berbicara malam-malam di luar, bisa jadi bahan gosp tetangga." Abel mengucapkan semua kalimatnya dalam satu tarikan napas. Ardian hanya melongo mendengar ucapan Abel yang lain dari biasanya.